Thursday, November 25, 2010

PERBANDINGAN KINERJA BANK ISLAM TERHADAP BANK PERSERO, BANK ASING DAN BANK UMUM DI INDONESIA PADA 2000 – 2004

M.Suyanto
STMIK AMIKOM Yogyakarta
Abstarct
The study evaluates interbank performance of Islamic Banks
in Indonesia on profitability, liquidity, risk and solvency; and
community involvement for the period 2000 – 2004. Financial ratios
are applied in measuring these performances. F-test are used in
determining their significance. The study found that Islamic Banks are
relatively more commitment to community development, but less
liquid compared to the Government Banks, Foreign Banks, and
Commercial Banks. Islamic Banks do not show (statistically) any
difference in performance and managerial performance with the
Government Banks and Commercial Banks, but Islamic Banks are
less performance and managerial performance with the Foreign
Banks. Islamic Banks are relatively more cost efficient compared to
the Government Banks and Commercial Banks; more profit (NIM)
compared to the Commercial Banks; and relatively less risky
compared to the Foreign Banks.
Key Word : Kinerja, Bank Islam, Bank Umum
Pendahuluan
Bank dan Keuangan Islam pada sepuluh tahun terakhir
tumbuh 15 % setiap tahun yang melebih pertumbuhan Bank maupun
institusi keuangan yang ada di pasar modal global, berada di lebih dari
75 negara dengan asset sekitar 200 milyar dolar Amerika (Yawer,
2002). Beberapa institusi keuangan Islam bahkan beroperasi di tiga
belas lokasi lain, diantaranya Australia, Bahama, Kanada, Cayman
2
Islands, Denmark, Guernsey, Jersey, Irlandia, Luxemburgh,
Switzerland, Inggris, Amerika Serikat dan Virgin Islands. Ekspansi
bank Islam ke seluruh dunia, baik dalam jumlah maupun dana yang
diluasai, disertai operasi-operasi yang dikaji di mesir, Malaysia,
Bangladesh, Jordania, Australia, Sudan, Iran dan Pakistan
menunjukkan bahwa perbankan Islam sangat layak dan bank Islam
benar-benar dapat beroperasi di negara manapun, memenuhi banyak
sekali fungsi dan menggunakan instrumen-instrumen yang berbeda.
Meskipun banyak bank telah mendapat dukungan modal yang banyak
sekali dan mendapat perlindungan dari pemerintahan-pemerintahan
dan keluarga-keluarga muslim terkemuka, tetapi bank Islam telah
mempercayakan diri jauh lebih banyak pada lingkungan pasar
kompetitif pada sistem perbankan campuran-konvensional (Algaoud
dan Lewis, 2001). Selanjutnya Algoud dan Lewis menambahkan
bahwa perbankan Islam merupakan sebuah pasar yang berkembang
dan ada perbedaan dalam penerapan prinsip-prinsip dasarnya di
lokasi-lokasi yang berbeda. Misalnya pada sisi deposito, rekening
lancar (current account) dijalankan terutama berdasarkan prinsip alwadiah.
Deposito tabungan juga diterima berdasarkan prinsip alwadiah,
tetapi “hadiah” kepada para deposan diberikan menurut
kebijakan Bank Islam atas saldo minimum, sehingga para deposan
juga sama-sama mendapat bagian laba. Di Malaysia, keuntungan dari
rekening tabungan islami secara langsung bersaing dengan rekening
tabungan Bank konvensional. Deposito investasi didasarkan pada
prinsip mudharabah, tetapi terdapat banyak variasi. Dengan demikian,
Islamic Bank of Bangladesh, mislanya menawarkan rekening deposito
profit-loss sharing (PLS), rekening pemberitahuan khusus PLS dan
rekening deposito berjangka PLS, sedangkan Bank Islam Malaysia
mengoperasikan dua jenis deposito investasi, satu untuk masyarakat
umum dan satu lagi untuk nasabah kelembagaan. Juga terdapat
variasi-variasi yang menarik dalam pola penggunaan sumberdaya oleh
Bank Islam. Misalnya, musyarakah telah menjadi cara investasi yang
penting di Mesir dan sudan, sedangkan di Malaysia cara ini nyaris
tidak menonjol. Musyarakah yang berkurang (diminishing
musyarakah) telah dipakai untuk permodalan kemitraan pembangunan
3
perumahan di Australia. Jordan Islamic Bank telah melakukan
investasi langsung dalam perumahan dan skema-skema investasi
lainnya. Pada saat-saat sekarang, Bank Islam dalam berbagai bentuk
bermunculan di banyak negara muslim mapupun non-muslim.
Deposito, dana-dana yang disalurkan, serta modal para pemegang
saham di Bank tersebut meningkat tajam (Saeed, 1996). Maka Bank
Islam menarik untuk diteliti.
Bank Islam merupakan gabungan antara bank komersial dan
bank investasi, dan akan menawarkan serangkaian produk pelayanan
bagi para pelanggan yang mempunyai hubungan jangka panjang.
Sebagian dari dana pembiayaannya akan digunakan untuk proyekproyek
tertentu atau ventura, sedangkan mayoritspembiayaan yang
bersifat jangka pendek akan tersedia dalam kerangka persetujuan ini.
Investasi yang berorientasi kepada penyertaan modalnya, tidak
mengijinkannya untuk meminjam jangka pendek dan memberikan
pinjaman jangka panjang. Hal ini menyebakan kecenderungan tidak
mudah terkena krisis dibandingkan dengan bank konvensional
(Chapra, 2000).
Bank Islam yang mengedepankan model equity finance
menjadi lebih menarik setelah model debt financing oleh bank
konvesional di Amerika Serikat mengalami krisis baik 1930-an atau
1980-an. Jepang menggunakan kombinasi struktur debt financing dan
equity finance sehingga pertumbuhan ekonominya setelah perang
tinggi (Akacem dan Gillian, 2002). Sebaliknya bank konvensional
mudah terkena krisis. Krisis perbankan terbesar terjadi di Amerika
Serikat pada 1930-an, yaitu 9.106 ditutup / dibantu (Federal Deposit
Insurance Corp.,2004).
Keunggulan konsep perbankan Islam atas perbankan
konvensional terletak dalam kenyataan bahwa Islam telah
melenyapkan kezaliman bunga. Islam melarang bunga, karena tidak
berpengaruh pada volume tabungan, dan bunga dapat menyebabkan
depresi kronis juga memperlambat proses pemulihan, karena ia
memperburuk masalah pengangguran dan akhirnya mendorong
pembagian kekayaan yang tidak merata (Mannan, 1970). Bank Islam
dengan menggunakan sistem non bunga akan meringankan beban
4
negara dari hutang. Setiap tahun Amerika Serikat membayar jutaan
dolar bunga atas hutang nasionalnya. Demikian juga, negara-negara
yang dianggap kaya harus membayar bunga besar sekali atas hutang
nasionalnya. Keberadaan hutang ini seharusnya tidak terjadi. Karena
itu pembayaran bunga atasnya tidaklah seharusnya dilakukan
(Diwany, 2003). Dengan demikian Bank tanpa bunga (Bank Islam)
menjadi lebih menarik lagi untuk diteliti.
Meskipun demikian, masih ada masalah yang harus
diselesaikan untuk kemajuan bank Islam. Masalah-masalah tersebut
berkait dengan masalah hukum, daya tarik deposito yang terus
bertahan dan pola operasi pendanaan yang dilaksanakan. Undangundang
perbankan di sebagian besar negara tidak mengijinkan bank
untuk terlibat langsung dalam bisnis yang menggunakan dana para
deposan, atau paling tidak secara tegas membatasi investasi-investasi
semacam itu hanya pada dana yang dipasok oleh para pemegang
saham. Di negara-negara nonmuslim, mendirikan bank Islam harus
sesuai dengan undang-undang yang ada di negara yang bersangkutan
yang pada umumnya tidak kondusif untuk jenis pendanaan PLS dalam
sektor pebankan. Pasar sudah tidak lagi dalam masa pertumbuhannya,
dan bank Islam tidak dapat menerima nasabah apa adanya. Terdapat
banyak institusi, termasuk Bank Barat, yang bersaing dengan Bank
Islam murni melalui jendela-jendela islami, dan pelajaran umum yang
dapat dipetik dari pasar-pasar modal, sebagaimana dalam pasar-pasar
lainnya adalah bahwa penyebaran laba dan margin laba mengalami
penurunan begitu institusi-institusi keuangan baru masuk pasar. Tidak
adanya instrumen jangka pendek juga menyulitkan bank Islam
(Algoud dan Lewis, 2001). Dengan demikian studi tentang bank Islam
lebih mendalam perlu dilakukan.
Perkembangan Bank Umum Syariah (Islam), Unit Usha
Syariah dan Bank perkreditan Rakyat Syariah dari 2000 sampai
dengan 2004 dapat dilihat pada tabel 1.1.
5
Tabel 1. Jaringan Kantor Perbankan Syariah
Kelompok
Bank
2000 2001 2002 2003 2004
KPO
/KC/
KCP
KK KPO
/KC/
KCP
K
K
KPO/
KC/
KCP
KK KPO/
KC/
KCP
KK KPO
/KC/
KCP
KK
Bank Umum
Syariah
29 26 41 43 54 59 94 113 132 131
PT. Bank Muamalat
Indonesia
16 26 18 37 20 46 41 80 49 78
PT. Bank Syariah
Mandiri
13 0 23 6 34 13 53 33 81 53
PT. Bank Syariah
Mega Indonesia
0 0 0 0 0 0 0 0 2 0
Unit Usaha
Syariah
7 0 12 0 25 0 48 0 48 0
PT. Bank IFI 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
PT. Bank Negara
Indonesia
5 0 10 0 12 0 17 0 22 0
PT. Bank Jabar 1 0 1 0 3 0 4 0 4 0
PT. Bank Rakyat
Indonesia
0 0 0 0 2 0 11 0 18 0
PT. Bank Danamon 0 0 0 0 5 0 10 0 10 0
PT. Bank Bukopin 0 0 0 0 2 0 2 0 3 0
PT. Bank
Internasional
Indonesia
0 0 0 0 0 0 2 0 3 0
HSBC, Ltd. 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0
PT Bank DKI 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
BPD Riau 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
BPD Kalsel 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
PT Bank Niaga 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0
BPD Sumut 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
BPD Aceh 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
Bank Permata 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
Bank Perkreditan
Rakyat Syariah
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
TOTAL 115 26 134 43 162 59 142 113 206 131
6
KPO = Kantor Pusat Operasional
KC = Kantor Cabang
KCP = Kantor Cabang Pembantu
KK = Kantor Kas
Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Maret 2004
Dari Tabel 1, Bank Umum Syariah dari 2000 sampai dengan
2004 mengalami peningkatan, dari 2 bank menjadi 3 bank, dan Kantor
Pusat Operasional/Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu
mengalami peningkatan dari 29 buah pada 2000 menjadi 41 buah pada
2001, menjadi 54 buah pada 2002, menjadi 94 buah pada 2003 dan
menjadi 132 buah pada 2004. Kantor Kasnya juga ningkat dari 26
buah pada 2000, menjadi 43 buah pada 2001, menjadi 59 buah pada
2002, menjadi 113 buah pada 2003 dan menjadi 131 pada 2004.
Unit Usaha Syariah dari 2000 sampai dengan 2004 mengalami
peningkatan, dari 3 buah menjadi 15 buah, dan Kantor Pusat
Operasional/Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu juga
mengalami peningkatan dari 7 buah pada 2000, menjadi 12 buah pada
2001, menjadi 25 buah pada 2002, menjadi 48 buah pada 2003 dan
menjadi 66 buah pada 2004, tetapi Kantor Kasnya tidak mengalami
peningkatan, tidak mempunyai Kantor Kas pada 2000 sampai dengan
2004.
Pembahasan
Metodologi dan data
Kinerja merupakan sebuah konsep yang sulit, baik dalam
bentuk definisi maupun dalam pengukuran. Kinerja didefinisikan
sebagai hasil akhir dari aktivitas, dan ukuran tepat yang terpilih untuk
menilai kinerja perusahaan yang dipertimbangkan bergantung pada
jenis organisasi yang dievaluasi dan sasaran yang dicapai melalui
evaluasi itu (Hunger dan Wheelen, 1997). Dengan demikian kinerja
bank Islam dapat didefinisikan sebagai hasil akhir dari aktivitas bank
Islam.
7
Untuk mengukur kinerja bank Islam, Haron (1996)
menggunakan tiga indikator kinerja bank Islam, yaitu Total income
yang diterima oleh bank (TITA), the bank’s portion of income after
payment to depositors (BITA), dan net profit before tax (BTTA).
Sarker (1999), menggunakan Banking Efficiency Model
untuk mengevaluasi kinerja bank Islam di Bangladesh. Banking
Efficiency model menggunakan lima kriteria tes untuk mengukur
efisiensi sistem perbankan Islam. Kelima kriteria tes tersebut antara
lain Investment Opportunity Utilisation Test, Profit Maximisation
Test, Project Efficacy Test, Loan Recovery test dan Test of Elasticity
in Loan Financing.
Samad dan Hassan (1999) melakukan pengukuran kinerja
perbankan Islam Malaysia antara 1984 – 1997. Indikator yang dipakai
untuk melakukan pengukuran kinerja bank Islam adalah profitability,
liquidity, risk and solvency dan commitment to community.
Studi ini membuat perbandingan kinerja Bank Islam (Bank
Syariah) dengan Bank Konvensional (Bank Umum atau Bank
Komersial) di Indonesia. Pertama, Bank Islam dibandingkan dengan
Bank Persero (Bank Pemerintah). Kedua, kinerja Bank Islam
dibandingkan dengan Bank Asing. Ketiga, kinerja dibandingkan
dengan Bank Konvensional yang terdiri dari 145 bank (Industri
Bank). Analisis mengenai kinerja antar-bank ini, pertamakali
dilakukan Sabi (1996). Dalam pasar keuangan yang sangat kompetitif,
kinerja suatu bank dapat lebih baik difahami dengan menggunakan
analisis antar bank (Samad dan Hassan, 2000).
Studi ini menggunakan 9 rasio keuangan untuk kinerja bank.
Rasio-rasio ini dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: a.
profitability ; b. liquidity; c. risk and solvency; d. commitment to
community.
Profitability Ratios :
Profitability dapat diukur menggunakan empat kriteria :
1. Return on asset (ROA) = Laba sebelum pajak dalam 12
bulan terakhir / Rata-rata Aktiva dalam periode yang sama
8
(sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/2/UPPB tanggal
30 April 1997)
2. Return of equity (ROE) = Laba sebelum pajak dalam 12
bulan terakhir / Rata-rata Modal dalam periode yang sama
(sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/2/UPPB tanggal
30 April 1997).
ROA dan ROE merupakan indicator pengukuran efisiensi
of manajerial (Ross (1994), Sabi (1996), Hassan (1999) and
Samad (1998). ROA merupakan pendapatan bersih per unit
suatu aset, yang menunjukkan bagaimana sebuah bank dapat
melakukan konversi aset menjadi pendapatan bersih. Semakin
tinggi rasio ROA semakin baik kinerja bank tersebut.
Demikian halnya, ROE merupakan net earnings per unit
equity capital. Semakin tinggi rasion ROE semakin baik
kinerja manajerial bank tersebut.
3. Income expense ratio (IER) = Pendapatan Operasional dalam
12 bulan terakhir / Biaya operasional dalam periode yang
sama (sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/2/UPPB
tanggal 30 April 1997).
IER merupakan indikator efisiensi biaya dalam
menghasilkan pendapatan. Semakin tinggi IER semakin tinggi
efisiensi biaya untuk mendapat pendapatan, yang berarti pula
semakin tinggi kinerja bank tersebut (Samad dan Hassan,
2000).
4. Net Interest Margin (NIM) = Pendapatan Bunga Bersih /
Rata-rata Aktiva
Produktif (untuk Bank Konvensional, sesuai Surat Edaran Bank
Indonesia No. 30/2/UPPB tanggal 30
April 1997) Non Net Interest Margin (NIM) = Pendapatan Non
Bunga Bersih / Rata-rata Aktiva Produktif (untuk Bank Islam).
Semakin tinggi NIM suatu Bank, semakin tinggi margin pendapatan
bank tersebut.
9
Liquidity Ratios.
Bank dan lembaga keuangan berbagi resiko likuiditas, karena
transaksi deposito dan tabungan dapat dilakukan setiap saat. Dengan
demikian, pendeknya waktu dapat menyebabkan masalah pada
likuiditas (Samad dan Hassan, 2000).
Likuiditas dapat diukur menggunakan criteria sebagai berikut:
Loan deposit ratio (LDR) = Kredit / Dana yang diterima. (Untuk bank
konvensional, (sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/2/UPPB
tanggal 19 Maret 1997). Financing deposit ratio (FDR) = Financing /
Dana yang diterima (Untuk bank Islam). Semakin tinggi LDR/FDR
mengindikasikan bahwa sebuah bank membuat lebih menekankan
keuangannya pada pembuatan hutang/pembiayaan yang telalu banyak.
Semakin kecil LDR/FDR semakin baik likuiditas bank tersebut. CAR
yang tinggi mengindikasikan bahwa bank mempunyai asset yang
likuid jangka panjang. Bank Indonesia memberikan ketentuan
minimal CAR 8 %.
Risk and Solvency Ratios
Sebuah bank dikatakan mampu membayar hutangnya
(solvent) jika total nilai asetnya lebih besar dari liabilitasnya. Bank
menjadi beresiko jika tidak solvent. Berikut ini yang umum digunakan
untuk risk and insolvency.
1. Capital adequacy ratio (CAR) = (Modal Inti + Modal
Pelengkap) / Aktiva tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
Modal Inti terdiri dari Modal disetor dan Cadangan
tambahan modal, sedangkan modal pelengkap terdiri dari
revaluasi aktiva tetap, cadangan umum PPAP maksimal
1,25 % dari ATMR, modal pinjaman, pinjaman sub
ordinasi maksimal 50 % dari modal inti dan peningkatan
nilai penyertaan pada portofolio yang tersedia untuk dijual
setinggi-tingginya sebesar 45 %.
2. Debt to total asset ratio (DTAR) = Hutang (Dana Pihak
Ketiga) / total asset. DTAR mengindikasikan kemampuan
keuangan sebuah bank untuk membayar kepada pemberi
10
hutang. Semakin tinggi DTAR semakin tinggi suatu bank
melibatkan diri dalam resiko bisnis.
3. Non Performing Financing (Loan) (NPF) = Collectibility /
Total Credit (financing). Collectibility meliputi kualitas
kredit (pembiayaan) kurang lancar, diragukan dan macet.
Semakin tinggi nilai NPF mengindikasikan sebuah bank
mepunyai resiko lebih tinggi.
Commitment to Community
Credit (Financing) to Total Asset Ratio (CTA) = (FTA) =
Kredit (pembiayaan) yang diberikan / Total Asset. Semakin besar
prosentase FTA semakin besar pula komitmen bank terhadap
pengembangan masyarakat. (commitment to community
development). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Samad dan
Hassan (2000).
Kinerja Bank Islam (Syariah) di Indonesia diukur dalam dua
tahap. Tahap pertama membandingkan kinerja Bank Islam dengan
Bank Persero dan membandingkan kinerja Bank Islam dengan Bank
Asing yang beroperasi di Indonesia. Tahap kedua, membandingkan
kinerja Bank Islam dengan seluruh Bank Umum atau Bank
Konvensional yang ada di Indonesia (145 bank).
SPSS 11.5 for Windows digunakan dalam analisis. Dalam
membadingkan antar kelompok Bank tersebut, digunakan Analisis
Varian Satu jalan (One Way ANOVA) untuk menguji hipotesis nul
(H0), yaitu kinerja bank Islam dengan Bank yang lain itu sama (tidak
ada perbedaan yang berarti).
MSB / MSW digunakan untuk mengestimasi nilai F. Jika nilai
F ini (F hitung) lebih besar dari nilai F kritis (F tabel), maka
dikatakan Ho ditolak atau Ha yang diterima, artinya kinerja antara dua
kelompok bank tersebut secara statististik tidak sama atau berbeda.
Sebaliknya jika nilai F ini (F hitung) lebih kecil dari nilai F kritis (F
tabel), maka dikatakan Ho diterima Ha ditolak, artinya kinerja antara
dua kelompok bank tersebut secara statististik sama atau tidak
berbeda.
11
Analisis data dan Hasil Empiris
Pada kategori profitabilitas, ANOVA menyarankan untuk
menerima Ho untuk ROA dan ROE antara Bank Islam dengan Bank
Persero, artinya ROA dan ROE Bank Islam tidak ada beda secara
statistik dengan Bank Persero (Tabel 1). Dengan demikian kinerja dan
kinerja manajerial Bank Islam dengan Bank Persero tidak berbeda
secara signifikan. Sedangkan perbandingan Bank Islam dengan Bank
Asing, yaitu rata-rata ROA and ROE untuk Bank Islam masingmasing
1,884 % and 16,428 % sedangkan ROA and ROE untuk
Bank Asing pada periode yang sama masing-masing 3,882 % dan
124,230 % (Tabel 2). ANOVA menyarankan untuk menolak Ho, atau
menerima Ha dengan signifikansi secara statistik masing-masing pada
tingkat 5 % dan 1 %, artinya kinerja dan kinerja manajerial Bank
Islam berbeda secara statistik dengan Bank Asing. Maka kinerja dan
kinerja manajerial Bank Islam kurang baik dibandingkan dengan Bank
Asing. Perbandingan antara Bank Islam dengan Bank Umum untuk
ROA dan ROE, ANOVA menyarankan untuk menerima Ho untuk
ROA dan ROE antara Bank Islam dengan Bank Umum, artinya ROA
dan ROE Bank Islam tidak ada beda secara statistik dengan Bank
Umum (Tabel 3).. Dengan demikian kinerja dan kinerja manajerial
Bank Islam dengan Bank Umum tidak berbeda secara signifikan.
Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Samad dan Hassan
(2000) yang membandingkan kinerja antara Bank Islam dan Bank
Konvensional di Malaysia.
Perbandingan Income Expense Ratio (IER) antara Bank Islam
dengan Bank Persero dan Bank Umum, ANOVA menyarankan untuk
menolak Ho, atau menerima Ha, artinya IER Bank Islam berbeda
secara statistik dengan Bank Persero dan Bank Umum. Rata-rata IER
untuk Bank Islam 1,220 sedangkan IER untuk Bank Persero dan
Bank Umum pada periode yang sama masing-masing 1,002 dan 1,098.
Perbedaan ini signifikan secara statistik masing-masing pada tingkat 1
% dan 5 % (Tabel 1 dan Tabel 3).. Maka Bank Islam lebih efisien
biaya untuk memperoleh pendapatan dibandingkan dengan Bank
Persero dan Bank Umum. Meskipun demikian IER Bank Islam
12
dibandingkan dengan Bank Asing, hasil dari ANOVA, menerima Ho,
artinya tidak berbeda secara signifikan (Tabel 3) atau Bank Islam
tidak lebih efisien biaya untuk memperoleh pendapatan dibandingkan
dengan Bank Asing.
Perbandingan Net Non Interest Margin (NIM) Bank Islam
dengan Net Interest Margin (NIM) Bank Persero dan Bank Asing,
ANOVA menyarankan untuk menerima Ho, maka Net Non Interest
Margin (NIM) Bank Islam dengan Net Interest Margin (NIM) Bank
Persero dan Bank Asing tidak berbeda secara signifikan (Tabel 1 dan
Tabel 2).. Bank Islam lebih baik daripada Net Interest Margin (NIM)
Bank Umum. Maka margin pendapatan Bank Islam dibandingkan
dengan Bank Persero dan Bank Asing tidak berbeda secara signifikan.
Namun demikian, NIM Bank Islam dibandingkan dengan NIM Bank
Umum, ANOVA menyarankan untuk menolak Ho, menerima Ha yang
berarti NIM Bank Islam dan NIM Bank Umum berbeda secara
signifikan. Rata-rata NIM untuk Bank Islam 5,774 % sedangkan NIM
untuk Bank Umum pada periode yang sama masing-masing 3,772%.
Perbedaan ini signifikan secara statistik pada tingkat 5 % (Tabel 3).
Maka margin pendapatan Bank Islam lebih baik dibandingkan dengan
Bank Umum.
Pada kategori likuiditas, Loan / Financing Deposit Ratio
(LDR/FDR) Bank Islam dibandingkan dengan Bank Persero, Bank
Asing dan Bank Umum berbeda secara signifikan (menolak Ho).
Rata-rata FDR untuk Bank Islam 98.126 % sedangkan LDR untuk
Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum pada periode yang sama
masing-masing 34.738 %, 53.248 % dan 41.288 %. Perbedaan ini
signifikan secara statistik masing-masing pada tingkat 1 % ((Tabel 1,
Tabel 2 dan Tabel 3). Dengan demikian Bank Islam kurang likuid
dibandingkan dengan Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum.
Hal ini justru berbeda dengan studi yang dilakukan Samad dan Hassan
(2000) yang membandingkan kinerja likuiditas antara Bank Islam dan
Bank Konvensional di Malaysia, bahwa likuditas Bank Islam lebih
baik dibandingkan dengan Bank Konvensional, karena Bank Islam
memelihara likuditas lebih baik dibandingkan dengan Bank
Konvensional. Sebaliknya di Indonesia, Bank Islam memelihara
13
likuiditas kurang baik dibandingkan dengan Bank Konvensional
(Bank Umum) atau berarti pula Bank Islam mempunyai kemampuan
menyalurkan dana lebih baik dibandingkan dengan Bank
Konvensional.
Sedangkan Capital Adequacy ratio (CAR) Bank Islam Islam
berbeda dari Bank Asing (menolak Ho). Rata-rata CAR untuk Bank
Islam 26.314 % sedangkan CAR untuk Bank Bank Asing 17.490 %,
berbeda secara signifikat pada tingkat 10 %, artinya Bank Islam Islam
mempunyai kecukupan modal lebih baik daripada Bank Asing (Tabel
2), tetapi CAR Bank Islam tidak berbeda secara signifikan dengan
CAR Bank Persero dan Bank Umum (Tabel 2 dan Tabel 3). atau Bank
Islam mempunyai kecukupan modal yang tidak berbeda atau
mempunyai likuiditas jangka panjang tidak berbeda dengan Bank
Persero dan Bank Umum.
Pada kategori Risk and Solvency, Debt to total asset ratio
(DTAR) Bank Islam tidak berbeda dengan DTAR Bank Persero, Bank
Asing dan Bank Umum (menerima Ho), dapat dilihat pada Tabel
(Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3). Dengan demikian kemampuan
keuangan Bank Islam untuk membayar kepada pemberi hutang atau
melibatkan diri dalam resiko bisnis dibandingkan Bank Persero, Bank
Asing dan Bank Umum tidak berbeda.
NPL Bank Islam juga tidak berbeda secara signifikan
dibandingkan dengan NPL Bank Persero dan Bank Umum (menerima
Ho) atau berarti pula resiko Bank Islam tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan Bank Persero dan Bank Umum
(Tabel 1 dan Tabel 3)., tetapi berbeda (menolak Ho) dengan Bank
Asing pada tingkat sinifikansi 1%. Rata-rata NPL untuk Bank Islam
5.110 % sedangkan NPL untuk Bank Asing 11.193 % (Tabel 2).
Maka Bank Asing mempunyai resiko lebih tinggi dibandingkan
dengan Bank Islam.
Pada kategori commitment to community, Financing Total
Asset Ratio (FTA) Bank Islam lebih baik dibandingkan Bank Persero,
Bank Asing dan Bank Umum. Rata-rata FTA untuk Bank Islam
75.762 % sedangkan FTA untuk Bank Persero, Bank Asing dan Bank
Umum pada periode yang sama masing-masing 29.460 %, 45.508 %
14
dan 37.964 %, berbeda secara signifikan masing-masing pada tingkat
1 % (Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3).. Hal ini berbeda dengan yang
ditemukan Samad dan Hassan (2000) pada studi perbandingan kinerja
Bank Islam dengan Bank Umum di Malaysia, yang menyatakan
bahwa komitmen antara Bank Islam dan Bank Konvensional adalah
sama. Hal ini berarti Bank Islam di Indonesia lebih berkomitment
terhadap pengembangan masyarakat dibandingkan Bank Persero,
Bank Asing dan Bank Umum.
Penutup
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kinerja
dan kinerja manajerial Bank Islam dengan Bank Persero dan Bank
Umum tidak berbeda secara signifikan. Sedangkan perbandingan
kinerja dan kinerja manajerial Bank Islam kurang baik dibandingkan
dengan Bank Asing.
Bank Islam lebih efisien biaya untuk memperoleh pendapatan
dibandingkan dengan Bank Persero dan Bank Umum. Meskipun
demikian Bank Islam tidak lebih efisien biaya untuk memperoleh
pendapatan dibandingkan dengan Bank Asing.
Margin pendapatan Bank Islam dibandingkan dengan Bank
Persero dan Bank Asing tidak berbeda secara signifikan. Namun
demikian, margin pendapatan Bank Islam lebih baik dibandingkan
dengan Bank Umum.
Pada kategori likuiditas, Bank Islam kurang likuid
dibandingkan dengan Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum
Bank Islam Islam mempunyai kecukupan modal lebih baik daripada
Bank Asing, tetapi CAR Bank Islam tidak berbeda secara signifikan
dengan CAR Bank Persero dan Bank Umum atau Bank Islam
mempunyai kecukupan modal yang tidak berbeda dengan Bank
Persero dan Bank Umum.
Pada kategori Risk and Solvency, kemampuan keuangan Bank
Islam untuk membayar kepada pemberi hutang atau melibatkan diri
dalam resiko bisnis dibandingkan Bank Persero, Bank Asing dan Bank
Umum tidak berbeda. Bank Islam tidak berbeda secara signifikan
15
dalam resiko kemacetan hutang dibandingkan dengan Bank Persero
dan Bank Umum., tetapi Bank Islam mempunyai resiko kemacetan
lebih kecil dibandingkan dengan Bank Asing.
Pada kategori commitment to community, Bank Islam lebih
berkomitment terhadap pengembangan masyarakat dibandingkan
Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum.
Dengan terbuktinya Bank Islam lebih berkomitment terhadap
pengembangan masyarakat dibandingkan Bank Persero, Bank Asing
dan Bank Umum, maka Pemerintah untuk terus mendukung
perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan membuat kebijakan
yang memberikan peluang lebih besar untuk Bank Islam.
Studi lebih lanjut dari ini pelu dilakukan, misalkan studi
tentang pengaruh kinerja Bank Islam terhadap kesejahteraan
masyarakat. Studi teantang pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap
kinerja Bank Islam.
Table 1
Performance Measure Bank Islam Bank Persero F-value
I. Profitability
1. ROA 1,824 % 1,872 % 0,008
2. ROE 16,428 % 21,336 % 0,572
3. IER 1,220 1,002 22,567***
4. NIM 5,774 % 4,042 % 0,162
II. Liquidity
6. LDR 98,126 % 34,738 % 52,964***
III.Risk and Solvency
7. CAR 26,314 % 17,372 % 2,846
8. DTAR 66,304 % 67,690 % 0,077
9. NPL 5,110 % 8,990 % 2,501
IV. Commitment to
Community
10.FTA 75,762 % 29,460 % 95,681***
* Difference in means : Significant at 10 %
** Difference in means : Significant at 5 %
***Difference in means : Significant at 1 %
16
Table 2
Performance Measure Bank Islam Bank Asing F-value
I. Profitability
1. ROA 1,824 % 3,882 % 9,738**
2. ROE 16,428 % 124,230 % 21,153***
3. IER 1,220 1,174 0,656
4. NIM 5,774 % 4,144 % 0,127
II. Liquidity
5. LDR 98,126 % 53,248 % 27,816***
III.Risk and Solvency
6. CAR 26,314 % 17,490 % 4,311*
7. DTAR 66,304 % 73,830 % 2,631
8. NPL 5,110 % 11,193 % 11,193***
IV. Commitment to
Community
9. FTA 75,762 % 45,508 % 47,866***
* Difference in means : Significant at 10 %
** Difference in means : Significant at 5 %
***Difference in means : Significant at 1 %
17
Table 3
Performance Measure Bank Islam Bank Umum F-value
I. Profitability
1. ROA 1,824 % 1,834 % 0,000
2. ROE 16,428 % 27,966 % 2,505
3. IER 1,220 1,098 6,460**
4. NIM 5,774 % 3,722 % 3,837*
II. Liquidity
5. LDR 98,126 % 41,288 % 38,597***
III.Risk and Solvency
6. CAR 26,314 % 19,328 % 2,321
7. DTAR 66,304 % 73,822 % 2,514
8. NPL 5,110 % 10,880 % 5,396**
IV. Commitment to
Community
9. FTA 75,762 % 37,964 % 85,797***
* Difference in means : Significant at 10 %
** Difference in means : Significant at 5 %
***Difference in means : Significant at 1 %
Daftar Pustaka
Akkas, Ali, (1996), “Relative Efficiency of the Conventional and
Islamic Banking System in Financing Invenstment,”
Unpublished PH,d, Dissertation, Dhaka University,
Algaoud, Latifa M and Lewis, Mervyn K, (2001), “Islamic Banking”,
Edward Elgar, Massachusetts,
Arif, Mohammad, (1989), “Islamic Banking in Malaysia:Framework,
performance and lesson”, Journal of Islamic Economics,
vol,2, No,2
Dewany, Tarek El, (2003), “The Problem With Interest”, London,
Dirrar, E,Elbeid, (1996), “Economics and Financial Evaluation of
Islamic Bankking Operations:A case of Bank Islam Malaysia
1983-1995”,Unpublished paper,UIA,
18
Haron, Sudin (1996), “The Effects of Management Policy on The
Performance of Islamic Banks”, Asia Pacific Journal of
Management, Vol 13, No, 2: 63-76
Hassan, M,Kabir (1999),”Islamic Banking in Theory and Practice:
The Experience of Bangladesh,”Managerial Finance,
Vol,25,Vol,5:60-113,
Hassan, M, Kabir and Samad, Abdus (2000) “The Performance of
Malaysian Islamic Bank During 1984-1997: An Exploratory
Study ” International Journal of Islamic Financial Services
Vol,1,No,3,
Saeed, A,(1996), “Islamic Banking and Interest”, Leiden, EJ, Brill,
Sum, Wong Choo,(1995),”Bank Islam Malaysia:Performance
Evaluation”,Al-Harran Saad Abdul Satter(ed, :eading Issues in
Bnaking and Finance,PJ,Pendaduk Publication,
Tan,M,Koh,Cand Low C,(1997),”Stability in Financial ratios:A study
of listed companies in Singapore”,Asia Review of
Accounting,vol,5,No,1,
Sabi,Manijeh,(1996),”Comparative Analaysis of Foreign and
Domestic Bank Operation in Hungary”, Journal of
Comparative Economics,vol,22,pages (179-188)
Samad,Abdus,(1999,”Comparative Efficiency of the Islamic Bank
Malaysia vis-à-vis conventional banks”,Journal of Economics
and Management,vol,7,No,1,
Meinster,David amd Elyasian, Elyas (1994) “An Empirical test of
Test of Association between Production and Financial
Performance: The case of Commercial banking industry”,
Apllied Financial Economics, vol,4,pages 55-59,
Putnam, B,H, (1983),”Concept of Financial Monetary”, Federal
Reserve Bank of Atlanta Economics Review, pages 6-13,
Spindler, Andrew et,Al (1991),”The Performance of Ibternationally
Active Banks and Securities Firms based on conventional
measure of competitiveness, In Federal Reserve Bank,NY,
Yawer, Nick (2002), “Islamic Banking & Finance Conference”,
Washinton DC, The Islamic Free Market Intitution,
19
MANAJEMEN PROFESIONAL
Rahma Widyawati
STMIK AMIKOM Yogyakarta
Abstraksi
Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno
ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara
universal. Menurut ISO9001:2000, manajemen merupakan aktivitasaktivitas
terorganisasi untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu
organisasi. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen
sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini
berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan
orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.
Kata profesional adalah kata sifat berasal dari kata 'profesi'.
Profesional berarti totalitas pada suatu pekerjaan agar mendapatkan
output yang terbaik. Ada tiga hal terkait di sini, yaitu kepuasan dari
pengguna jasa atau barang yang dihasilkan, keahlian orang yang
mengerjakan, dan imbalan dari pekerjaan tersebut.
Manajemen Profesional dapat berarti, suatu aktivitas
terorganisasi untuk menghimpun, mengarahkan dan mengendalikan
seluruh komponen termasuk SDM, perangkat dan sistem yang ada
agar dapat bergerak untuk mencapai hasil maksimal. Arah gerakan
selalu disesuaikan dengan pesatnya perkembangan dan kebutuhan
organisasi juga masyarakat agar dapat memberikan kepuasan bagi
semua komponen, baik internal organisasi maupun masyarakat dan
institusi pengguna jasa atau barang hasil produksi.
Kata Kunci: Manajemen, Profesional, SDM
20
Pendahuluan
Manajemen adalah gabungan pelaksanaan fungsi-fungsi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan
(actuiting), dan pengawasan/pengendalian (controlling) untuk
mencapai suatu tujuan tertentu dalam waktu yang ditentukan.
Defenisi lain tentang manajemen adalah sebagai perpaduan
pelaksanaan fungsi-fungsi rencana (plan), kerjakan (do), periksa
(check) dan aksi (action) untuk mencapai tujuan tertentu dalam waktu
tertentu pula. Selain itu, ada yang menerapkan model fungsi-fungsi
manajemen yang terkait dengan manajemen mutu (seperti ISO
9001:2008) yaitu rencana (plan), kerjakan (do), kajian (study) dan
tindakan (action).
Profesional diartikan sebagai ciri-ciri kekuatan yang dimiliki
oleh seseorang berupa kemampuan terhadap suatu bidang keahlian
(kompetensi), kesiapan melakukan kompetisi, kemampuan melakukan
efisiensi waktu dan kerja, keterampilan, pandai membaca situasi dan
keadaan, berpengalaman, memiliki sifat dan hasil kerja yang
mengagumkan.
Manajemen profesional didalam konteks SDM adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dalam pengembangan mutu SDM
secara profesional. Lawannya adalah manajemen amatiran yang ciricirinya
bertentangan dengan ciri-ciri manajemen profesional.
Ciri-ciri manajemen profesional dalam pengembangan mutu SDM
dapat dilihat dari sisi operasional dan manajerial yakni:
1) Memperoleh dukungan top manajemen.
2) Bermanfaat untuk kepentingan internal dan juga eksternal
organisasi.
3) Memiliki program jangka panjang dan berkesinambungan.
4) Berorientasi ke masa depan dengan pendekatan holistic
(menyentuh unsur perasaan/spiritual).
5) Melaksanakan prinsip efisiensi dan efektivitas.
6) Melakukan tindakan secara terencana/terprogram.
7) Melakukan monitoring, evaluasi serta menerima umpan-balik.
8) Karyawan dan pimpinan unit yang:
21
a. memiliki kompetensi atau keakhlian dan pengalaman
panjang di bidangnya.
b. haus dan berani pada tantangan.
c. inovatif, kreatif, inisiatif dan efisien.
d. Memiliki integritas tinggi.
e. menghargai profesi lain.
f. selalu siap menghadapi segala resiko.
g. bertanggungjawab atas setiap kata dan perbuatannya.
9) Mampu menggunakan teknologi tepat guna.
10) Kepemimpinan dalam membangun komitmen.
11) Semua lapisan berpartisipasi aktif dalam semua aktivitas.
12) Kerjasama Tim solid.
13) Memberikan penghargaan pada tiap karyawan yang berprestasi
(kompensasi termasuk peluang pendidikan-pelatihan lanjutan
dan promosi karir).
14) Persuasi pada karyawan yang kurang berprestasi untuk menjadi
yang terbaik melalui konsultasi-bimbingan dan pendidikanpelatihan
bersinambung.
15) Memiliki budaya korporat: transparansi (terbuka),
independensi (tidak bergantung), responsive (cepat tanggap),
akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan), dan jujur.
Pembahasan
Pentingnya Manajemen Profesional Untuk Mengatasi
Kemunduran Birokrasi Dalam Pelayananan Publik
Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada pada layanan
publik didalam lingkungan masyarakat modern benar-benar dipandang
memprihatinkan. Tidak hanya dalam institusi pemerintah juga dalam
institusi-institusi swasta yang sudah merasa mapan, sehingga
diramalkan bahwa semakin menggejalanya dan berkembangnya
praktek-praktek birokrasi yang paling rasional sekalipun, tidak bisa
lagi dianggap sebagai kabar gembira, karena justru akan merupakan
pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan
Meyer, 2000: 3).
22
Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang
termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik: tidak efesien,
tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif,
menjadi pemarah ketika dikontrol dan dikritik, tidak mengabdi kepada
kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi
instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat
otoritatif dan represif.
Manajemen Profesional vs Kekeluargaan
Bila kita pernah mendengar salah seorang dari karyawan
senior berkata, “dulu waktu masih dipimpin bapak A, kita enak ya…”
atau mungkin pernah dengar seperti ini, “sekarang ini nggak kayak
dulu, peraturan makin banyak, dulu kayaknya kita kerja rela-rela aja
berkorban waktu meskipun nggak dibayar”.
Semua itu adalah salah satu proses evolusi dari manajemen
kekeluargaan ke manajemen profesional. Namun seringkali hal ini
tidak dipahami oleh orang-orang yang tidak siap untuk berubah.
Apakah profesionalisme itu kejam? atau sebaliknya. Apakah
manajemen kekeluargaan itu baik? Masing-masing memang ada nilai
lebih dan kurang-nya.
Perlu dipahami bahwa bila suatu perusahaan tetap mempertahankan
model manajemen kekeluargaan, maka perusahaan tersebut sering kali
tidak dapat berkembang pesat. Titik lemah manajemen keluarga lebih
pada ketergantungan terhadap orang, dan fleksibilitas yang sangat
tinggi menyebabkan suatu peraturan sangat tergantung pada
keberadaan pemilik dan kedekatan emosional antar pemilik dan
pekerja, sehingga dalam pengukuran kinerja terlihat sangat subyektif.
Sedangkan manajemen profesionalisme terkesan kaku dan kejam,
tetapi sesungguhnya perlakuannya sangat obyektif. Namun hal ini
tetap tergantung pada manajer atau direkturnya. Karakter setiap
manajer atau direktur perusahaan akan mempengaruhi proses
manajemen profesionalisme ini.
23
Mengapa Harus Manajemen Profesional
Tidak jarang pelaksanaan program pengembangan mutu
sumberdaya manusia oleh suatu organisasi mengalami kegagalan. Hal
demikian dipengaruhi oleh beragam faktor pemahaman tentang
budaya organisasi, input, proses perencanaan, pengendalian dan hasil
pelaksanaan program secara terpisah atau secara bersama-sama. Bila
satu faktor ada yang kurang, maka akan mengganggu keberhasilan
pelaksanaan program.
Faktor-faktor tersebut antara lain:.
1) Budaya organisasi: sistem nilai, norma dan perilaku pimpinan
dan anggota organisasi yang kurang mendukung pencapaian
misi, visi dan tujuan organisasi.
2) Sistem nilai: perpaduan subsistem nilai organisasi dan
subsistem nilai pelaku organisasi; misalnya perpaduan
kepentingan organisasi dan kepentingan individu dan eksternal.;
pandangan terhadap produktifitas, efisiensi sebagai sistem nilai,
dan sebagainya.
3) Norma: pernyataan perbuatan baik-buruk, benar-salah atas
suatu pekerjaan.
4) Perilaku: motif, kehendak, kecerdasan (intelektual, emosional
dan spiritual) dan tindakan seseorang dalam mencapai tujuan
organisasi dan pribadinya.
5) Input organisasi: keterbatasan dalam faktor-faktor:
Sumberdaya manusia, bahan baku, anggaran, fasilitas,
teknologi, informasi, sumberdaya lain seperti lahan di sektor
pertanian.
6) Proses perencanaan: Ketersediaan data dan informasi kurang,
keterbatasan jumlah dan mutu sumberdaya manusia, metode
perencanaan yang tidak tepat, teknologi tepat guna tidak
tersedia, dan dimensi waktu dan ruang yang tidak jelas.
7) Pengendalian: Kepemimpinan yang lemah dalam
mempengaruhi subordinasi, sistem koordinasi tidak efektif,
24
metode monitoring dan evaluasi tidak dilakukan atau tidak
efektif, dan umpan balik tidak dilakukan.
8) Output: Jumlah dan mutu hasil pengembangan SDM rendah,
tidak efisien dan tidak efektif, benefit ekonomi dan sosial
rendah.
Jadi kegagalan pelaksanaan suatu program pengembangan mutu SDM
dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: aspek manajerial dan aspek
operasional.
Aspek Manajerial: penerapan fungsi-fungsi planning, organizing,
actuiting, dan controlling (POAC) atau plan, do, check dan action
(PDCA) yang tidak berjalan efektif.
Aspek Operasional: penggunaan sumberdaya yang terbatas dan
metoda yang tidak tepat atau pengelolaan sumberdaya yang tidak
optimal.
Kegagalan pelaksanaan program pengembangan mutu SDM
dicirikan oleh pencapaian tujuan organisasi yang tidak sesuai dengan
harapan atau standar kerja atau organisasi. Hal itu bisa jadi karena
tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen profesional.
Kegagalan tersebut akan berakibat pada beberapa hal berikut:
kerugian materi, kerugian finansial, kerugian nama organisasi,
penurunan kesejahteraan karyawan, penurunan motivasi/semangat
kerja karyawan, daya saing organisasi semakin rendah. Implikasi dari
kegagalan program maka perusahaan perlu melakukan tindakantindakan:
1) Telaah ulang misi, visi dan tujuan organisasi.
2) Restrukturisasi organisasi.
3) Restrukturisasi dan peningkatan mutu personalia.
4) Manajemen perubahan.
5) Manajemen profesional.
Tidak dapat dipungkiri berbagai dimensi kehidupan
masyarakat di era global termasuk perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, telekomunikasi dan transportasi semakin begitu
berkembang. Ada kecenderungan organisasi yang semakin modern
dicirikan oleh semakin majunya penggunaan IPTEK mutakhir.
25
Sementara itu kebutuhan masyarakat akan tuntutan mutu produk
semakin tinggi saja. Persaingan bisnis menjadi hal yang biasa.
Di sisi lain setiap organisasi khususnya bisnis belum tentu sudah siap
menghadapi perkembangan tersebut. Masih banyak organisasi yang
berorientasi pada kemapanan, berpikir dan bertindak seketika, tidak
berorientasi ke depan dan sangat sedikit sekali menerapkan IPTEK
terbaru. Secara garis besar berikut ini diuraikan faktor-faktor yang
mendorong organisasi untuk profesional. Tujuannya adalah agar
organisasi, misalnya bisnis, dapat mencapai keuntungan maksimum,
daya saing tinggi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan karyawan
maksimum melalui pengembangan mutu SDM berikut ini.
1) Perkembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi: inovasi lewat
riset dan pengembangan dan adopsi teknologi baru,
2) Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi: sistem
teknologi informasi, e-business,
3) Persaingan organisasi-bisnis: modernisasi, efisiensi,
4) Persaingan pasar verja: peningkatan kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual para karyawan,
5) Tuntutan pelanggan semakin tinggi: peningkatan mutu produk,
efisiensi biaya (harga) dan sistem pelayanan.
6) Kebutuhan pelaku-karyawan semakin besar dan beragam:
mengakomodasi kebutuhan secara proporsional.
Penutup
Manajer adalah seseorang yang bekerja melalui orang lain
dengan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai
sasaran organisasi.
Seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau
layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang
dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang
tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang
didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah.
Meskipun begitu, seringkali seseorang yang merupakan ahli dalam
suatu bidang juga disebut "profesional" dalam bidangnya, meskipun
bukan merupakan anggota sebuah entitas yang didirikan dengan sah.
26
Sebagai contoh, dalam dunia olahraga terdapat olahragawan
profesional yang merupakan kebalikan dari olahragawan amatir yang
bukan berpartisipasi dalam sebuah turnamen/kompetisi demi uang.
Seorang pimpinan/manajer maupun karyawan perlu menunjukkan
sikap/ciri dan kerja profesional, dengan mengerjakan bagian
pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan berorientasi pada kualitas.
Profesionalisme dalam bekerja bukan berarti bidang pekerjaan harus
sama dengan education background tapi sejauh mana dedikasi yang
diberikan pada pekerjaan dan loyalitas yang mampu diberikan.
Tidak soal apakah dia lulusan hukum yang kemudian bekerja di
bidang pertanian, atau dia lulusan pertanian yang kemudian bekerja di
bidang IT, yang jadi soal adalah bagaimana ia mengerjakan
pekerjaannya tersebut, dan maukah ia meluangkan waktu sejenak
untuk mempelajari hal-hal yang belum ia kuasai?
Bila seorang manajer atau karyawan mengerjakan pekerjaannya
dengan asal-asalan (yang penting selesai), maka ini sama seperti
kebanyakan supir bis/mikrolet yang kerap kali memperlakukan
penumpang seenaknya, yang penting setoran tercapai.
Profesional tidaknya seseorang dinilai dari hasil kerja yang ia berikan,
bukan latar belakang atau tingkat pendidikannya
Daftar Pustaka
Blau, Peter.M dan Meyer, Marshall.W, 2000, Birokrasi Dalam
Masyarakat Modern, Jakarta, Prestasi Pustakaraya.
Islamy, Irfan, M. 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi
Negara, Malang, Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas
Brawijaya.
Lyntrias. 2009. Manajemen profesional vs kekeluargaan,
http://lyntrias.wordpress.com/2009/07/14/manajemenprofesional-
vs-kekeluargaan/
Mangkuprawira, S dan Hubeis, A V.2007, Manajemen Mutu SDM,
PT Ghalia Indonesia.
Mangkuprawira, S. 2007. Mengapa harus manajemen professional,
http://ronawajah.wordpress.com/2007/05/14/mengapa-harusmanajemen-
profesional/
27
PERSAINGAN ANTAR PERUSAHAAN
Sri Mulyatun
STMIK AMIKOM Yogyakarta
Abstraksi
Persaingan antar perusahaan yang kian marak mendorong
setiap perusahaan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas
produknya agar tidak terjadi produk rusak dalam setiap aktifitas
produk mereka. Tetapi yang terjadi selama ini CV. Sahabat belum
melakukan pelaporan secara tersendiri mengenai biaya yang
berhubungan dengan kualitas dari buku yang dihasilkan
perusahaan.Sehingga tidak mengetahui seberapa besar biaya yang
sebenarnya dikeluarkan sehubungan dengan kualitas produk.
Komponen Penting yang harus diperhatikan oleh setiap perusahaan
dalam upaya meningkatkan kualitas produknya adalah biaya kualitas.
Melalui biaya kualitas ini perusahaan dapat mengetahui apakah
program kualitas yang dijalankan selama ini sudah efektif dengan
membandingkan besarnya biaya kualitas dengan prosentase produk
rusaknya. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini difokuskan untuk
mengetahui bagaimana tingkat produk rusak pada CV.Sahabat
berdasarkan Statistical Quality Control serta berapa jauh pengaruh
biaya kualitas terhadap produk rusak.
Kata Kunci: Persaingan, Perusahaan,
Pendahuluan
Penelitian yang dilakukan merupakan data selama 3 tahun
yaitu tahun 2005, 2006, 2007 yang terbagi dalam kuartal sehingga
jumlah sampel seluruhnya 12. Data yang dikumpulkan merupakan
data sekunder yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi.
Sedang alat analisis yang digunakan adalah Stastical Quality Control
28
untuk mengetahui apakah produk rusak yang terjadi berada dalam
posisi incontrol atau uncontrol.Sedangkan untuk mengetahui pengaruh
biaya kualitas terhadap produk rusak digunakan regresi berganda dan
uji asumsi klasik.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa selama
tahun 2005, 2006, 2007 tingkat kerusakan rata-rata sebesar
11,8%.Pada kuartal 2, 3, 5, 6 dan 8 produk rusak pada posisi
uncontrol. Dari Uji asumsi klasik tidak terjadi multikolonearitas,
heterokedastisitas dan autokorelasi serta memenuhi asumsi normalitas.
Dari Uji T diperoleh hasil bahwa masing-masing biaya kualitas
mempunyai perilaku yang berbeda terhadap produk rusak. Pengujian
bersama dengan uji F menunjukkan hasil bahwa komponen biaya
kualitas mempunyai pengaruh secara bersama terhadap produk rusak
sebesar 95,6 % sedang sisanya 4,4 % dipengaruhi faktor lain diluar
komponen biaya kualitas.
Dalam era globalisasi ini persaingan yang sangat tajam terjadi
baik dipasar domestic ( nasional ) maupun pasar global
( internasional ). Agar perusahaan bisa berkembang atau paling tidak
bertahan hidup ( survive ), perusahaan harus mampu menghasilkan
produk ( barang atau jasa ) yang kualitasnya lebih baik, harganya lebih
murah, promosinya lebih efektif, penyerahan produksinya lebih cepat
dan dengan pelayanan lebih baik dibandingkan dengan para
pesaingnya ( Suprapto.1995).
Ini berarti bahwa perusahaan yang ingin memenangkan
persaingan dalam segmen pasar yang telah dimasukinya harus mampu
mencapai tingkat kualitas yang diharapkan. Dan komponen penting
dalam menerapkan strategi kualitas adalah biaya kualitas.
Biaya
Secara umum dapat dikatakan bahwa biaya merupakan cost
yang telah dikorbankan dalam rangka menciptakan pendapatan.Anis
Chariri ( 2001 ) menyebutkan bahwa biaya adalah aliran keluar atau
pemakaian aktiva selama satu periode yang berasal dari penjualan atau
produksi barang atau penyerahan jasa atau pelaksanaa kegiatan yang
29
lain yang merupakan kegiatan utama suatu entitas. Sedangkan IAI (
1999 ) mendefinisikan biaya ( beban ) adalah penurunan manfaat
ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau
berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan
penurunan entitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam
modal.
Terlepas dari perbedaan definisi tersebut yang jelas setiap cost
yang dinyatakan keluar dalam rangka menghasilkan pendapatan
disebut dengan biaya, baik itu yang berasal dari aktiva maupun yang
berasal dari cost secara langsung dibebankan sebagai biaya tanpa
dicatat lebih dahulu sebagai aktiva ( Anis Chariri,2001 )
Kualitas
Kualitas atau mutu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai tingkat baik buruknya sesuatu. Secara operasional
produk bermutu adalah produk yang memenuhi berbagai harapan
pelanggan.
Hansen dan Mowen ( 1997 ) mengungkapkan terdapat
delapan dimensi mutu yaitu : Kinerja ( Performance ), Keindahan,
Kemudahan perawatan dan perbaikan, Keunikan, Kehandalan, Daya
Tahan, Tingkat kesesuaian dan Pemanfaatan.
Biaya Kualitas
Agar manajemen dapat melakukan perencanaan, pengendalian
dan pengambilan keputusan tentang kualitas produk, manajemen perlu
memahami biaya kualitas.
Menurur Hansen dan Mowen ( 2000,7 ) mendefinisikan biaya
kualitas sebagai biaya yang timbul karena adanya atau kemungkinan
adanya kualitas produk yang rendah. Biaya kualitas adalah biaya yang
dikeluarkan karena adanya kualitas yang rendah ( Muhammad Akhyar
Adnan,2000 ) dengan kata lain biaya kualitas adalah biaya yang
terkait dengan upaya peningkatan kualitas. Sedangkan menurut
Schoeder ( 1997 ) biaya kulaitas diklasifikasikan dalam empat
kategori yaitu : Biaya Pencegahan, Biaya Penialian, Biaya Kegagalan
Internal dan Biaya Kegagalan External.
30
Metode Pengumpulan Data
Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data ini
diperoleh dengan melakukan survey lapangan yaitu wawancara
dengan pipmpinan dan karyawan perusahaan dan dengan mengambil
data langsung dari perusahaan
Metode Analisis
Metode Analisis yang digunakan adalah analisis Kualitatif
dengan cara mengelompokkan biaya-biaya yang berkaitan dengan
aktifitas untuk menjamin kualitas produk sesuai dengan kelompok
biaya kualitas. Selain itu juga menggunakan analisis kuantitatif yaitu
teknik analisis yang digunakan untuk menerangkan hasil penelitian
dalam bentuk angka agar mudah diolah
Hasil Penelitian
Diskripsi Data
Penelitian ini mengambil data perusahaan ( CV.Sahabat )
selama 3 tahun yaitu tahun 2005, 2006 dan 2007 yang terbagi dalam
kuartal sehingga ada 12 sampel, dari data tersebut didapatkan rata-rata
jumlah produk 179.687 dan rata-rata jumlah produk yang rusak
21.847 ( 11,8% )
Teknik Pengujian Hipotesa
Uji T adalah pengujian koefisien regresi parsial atau
individual untuk mengetahui apakah masing-masing variabel
independen secara individual mempengaruhi variabel dependen. Uji F
untuk mengetahui apakah variabel independen berpengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel dependen.
Hasil Analisis
Dari hasil Uji T atau Pegujian Koefisien Regresi untuk biaya
pencegahan diperoleh nilai T hitung sebesar -6,248 dengan
probabilitas sebesar 0,000 dengan taraf signifikan kurang dari 0,05
31
maka dinyatakan biaya pencegahan berpengaruh terhadap produk
rusak diterima, untuk biaya penilaian diperoleh nilai T hitung sebesar
3,562 dengan probabilitas sebesar 0,009 dengan taraf signifikan
kurang dari 0,05 maka biaya penialian berpengaruh terhadap produk
rusak diterima, Biaya kegagalan internal diperoleh nilai T hitung
0,500 dengan probabilita 0,632 dengan taraf signifikan lebih dari 0,05
maka disimpulkan biaya kegagalan internal berpengaruh terhadap
produk rusak tidak diterima, Biaya kegagalan Eksternal diperoleh nilai
T hitung 1,279 dengan probabilitas sebesar 0,242 dengan taraf
signifikan lebih dari 0,05 maka dinyatakan biaya kegagalan eksternal
tidak diterima. Kemudian dari Uji F diperoleh nilai sebesar 38,061
dengan angka probabilitas sebesar 0,000 dengan tingkat signifikan
kurang dari 0,05 maka dinyatakan biaya kualitas berpengaruh
terhadap penurunan produk rusak dapat diterima, artinya biaya
kualitas akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap produk rusak
apabila digunakan secara bersama-sama.
Penutup
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa tingkat kerusakan produk pada CV.Sahabat selama tahun 2005-
2007 adalah 11,8% dari jumlah produksi dan melebihi prosentase ratarata
serta berada diluar batas pengendalian.Hal ini disebabkan antara
lain oleh faktor mesin dan manusia.
Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya produk rusak
perusahaan percetakan CV.Sahabat perlu melakukan tindakan
pengawasan yang lebih intensif terhadap faktor yang menjadi
penyebab terjadinya kerusakan seperti mesin produksi dan pegawai.
Daftar Pustaka
-
32
MEMAHAMI KONSEPSI BISNIS DAN HARTA
SECARA ISLAMI
Winoto Soekarno
STMIK AMIKOM Yogyakarta
Abstraksi
Dalam masyarakat Indonesia, belakangan ini, ada
kecenderungan sikap yang paradoksal tatkala memandang orang yang
berlimpah kekayaaan. Di satu sisi orang kaya dipandang sebagai orang
sukses, sehingga tidak sedikit di antara masyarakat kita yang berupaya
keras untuk meraih kekayaan itu. Tetapi, di sisi lain, tak sedikit pula
yang memandang kekayaan harta benda sebagai sesuatu yang negatif.
Kekayaan bisa menjadikan manusia bertambah-tambah ketakwaannya,
tetapi dapat juga membuat manusia lupa diri. Al-Qur’an telah dengan
jelas menggambarkannya dalam surat at-Takastur, yaitu orang-orang
yang menumpuk harta benda sehingga lalai kepada Allah SWT.
Kata Kunci: Bisnis, Harta, Islami
Pendahuluan
Dalam hal pandangan yang negatif terhadap harta benda, ada
peribahasa Arab yang artinya, dunia merupakan penjara bagi orangorang
yang beriman. Harta benda dan dunia merupakan cobaan, yang
dapat menyebabkan lupa diri dan jauh dari Tuhan. Mendekatkan diri
kepada Tuhan hanya dapat dilajukan dengan cara menjauhkan diri dari
hal-hal yang bersifat duniawi. Harta, tahta dan wanita merupakan
penggoda kehidupan manusia di dunia.
Dalam realitasnya, kehidupan di dunia tidak akan lepas dari
hal-hal yang bersifat material. Kebutuhan hidup – secara bertahap
tetapi pasti – bukannya berkurang melainkan bertambah. Apalagi
dalam kondisi perekonomian nasional yang belum membaik. Berbagai
sektor ekonomi terhimpit oleh kenaikan bahan baku, biaya operasional
33
produksi yang tinggi dan melubernya produk-produk impor ilegal
dengan harga rendah sehingga menampar para pelaku industri
manufaktur dalam negeri. Jika pandangan negatif terhadap harta
benda terus berkembang, dalam prosesnya akan menghantam etos
kerja masyarakat, dengan asumsi bahwa ‘’tidak masalah hidup
miskin di dunia, tetapi besok di akhirat pasti akan kaya‘’.
Akibat dari pandangan minor terhadap harta benda ialah adanya
pendangan minor terhadap bisnis. Bisnis dianggap sebagai pekerjaan
yang penuh dengan tipu daya dan tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan etika bisnis. Etika bisnis disangsikan apakah dapat
mempunyai tempat dalam bisnis.1 Bisnis adalah kegiatan manusia
yang hanya bertujuan mencari laba. Sementara itu etika merupakan
disiplin ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai yang benarsalah,
baik-buruk, sehingga dianggap tidak seiring dengan struktur
bisnis.2 Dari kesangsian-kesangsian itulah lahir mitos bisnis amoral,
bahwa bisnis adalah bisnis: antara bisnis dan moralitas tidak ada
kaitan apa-apa dan tidak bisa berjalan seiring.3 Mitos bisnis immoral,
yang meyakini bahwa bisnis merupakan kegiatan tak terpuji dan
karenanya harus dihindari apabila tidak ingin terjerumus ke dalam
bisnis yang seperti itu. Demikian pula mitos bisnis pengejar
maksimalisasi keuntungan, bahwa bisnis adalah kegiatan yang hanya
berhubungan dengan keuntungan semata; dan mitos bisnis sebagai
permainan, bahwa bisnis merupakan arena kompetisi tertutup yang
mengasikkan seperti judi dimana kemenangan menjadi tujuan utama
dan dapat diperoleh hanya dengan cara tidak jujur. Dengan mitosmitos
itu, maka citra ‘buruk’ dan perilaku-perilaku yang bertentangan
dengan etika seperti moral hazard, berbohong, mengelabui konsumen,
merugikan pihak lain tetapi menguntungkan pelaku binsis dan lain-
1 A. Sonni Keraf, “ Bisakah Bisnis Berjalan Tanpa Moralitas”, Basis,
No 05-06, Tahun ke 46 Mei-Juni1997, hlm. 49.
2 Dawan Rahardjo, “Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam
PJP II”, Prisma, 2 Februari 1995, hlm. 2.
3 Lihat, George, Ricard T De. Business Ethics, (New Jersey: Prentice
Hall, Englewood Cliffs , 1986), hlm. 5-10.
34
lain dalam praktek bisnis, seakan mendapat legitimasi. Benarkah
berbisnis itu seperti itu?
Bagaimanakah pandangan Islam tentang bisnis? Bagaimana
pula pandangan Islam harta benda yang merupakan sasaran antara
dalam kegiatan bisnis? Makalah ini akan mengkaji kedua persoalan
tersebut dengan menggunakan pendekatan etika bisnis Islam. Pertamatama
akan dibahas tentang bisnis dan selanjutnya tentang posisi harta
benda. Dari kedua bahasan ini kemudian akan diambil benang merah
untuk kedua rumusan masalah dimaksud.
Pembahasan
Konsepsi Islam tentang Bisnis
Bisnis pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk mencari
keuntungan. Menurut Charles C Torrey dalam buku The Commercial-
Theological Term in the Koran, istilah-istilah ekonomi dan bisnis
dalam Al-Qur’an bukan hanya merupakan kiasan-kiasan ilustratif
tetapi merupakan butir-butir doktrin yang paling mendasar dalam
bidang ekonomi dan bisnis.
Menurut Quraisy Shihab, dalam Al-Qur’an banyak ditemukan
ungkapan tentang ekonomi dan bisnis. Misalnya, ketika mengajak
untuk beramal seringkali menggunakan istilah-istilah yang dikenal
dan berhubungan erat dengan bidang ekonomi dan bisnis. Demikian
pula terdapat istilah-istilah seperti bisnis, jual beli, perbendaharaan,
harta-benda, utang-piutang, permodalan4, usaha dan kerja, rizki,
keuntungan, upah, harta-benda, dan lain-lain. Dalam at-Taubah(9): 115
misalnya, Al-Qur’an menawarkan suatu keuntungan yang tidak
mengenal kerugian dan penipuan. Demikian pula dalam Fatir(35): 29
4 Lihat, QS 2: 279; “Bagimu modal kamu, kamu tidak menganiaya
dan tidak pula teraniaya.”
5 ”Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan
jiwa mereka dan sebagai imbalannya mereka memperoleh syurga…
Siapakah yang lebih menepati janjinya(selain) Allah maka bergembiralah
dengan jual-beli yang kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar
35
terdapat janji keuntungan bisnis yang tidak akap pernah rugi.6 Bahkan
keuntungan sebagai akibat dari suatu karya usaha yang baik, dalam
Al-Qur’an dijanjikan Allah dengan tujuh ratus kali lipat keuntungan.
(QS 2: 261).
Kehidupan ini harus dijalankan dengan kerja keras dan
keimanan. Hal ini bermakna, hubungan iman dan kerja bagaikan
hubungan akar, tumbuhan dan buahnya. “Dan bahwasanya seorang
manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa (hasil) yang
diusahakannya sendiri”7 “Amal-amal yang tidak disertai iman tidak
akan berarti di sisi-Nya”8 Berdasar hubungan ini, maka ekonomi dan
bisnis harus dilakukan setelah melakukan shalat sebagaimana tersurat
dalam QS al-Jumu’ah(62): 9.
Demikian pula, berbisnis harus dilakukan dengan cara saling
menguntung-kan sehingga tidak menimbulkan kerugian sedikitpun
baik pada waktu dilakukan maupun setelahnya. Hal ini secara tegas
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa(4): 29; Wahai orang-orang
yang beriman janganlah kamu saling memakan harta benda di antara
kalian (berbisnis dan berinvestasi) dengan cara yang batil kecuali
dengan cara-cara yang saling menguntungkan. Janganlah kemu
membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah selali menyayangi
kepada Mu.
Dari sudut pandang terminologis tentang bisnis, Al-Qur’an
memiliki istilah-istilah yang mewakili tentang bisnis di antaranya
adalah al-tijarah, al-bai’u, tadayantum, dan isytara. Selain istilahistilah
itu masih terdapat pula istilah lainnya yang dapat dianggap
mempunyai persesuaian maksud dengan bisnis.
Istilah tijarah, berasal dari kata dasar tajara, yang bermakna
berdagang, berniaga. Sebagaimana dikutip Lukman, menurut ar-
Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi gharib Al-Qur’an, at-tijarah
6 “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan(bisnis) yang tidak akan merugi.
7 QS. an-Najm(53): 39
8 QS al-Furqan(25): 23.
36
bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan.
Demikian pula menurut Ibnu Arabi, yang dikutip ar-Raghib; fulanun
tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang
mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya9
Dalam penggunaan tijarah terdapat dua macam pemahaman.
Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat al-Baqarah
(2): 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian
umum. Dihubungkan dengan konteksnya masing-masing, pengertian
perniagaan pada ayat tersebut tidak hanya berhubungan dengan halhal
yang bersifat material atau kuantitas, tetapi kebanyakan dari
pengertian perniagaan lebih tertuju kepada hal yang bersifat
immaterial-kualitatif. Yang memperlihatkan makna perniagaan dalam
konteks material misalnya disebutkan dalam Al-Qur’an surat at-
Taubah(9): 24, an-Nur(24): 37, al-Jumu’ah(62): 11. Adapun
perniagaan dalam konteks material sekaligus immaterial terlihat pada
pemahaman tijarah dalam beberapa ayat Al-Qur’an yaitu dalam surat
Fatir(35): 29, bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang selalu
membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan
sebahagian dari rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka
dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi” Pada surat as-Shaf(61): 10-11
ditegaskan bahwa “Wahai orang-orang yang beriman sukakah kamu
aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu
dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan rasul-
Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah
yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.
Paparan di atas menegaskan, pertama, Al-Qur’an memberikan
tuntunan bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan
semata-mata mencari keuntungan sesaat, melainkan mencari
keuntungan yang hakiki, baik dan berakibat baik pula bagi
kesudahannya. Kedua, keuntungan bisnis menurut Al-Qur’an bukan
sekadar bersifat material, tetapi bersifat material sekaligus immaterial,
bahkan lebih mengutamakan hal yang bersifat immaterial atau
9 Lihat, Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2006
37
kualitas. Ketiga, bisnis bukan semata-mata berhubungan dengan
manusia tetapi juga berhubungan dengan Allah. Dengan demikian,
terkait bisnis, dalam Al-Qur’an secara otomatis sudah terdapat
implementasi etika bisnis.
Demikianlah di antara doktrin ajaran Al-Qur’an tentang
ekonomi dan bisnis. Kekuatan doktrin ajaran Al-Qur’an tentang
ekonomi dan bisnis terlukis jelas dalam suri tauladan kehidupan Nabi
Muhammad, baik sebelum kenabian maupun setelah kenabian. Profesi
utama yang dijalankan Nabi Muhammad adalah menjadi seorang
businessman yang sukses. Atas dasar inilah, maka umat Islam
menghukumi sunnah pada profesi bisnis.
Menurut Afzalurrahman, ketika berusia 25 tahun, Muhammad
diperkenalkan oleh pamannya Abu Thalib kepada Siti Khadijah
sehingga Siti Khadijah memberikan kepercayaan kepada Muhammad
untuk melakukan perjalanan bisnis ke pasar-pasar di Busra. Dalam
kerjasama ini, Khadijah mendapat keuntungan berlipat dibanding
pedagang-pedagang lain yang belum pernah diraih oleh pedagang
sebelumnya.10
Hubungan kerja sama di atas menurut satu pendapat dilakukan
dengan sistem bisnis bagi hasil atau yang dikenal dengan sistem
Mudharabah. Khadijah merupakan pemilik modal atau shahibul mal
sedangkan Muhammad sebagai pemilik keahlian atau mudharib.
Keduanya bersepakat atas suatu kerjasama dan bersepakat atas
pembagian keuntungan dan kerugian ketika usaha kerjasama itu usai.
Dengan konsep inilah, salah satunya Muhammad melakukan kegiatan
bisnis, yang kemudian menjadikannya sebagai pebisnis yang sukses.
Sebelum menikah dengan Khadijah, tercatat dalam sejarah
paling tidak Muhammad melakukan delapan kali perjalanan bisnis
10 Terdapat suatu kisah, bahwa saudagar Qurasisy yang tidak
menyukai Muhamad, berencana menjadikan agar Muhammad rugi. Maka
mereka membanting harga dagangannya dengan harapan dagangan
muhammad tidak laku. Namun Muhammad tetap dengan harga normal,
dengan perhitungan akan tetap adanya demand terhadap barang yang
dibawanya. Alhasil, ketika pulang ke Makkah semua saudagar Quraisy
merugi kecuali Nabi Muhammad.
38
atas nama Khadijah; empat kali ke Yaman, dua kali ke Habasyah dan
dua kali lagi ke Jorasy. Misi kenabian Muhammad, dengan demikian
pada hakikatnya tidak hanya menyangkut satu bidang tertentu seperti
bidang keagamaan dalam pengertian yang sempit. Misi kenabian
secara hakiki meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia; sosial,
ekonomi, politik dan budaya. Suatu keseluruhan misi yang yang
secara bertahap dan berkesinambungan dibangun Muhammad sejak
kecil hingga selesai melaksanakan tugas misinya.
Nabi Muhammad, dengan demikian, telah meletakkan
landasan-landasan moralitas. Suatu hal yang tidak lazim bahkan
bertentangan dengan kebiasaan pada pada saat itu. Kegiatan ekonomi
dan bisnis dilakukan dengan cara-cara yang jujur, terbuka, saling
menguntungkan, jauh dari penipuan. Apabila terdapat kecacatan pada
suatu barang, maka disebutkan apa adanya. Berdasar gambaran itu,
tidak salah bila Nabi Muhammad disebut sebagai ekonom atau
businessman sukses.
Konsepsi Islam tentang Harta
Dalam ilmu ekonomi disebutkan adanya aktivitas ekonomi
karena adanya need dan want pada diri manusia. Hal ini dalam Al-
Qur’an disebut fitrah yang dihiaskan pada manusia yaitu; hubbu asysyahawat
(QS. Ali-Imran(3): 14. Dengan fitrah ini, manusia tidak
dapat lepas dari kebutuhan terhadap harta benda yang harus dikelola
dan dikembangkan sehingga menghasilkan kemanfaatan dan
kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain.
Dalam ilmu ekonomi, posisi harta benda mempunyai posisi
yang sentral. Apabila dalam ekonomi konvensional harta (asset)
dianggap sebagai salah satu modal atau faktor produksi, sebaliknya
Islam memposisikan harta benda sebagai pokok kehidupan. Dalam
surat an-Nisa(4) ayat 5, secara tegas disebutkan posisi harta benda
sebagai tiang atau pilar pokok kehidupan (qiyama). Kita tidak dapat
berdiri tanpa adanya tiang berupa kaki. Demikian pula rumah tanpa
tiang tidak akan terwujud. Karena itu hidup di dunia akan hampa
tanpa adanya harta benda.
39
Pada ayat itu pula Allah menegaskan, keidakbolehan
menyerahkan harta benda yang dimiliki kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya. Menyerahkan di sini dapat bermakna
menitipkan, mengamanahkan untuk dikelola atau menginvestasikan.
Yang dimaksud orang-orang yang belum sempurna akalnya adalah
anak-anak dan mereka yang tidak mempunyai keahlian dalam
mengelola harta benda. Assufaha’ pada asalnya berarti orang yang
tertutup akalnya, belum baligh atau bodoh. Namun dapat pula
diartikan orang yang belum atau tidak mempunyai keahlian dan
keterampilan mengelola dan mengembangkan harta benda. Ayat ini
dengan demikian secara tersirat mendorong untuk mengelola dan
mengembangkan harta benda secara profesional atau diinvestasikan
kepada bisnis-bisnis produktif.
Sebagai pokok kehidupan, harta memiliki fungsi terhadap
berbagai perilaku manusia, baik aktivitas produksi, konsumsi dan
distribusi. Ia juga bukan hanya menjaga keberlangsungan hidup si
pemilik harta tetapi juga bermakna bahwa harta yang dimilikinya
dapat menjadi sebab (terjaminnya) keberlangsungan hidup secara luas,
karena kehidupan tidak hanya terfokus pada individu tetapi juga pada
lingkungannya, seperti tetangga, kerabat, hingga lingkungan makro
(negara dan antar negara).
Secara dasariah, manusia tidak dapat melepaskan diri dari
kebutuhan material harta benda. Dalam diri manusia terdapat fitrah
yang dihiaskan kepada manusia yaitu hubbu asy-syahawat (QS. Ali-
Imran(3): 14) yang merupakan semacam “bahan bakar” pendorong
kerja. Segala aktivitas manusia memerlukan daya atau energi, dan
penggunaan suatu daya pasti melahirkan keletihan. Untuk menggapai
daya itu, diperlukan dorongan. Keinginan atau kecintaan (syahwat)
itulah daya. Hubbu asy-syahawat dengan demikian berarti; segala
sesuatu yang diinginkan oleh manusia sekaligus ingin memiliki atau
menguasainya secara kuat. Ayat 5 surat an-Nisa juga menegaskan;
“Berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta benda itu)”.
Pada penggalan ayat ini digunakan fiha, bukan minha. Apabila minha
berarti sebagian dari padanya dapat berakibat mengurangi pokok harta
(modal), maka penggunaan fiha, mempunyai konsekuensi tidak
40
mengurangi pokok harta benda.11 Dengan demikian yang diberikan
untuk biaya hidup adalah hasil dari pengelolaan atau pengembangan
harta benda itu.
Berdasar uraian di atas, jelaslah, Al-Qur’an memposisikan
harta benda secara netral. Eksistensi harta benda seperti sebilah pisau:
dapat menolong dan dapat pula membunuh. Harta merupakan wasilah
(perantara) yang dapat mengan-tarkan seseorang melakukan
kewajibannya. Harta benda dapat menyebabkan kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat. Ia akan menjadi baik jika digunakan sebagai
jalan menuju kebaikan. Sebaliknya akan berubah menjadi keburukan
dan bencana apabila digunakan dalam wilayah keburukan. Dengan
harta manusia dapat selamat, tetapi dengan harta pula manusia dapat
terkena laknat.
Itulah sebabnya Al-Qur’an menyebut harta benda benda
sebagai ujian dan cobaan. Hal ini misalnya tersurat dalam dua ayat
berikut:
“Dan Ketahuilah, bahwa harta bendamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar” (QS al-Anfal(8): 28.
“Sesungguhnya harta bendamu dan anak-anakmu hanyalah
cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. QS
At-Taghabun (64): 15.
Dengan demikian, Al-Qur’an sama sekali tidak memusuhi
harta benda. Karena itu, sebagai konsekuensi posisi yang netral,
kepemilikan dalam Islam tidak bersifat absolut melainkan relatif.
Dengan fitrah nya, manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan terhadap
harta benda yang harus diupayakan, dikelola dan dikembangkan.
Harta merupakan nikmat Allah sekaligus amanat Allah atas manusia.
Kepemilikian dimaknai sebagai anugerah Allah atas manusia.
Allah SWT memberikan harta benda (rezeki) pada umat
manusia tidak bersifat merata. Ada yang berlebih, tetapi ada yang di
bawah standar kebutuhan mereka. Dari kondisi inilah diperlukan
adanya interaksi dan distribusi harta benda, baik melalui kerja sama,
11 HM Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan
Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta 2004
41
jual-beli dan lain-lain. Dengan pandangan ini, masalah kelangkaan
yang diklaim oleh ekonomi konvensional sebagai masalah utama
ekonomi, tidak relevan dalam ekonomi Islam. Secara tegas, Allah
telah menjamin rezeki atas semua makhluk yang berarti tidak akan
terjadi kelangkaan. Pada saat yang sama, terdapat keharusan sistem
distribusi yang seimbang antara yang kelebihan harta dengan yang
kekurangan. “Dan pada harta-harta benda mereka ada hak untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat
bagian (tidak meminta).12
Itulah pula sebabnya dalam surat an-Nisa(4): 32 kita tidak
boleh iri hati atas kelebihan harta yang dimiliki oleh oang lain. Harta
benda merupakan karunia Allah yang terkait dengan kualitas dan
kuantitas kerja atau usaha. Dan inilah yang ditekankan oleh Al-Qur’an
surat Annajm(53): 39 berikut:
Dan bahwasanya bagi manusia tiada memperoleh selain
apa yang Telah diusahakannya.
Karena itulah Rasulullah tidak memberikan kebebasan mutlak
dalam berinteraksi dengan harta benda. Sebaliknya tidak
memenjarakan manusia dari kefitrahan cintanya terhadap harta
dengan memberikan parameter-parameter sehingga manusia
mempunyai kemampuan mengendalikan kecenderungan negatif akibat
okupansi harta benda yang banyak atau akibat tidak memiliki harta
benda. Rasulullah bersabda: “Wahai Amr, sebaik-baik harta benda
yang shalih adalah milik orang shalih.” (HR Ahmad )
Dengan hadis ini, Rasulullah memberikan asumsi-asumsi yang
wajar dalam berinteraksi dengan harta benda, yaitu untuk keselamatan
manusia, khususnya dalam aktifitas ekonominya. Beliau juga
menunjukkan keutamaan yang memiliki harta benda yaitu memiliki
potensi beramal shalih lebih banyak dari mereka yang tidak
mempunyai harta.
“Orang-orang kaya telah meraih pahala (yang
banyak)…”(HR Bukhari Muslim)
12 Adz Dzariyaat(51): 19
42
“Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan kaya, adalah jauh lebih baik daripada
meninggalkannya dalam keadaan miskin, kemudian menjadi
beban (meminta-minta) kepada orang lain.” (HR Bukhari
Muslim)
Dalam konteks ekonomi, dengan demikian dapat diambil
benang merah sementara bahwa harta benda merupakan media bagi
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu mencapai
kesejahteraan, kedamaian dan kemenangan dunia dan akhirat (falah).
Harta benda menjadi variable sentral dalam aktifitas ekonomi
manusia. Dalam berbagai bentuk dan variasinya harta menjadi sesuatu
yang membutuhkan penyikapan secara bijaksana, sebagaimana
diarahkan ajaran Al-Qur’an. Dengan demikian jelas bahwa interaksi
manusia dengan harta benda hendaknya berada dalam kerangka
keshalihan atau keimanan.
Penutup
Berdasar uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
berbisnis dalam bidang apapun merupakan media yang sah dan halal
untuk menggapai posisi kaya. Dalam standar ukuran majalah Forbes
seperti dikutip Hasyim, seseorang dapat disebut kaya apabila memiliki
penghasilan minimum Rp 1 milyar per tahun.13 Ukuran ini tampaknya
tidak selamanya benar, sebab dalam pandangan Islam mereka yang
kaya adalah mereka yang sudah terkena kewajiban zakat dan mereka
yang konsisten dalam pengeluaran zakat dan infak. Posisi harta benda
dalam bisnis Islam bukanlah merupakan tujuan utamanya, yang utama
adalah keuntungan hakiki. Demikian pula bisnis diposisikan sebagai
bagian dari ibadah dalam Islam. Ia merupakan salah satu jembatan
untuk meraih keuntungan hakiki. Karena itulah orang yang kaya
menurut hadis Nabi bukan terletak pada banyaknya harta benda,
melainkan pada hati yang kaya. Artinya, seseorang yang kaya sejati
tidak akan pernah dikuasai harta benda. Dengan demikian, berbisnis
13 Hasyim Abdullah, Muda Kaya Raya, Mati Masuk Syurga,
Yogyakarta: SBS Publishing, 2007 hlm. 9
43
yang etis merupakan salah satu jalan terbaik dan jalan selamat untuk
mencapai kekayaan yang hakiki. Wallahu a’lam
Daftar Pustaka
A Sonni Keraf, “ Bisakah Bisnis Berjalan Tanpa Moralitas”, Basis,
No 05-06, Tahun ke 46 Mei-Juni1997.
Afzalurrahman, Muhamad sebagai Pedagang Jakarta: Buana, 1996.
Anas Ismail Abu Daud, Dalilussailin, Ensiklopedi Dakwah, al-
Qayyim, Malang, 2004 .
Depag RI: Al-Qur’an dan Terjemahannya
Dawan Rahardjo, “Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam
PJP II”, Prisma, 2 Februari 1995.
George, Ricard T De. Business Ethics. New Jersey: Prentice Hall,
Englewood Cliffs , 1986.
Hasyim Abdullah, Muda Kaya Raya, Mati Masuk Syurga,
Yogyakarta: SBS Publishing, 2007
HM Quraish Shihab, “Etika Bisnis Al-Qur’an” Jurnal Ulumul
Qur’an, Tahun 2004.
-----------, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Lentera Hati, Jakarta 2004.
Hasan Al Banna, Hadits Tsulatsa: Ceramah-Ceramah Hasan Al
Banna, Era Intermedia, Jakarta, 2000.
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2006.
Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi,(terjemahan) Jilid, 28, 29. 30,
Semarang: PT Toha Putera, 1993.
44
LAMPIRAN
PEDOMAN PENULISAN MAKALAH
1. Topik yang akan dipublikasikan oleh jurnal MANAJERIAL
berhubungan dengan kepemimpinan, perilaku, serta manajemen
organisasi
2. Naskah yang diterima penyunting ditulis dalam bahasa Indonesia
baku atau bahasa Inggris dan belum pernah dipublikasikan.
3. Naskah diketik dengan komputer menggunakan Microsoft Word,
di atas kertas ukuran 16x21 cm, spasi 1, jenis huruf Time New
Roman dengan ukuran 11 point.
4. Jumlah halaman berkisal antara 7 sampai 15 halaman, dan jumlah
gambar tidak boleh melebihi 30% dari seluruh tulisan
5. Judul makalah harus mencerminkan dengan tepat masalah yang
dibahas di makalah, dengan menggunakan kata-kata yang tepat,
jelas dan mengandung unsur-unsur yang akan dibahas. Ukuran
huruf untuk judul adalah Time New Roman ukuran 12 point bold
(huruf kapital).
Nama penulis ditulis di bawah judul sebelum abstral tanpa disertai
gelar akademik atau gelar lain apapun, asal lembaga tempat
penulis bernaung dan alamat email untuk korespondensi dengan
ukuran 11 point bold. Jika lebih dari 2 penulis, hanya penulis
utama yang dicantumkan di bawah judul; nama penulis lain dalam
catatan kaki.
45
6. Sistematika penulisan naskah, untuk:
a. Naskah Penelitian, terdiri dari:
i. Abstrak dan kata kunci
Abstrak memuat secara ringkas gambaran umum dari
masalah yang dibahas dalam penelitian, terutama analisis
kritis dan pendirian penulis atas masalah tersebut. Panjang
abstrak 50 - 75 kata yang disusun dalam satu paragraf
dalam ukuran huruf 10 point Time New Roman. Abstrak
disertai dengan 3 – 5 kata kunci, yakni istilah yang
mewakili ide-ide atau konsep-konsep dasal yang dibahas
dalam makalah.
ii. Pendahuluan
Pendahuluan tidak diberi judul. Bagian ini berisi
permasalahan penelitian, rencana pemecahan masalah,
tujuan dan ruang lingkup penelitian, serta rangkuman
landasan teori yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti
iii. Metode Penelitian
Berisi tentang bahan, peralatan metode yang digunakan
dalam penelitian
iv. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil berupa data penelitian yang telah diolah dan
dituangkan dalam bentuk tabel, grafik, foto, atau gambar.
Pembahasan berisi hasil analisis dan hasil penelitian yang
dikaitkan dengan struktur pengetahuan yang telah mapan
(tinjauan pustaka yang diacu oleh penulis), dan
memunculkan ‘teori-teori’ baru atau modifikasi terhadap
teori-teori yang telah ada.
v. Kesimpulan dan Saran
Berisi ringkasan dan penegasan penulis mengenai hasil
penelitian dan pembahasan. Saran dapat berisi tindakan
praktis, pengembangan teori baru dan penelitian lanjutan
vi. Daftar Pustaka
46
b. Naskah Konseptual atau nonpenelitian, terdiri dari:
i. Abstrak dan kata kunci
Abstrak adalah ringkasan dari isi makalah yang
dituangkan secara padat; bukan komentar atau pengantar
penulis. Panjang abstrak 50 - 75 kata yang disusun dalam
satu paragraf dalam ukuran huruf 10 point Time New
Roman. Abstrak disertai dengan 3 – 5 kata kunci, yakni
istilah yang mewakili ide-ide atau konsep-konsep dasal
yang dibahas dalam makalah.
ii. Pendahuluan
Memberikan acuan (konteks) bagi permasalah yang akan
dibahas, hal-hal pokok yang akan dibahas serta tujuan
pembahasan
iii. Pembahasan
Berisi tentang kupasan, analisis, argumentasi dan
pendirian penulisan mengenai masalah yang dibicarakan
iv. Penutup atau Kesimpulan
Berisi kesimpulan penulis atas bahasan masalah yang
dibahas pada bagian sebelumnya.
v. Daftar Pustaka
Diutamakan apabila sumber pustaka atau rujukan berasal
lebih dari satu sumber seperti buku, jurnal, makalah,
internet dan lain-lain.
7. Tabel/gambar harus diberi identitas yang berupa nomor urut dan
judul tabel/gambar yang sesuai dengan isi tabel/gambar, serta
dilengkapi dengan sumber kutipan.
8. Daftar pustaka disusun menurut alphabet penulis. Urutan dimulai
dengan penulisan nama penulis, tahun, judul, penerbit, dan kota
terbit. Penulisan nama penulis adalah nama keluarga diikuti nama
kecil. Untuk kutipan dari internet berisi nama penulis, judul
artikel, alamat website, dan tanggal akses

PENGEMBANGAN EKONOMI ISLAM DAN KONDISI HUKUM EKONOMI KONVENSIONAL

Bismar Nasution∗∗
Sumber :
=======================================
Robert Cooter and Thomas Ulen, Law & Economics.
HUKUM DAN EKONOMI
Pendahuluan (hal 1-2)
Hukum menggunakan ilmu ekonomi pada bidang hukum anti persaingan (antitrust), pengaturan
industri-industri, perpajakan, dan menentukan masalah moneter. Hukum dibutuhkan ekonomi dalam hal
menjawab pertanyaan seperti “siapa yang menjadi tergugat dalam bursa saham ?”. “dapatkah kontrol harga
dalam asuransi mobil mengurangi nilai riilnya ?”, “siapa sebenarnya yang dibebankan pajak ?”, dan “berapa
besar pendapatan masa depan anak-anak yang hilang karena orangtua mereka meninggal ?”.
Perkembangan pesat terjadi sekitar tahun 1960-an, ketika analisis ekonomi terhadap hukum (the
economic analysis of law) masuk ke dalam bidang hukum, seperti properti, kontrak, kesalahan/kerugian,
hukum pidana dan hukum acaranya, dan hukum tata negara. Hal ini dikemukakan oleh Ronald H. Coase
dalam tulisannya yang berjudul The Problem of Social Cost (1960) dan Guido Calabresi dalam tulisannya yang
berjudul Some Thoughts on Risk Distributionand the Law of Torts (1961).
Apa yang dimaksud dengan analisis ekonomi dari hukum ? (hal 3-4)
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa ekonomi menghasilkan sebuah teori tingkah laku/perilaku
untuk memprediksi bagaimana respon manusia terhadap perubahan-perubahan dalam hukum. Teori ini
melampaui intuisi, hanya sebagai ilmu sains yang melampaui akal biasa (common sense).
Dalam tambahan kepada sebuah teori sains tentang perilaku, ekonomi menghasilkan sebuah standar
normatif yang sangat berguna untuk mengevaluasi hukum dan kebijakan. Hukum bukan sekedar (arcane)
argumen-argumen teknis saja, hukum adalah instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan kepentingan sosial
yang penting. Untuk mengetahui efek-efek dari hukum dalam tujuan itu, hakim dan pembuat hukum lainnya
harus mempunyai sebuah metode untuk mengevaluasi efek-efek hukum dalam nilai-nilai sosial yang penting.
Ilmu Ekonomi memprediksi efek kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi selalu berhubungan dengan
pembuatan kebijakan, karena akan selalu lebih baik mencapai semua kebijakan-kebijakan yang ada dengan
∗ Disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “Signifikansi Hukum Islam Dalam Merespon Isu-isu Global”, yang
diselenggarakan oleh Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, pada hari Sabtu, 19 Juni 2004 di
Medan.
∗∗ Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari
Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU
Medan, tahun 1987– sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999–sekarang, Dosen Magister Manajemen
Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen
Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001–sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ.
Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001–sekarang, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, tahun 1997–2000).
Penguji Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang.
2
biaya yang rendah daripada dengan biaya yang tinggi. Pejabat umum tidak pernah menyokong uang yang siasia/
pemborosan.
Selain efisiensi, Ilmu ekonomi yang juga memprediksi efek dari kebijakan-kebijakan dalam nilai penting
lainnya adalah distribusi. Diantara penerapan ilmu ekonomi itu terhadap kebijakan publik adalah
penggunaannya untuk memprediksi siapa sebenarnya yang dibebankan berbagai macam pajak. Lebih daripada
penelitian ilmu-ilmu sosial, ahli ekonomi memahami bagaimana hukum memberi dampak terhadap distribusi
pendapatan dan kesejahteraan disegala lapisan sosial. Sementara ahli ekonomi seringkali merekomendasikan
perubahan untuk peningkatan efisiensi, mereka mencoba menghindari sengketa tentang distribusi, biasanya
memberikan rekomendasi tentang distribusi kepada pengambil kebijakan (policy makers) atau pemilih
(voters).
Mengapa ahli hukum sebaiknya mempelajari ekonomi ?, Mengapa pula ahli ekonomi sebaiknya
mempelajari hukum ? (hal 7)
Analisa Ekonomi terhadap hukum (the economic analysis of law) adalah suatu bidang ilmu interdispliner
yang meliputi dua bidang ilmu yang luas dan juga pemahaman yang lebih dari keduanya. Ekonomi membantu
kita untuk melihat hukum dari cara yang baru, salah satunya adalah sangat berguna bagi ahli hukum dan bagi
siapa saja yang tertarik dalam persoalan kebijakan publik.
Ketika kita memusatkan perhatian bahwa apakah ekonomi dapat membawa sesuatu kepada hukum, kita
juga sebaiknya menemukan bahwa hukum membawa sesuatu kepada ekonomi. Analisis ekonomi seringkali
mengambil peran untuk dijaminkan pada lembaga hukum (legal institutions) seperti properti dan kontrak,
dimana memberi dampak ekonomi.
Disamping itu, ahli ekonomi dapat mempelajari teknik-teknik dari ahli hukum. Ahli hukum meluangkan
banyak waktu mereka untuk mencoba menyelesaikan masalah-masalah hukum, dan teknik analisa hukum
dibentuk oleh kepatuhan untuk beracara. Hasil dari suatu perkara sering diberikan tanda-tanda yang
digunakan untuk menggambarkan fakta-fakta, maka mahasiswa hukum mempelajari sensitivitas untuk
membedakan hal-hal yang bersifat lisan.
Bidang-bidang yang termasuk dalam ruang lingkup hukum ekonomi
1. Teori Ekonomi tentang Hukum Kekayaan (an economic theory of property)
2. Teori Ekonomi tentang Hukum Kontrak (an economic theory of contract)
3. Teori Ekonomi tentang Hukum Kerugian (an economic theory of tort law)
4. Teori Ekonomi tentang Proses Hukum (an economic theory of the legal process)
5. Teori Ekonomi tentang Kejahatan dan Hukuman (an economic theory of crime and punishment)
===========================================
Source : An Introduction to The Malaysian Legal System
HUKUM ISLAM
Defenisi Syariah dan Hukum Islam (hal 133)
Syariah (bahasa arab yang secara literatur diartikan jalan menuju surga) adalah hukum Islam yang
disucikan sebagai ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dalam Al-quran dan Sunnah. Keseluruhan
merupakan perintah yang berasal dari Allah, yang mengatur kehidupan muslim dalam segala aspek meliputi
kewajiban langsung kepada Allah, dan hubungannya dengan sesama dan lingkungannya.
Syariah, meliputi seluruh bagian kewajiban agama dan etika, moral, dan aturan hukum, lebih dari suatu
sistem hukum (legal system), hukumnya bersifat mutlak (strictly). Syariah adalah “sebuah jalan”. Dalam Islam,
3
Allah sendiri yang punya kekuasaan/kedaulatan dan mempunyai hak untuk menakdirkan pedoman hidup
manusia.
Hukum Islam yang dimaksud memiliki arti aturan hukum yang merupakan bagian dari syariah dan
berperan sebagai peraturan yang sesuai dengan prosedur yang digambarkan dalam konstitusi negara dan
federal.
Hukum Islam yang diterapkan di Malaysia adalah Mazhab Syafii, sebagaimana yang dimodifikasi oleh
Hukum Adat Melayu. Sumber hukum Islam yang diterapkan di Malaysia ini terbagi dalam dua kategori besar
yaitu :
1. Sumber Pokok (primary sources)
a. Al-Qur’an : Firman Allah, dan
b. Sunnah : aturan yang berasal dari tradisi/kebiasaan nabi, contoh perkataannya atau aturan Nabi
Muhammad
2. Sumber Sekunder (secondary sources)
c. Ijma : kesepakatan ahli hukum dalam suatu masa dalam menetapkan aturan hukum, dan
d. Qiyas : berasal dari alasan-alasan ijtihad atau analogi.
Latar Belakang Sejarah Hukum Islam di Malaysia (hal 134-135)
Islam masuk ke Malaka pada 1414 ketika Parameswara, Pangeran Palembang yang menemukan Malaka,
menikah dengan seorang putri Islam dari Pasai, memeluk agama Islam dan diberi nama Iskandar Shah.
Malaka dibangun sebagai pelabuhan internasional dan kekuasaannya melewati semenanjung Melayu dan
termasuk kepulauan pada abad kelimabelas, Islamisasi penduduk membuat Malaka menjadi pusat Islam
sampai jatuh ketangan Portugis pada 1511.
Kedatangan Islam merupakan salah satu momentum pada sejarah kepulauan melayu. Pengaruhnya sangat
besar dan meresap kedalam masyarakat, budaya, politik dan hukum. Dalam masalah politik hukum, Islam
menggantikan sistem devaraja Hindu atau bersifat ketuhanan melalui sistem kesultanan. Sultan dipilih
sebagai khalifah atau wakil Allah yang harus memerintah sesuai dengan Hukum Allah, atau syariah. Dua hal
yang bekerjasama : Islam mendukung dan posisi sultan yang kuat yang didalamnya berdasarkan Islam sebagai
bentuk penegakan ajaran agama.
Sebelum kedatangan Islam, Melayu mengikuti hukum kebiasaan atau adat yang dipengaruhi oleh budaya
Hindu. Kedatangan Islam merupakan awal untuk memperkenalkan syariah dan untuk memodifikasi hukum
adat Melayu agar didasarkan ajaran Islam (sebuah proses yang berlanjut sampai sekarang). Proses Islamisasi
dapat dilihat dalam sejarah Melayu. Sebagai contoh, versi pertama kali adalah Risalat Hukum Kanun atau
Undang-Undang Malaka (laws of Melaka) yang berisikan hukum kebiasaan/adat, dimana versi sekarang
menunjukkan perpaduan antara hukum kebiasaan/adat dengan prinsip-prinsip Syariah, sebagaimana yang
dituliskan dalam Abu Shuja’s At-Taqrib, Ibn Al-Qasim Al-Ghazzi’s Fath Al-Qarib, dan Ibrahim Al Bajuri’s
Hashiya Ala’l Fath Al-Qarib.
Setelah Malaka jatuh, versi Undang-Undang Malaka diadopsi di negara Melayu yang merupakan wilayah
terakhir Kerajaan Malaka. Disini juga menunjukkan pengaruh syariah. Sebagai contoh, dalam sejarah Pahang
dipimpin oleh Sultan Abdul al-Ghafur Muhaiyuddin Shah (1592-1614) menunjukkan pengaruh kuat syariah
ini.hal ini memperkenalkan Pahang adalah Daral Islam (negara Islam), contoh sebuah negara Islam, dan
empat puluh dua dari enam puluh delapan artikel didasarkan pada syariah. Sejauh apa dan untuk apa hukum
yang luas sebagai gambaran dalam sejarah Melayu yang diimplementasikan tidak secara pasti. Karena itu,
gabungan hukum adat Melayu dengan unsur Hindu-Budha ditutup dengan prinsip-prinsip hukum syariah
yang dimodifikasi selama periode pemerintahan Inggris yang disatukan dengan kerangka hukum Inggris. Hal
inilah pelopor dapat diterapkannya hukum Islam di Malaysia hari ini.
Islamisasi hukum adat Melayu dilanjutkan setelah kedatangan Inggris. Sebagai contoh, di Johor,
disamping sejarah Johor 1789, yang dibentuk dalam Undang-Undang Malaka, diubah dan dibuat secara
kodifikasi syariah yang dibuat oleh Turki dan Mesir. The Majallat Al-Ahkam of Turkey diubah menjadi the
Majallah Ahkam Johore dan Hanafi Code of Qadri Pasha of Egypt diubah menjadi the Ahkam Shariyyah
Johore. Pada 1890, Sultan Abu Bakar merancang konstitusi untuk Johor yang menunjukkan beberapa
pengaruh syariah. Demikian pula, di Trengganu, konstitusi dibuat pada 1911 juga menujukkan pengaruh
syariah. Contoh-contoh ini dan kasus hukum menunjukkan bahwa sebelum datangnya Inggris hukum dasar
dari pribumi adalah hukum muslim melayu (Malay-Muslim Law). R.J Wilkinson mengatakan : “Disana tidak
4
terdapat keraguan bahwa hukum Muslim akan diakhiri menjadi hukum melayu bukan hukum Inggris yang
masuk untuk mengujinya”.
Pemerintahan Inggris memisahkan agama dari negara. Negara bertugas hanya pada permasalahan
keduniaan. Islam adalah aliran kiri untuk penegakan ajaran agama. Inggris tidak menyentuh dan mengatur
pokok-pokok ajaran agama tetapi, memperkenalkan hukum Inggris dan membuat hukum yang diterapkan
secara umum dalam hukum muslim melayu, terakhir mereka mengurangi hukum pribadi muslim. Prinsipprinsip
syariah menitikberatkan perhatian pada kewajiban individu yang digabungkan kedalam hukum Inggris,
baik bentuk dan prosedurnya. Hal ini membatasi dan berturut-turut secara perlahan membangun hukum
syariah secara penuh, dan dilaporkan dalam perluasan modifikasi dan penyimpangan-penyimpangan prinsip
syariah, yang pada pokoknya menghilangkan prinsip-prinsip dimana common law dipersiapkan untuk
diterima. Sejarah dan tingkat persoalaan ini dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, berdasarkan
status wilayah, setiap wilayah masing-masing mengikutinya.
Islam dan Hukum Islam Pada Konstitusi Federal (hal 143-149)
Kesepakatan status dibawah hukum Islam oleh Inggris dilanjutkan setelah kemerdekaan negara federasi
melayu. Hukum Islam tidak meliputi defenisi hukum dalam artikel 160 dari konstitusi federal, yang
mendefenisikan hanya hukum tertulis, coomon law, dan beberapa kebiasaan atau adat yang memiliki kekuatan
hukum. Lebih jauh lagi, artikel 4 mengatur bahwa supreme law federasi menjadi konsitusi federal.
Artikel 121, sebelum amandemen 1988 yang ditambah, ayat (1ª) yang menegaskan kekuasaan yudisial
federasi pada dua pengadilan tinggi yang berwenang tentang status dan yurisdiksi, dan pengadilan yang lebih
rendah dibuat untuk penegakan undang-undang federal. Pengadilan syariah tidak termasuk.
Artikel 3 menjelaskan bahwa “Islam adalah agama federasi”. Ketentuan yang telah ditambah pada
rancangan asli dari Reid Constitutional Commission, berdasarkan rekomendasi dari aliansi partai.
Rekomendasi itu, tidak seperti biasa karena dengan suara bulat, yang didukung oleh anggota-anggota komisi
keturunan pakistan, Mr. Justice Abdul Hamid. Dia melihat bahwa suatu ketentuan adalah “tidak
berbahaya/merusak” karena tidak kurang dari lima puluh negara menerapkan ketentuan yang telah berurat
akar dalam konstitusi mereka dan karena itu dimuat dalam semua konstitusi negara melayu. Kenyataannya,
ketentuan yang pertama artikel 3 sekarang dapat diketahui pada artikel 57 dari konstitusi pertama yang
dirancang untuk Johor pada masa pemerintahan Sultan Abu Bakar. Rekomendasi aliansi partai diterima dan
artikel 3 dilihat dengan kualifikasi penting bahwa “agama lain dapat diterapkan secara damai dan selaras pada
beberapa bagian negara federasi”. Lebih jauh jaminan terhadap non muslim bahwa hak privat mereka tidak
terpengaruh, ayat (4) menentukan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam artikel yang membawahi dari ketetapan
lain dari konstitusi federal. Salah satu ketetapan adalah artikel 11, yang menjamin hak setiap orang untuk
menyatakan dan menerapkan agamanya dan, hal penting dalam ayat (4) untuk menyebarkannya.
Artikel 3 hanya menyatakan bahwa Islam adalah agama federasi. Hal itu tidak menerangkan, seperti pada
konstitusi Pakistan, bahwa federasi adalah sebuah negara Islam. Hal ini direkomendasi oleh aliansi partai
dalam memorandumnya, yang mengatakan :
“.....agama Malaysia seharusnya Islam. Pengamatan prinsip-prinsip ini tidak boleh membebankan
ketidakmampuan terhadap penduduk non muslim yang menyatakan dan menerapkan agama mereka dan tidak
boleh menyimpulkan bahwa negara bukan negara sekuler”.
Administrasi Hukum Islam
Hukum Islam merupakan suatu persoalan kenegaraan (kecuali dalam Wilayah Federal Kuala Lumpur,
Labuan, dan Putrajaya dimana hal tersebut merupakan persoalan federal) saat ini, di setiap negara, adanya
sistem legislatif yang terpisah dalam berbagai aspek hukum Islam tersebut. Hal yang paling penting adalah
adanya administrasi yang bersifat umum terhadap Hukum Islam. Hal ini diberi nama secara variatif di setiap
negara, tetapi isinya secara subtansi adalah sama. Tidak seperti undang-undang sebelumnya (yang
bermodelkan Undang-Undang Administrasi Hukum Muslim di Selangor tahun 1952) yang menghimpun
kekuasaan dalam suatu majlis (atau konsul yang dikenal dengan berbagai nama yang bervariasi), Undangundang
saat ini, yang telah melalui permulaan hingga akhir tahun 1970-an berdasarkan rekomendasi komite
yang disusun untuk meningkatkan status Pengadilan-pengadilan Syariah, yang membagi kepada 3 (tiga)
kewenangan yang independen :
• Majelis Agama Islam (atau segala variasinya) : bertanggung jawab untuk segala permasalahan yang
berkaitan dengan agama Islam kecuali hukum Islam dan Administasi hukum.
5
• Mufti (urusan keagamaan yang tingkatnya paling tinggi) : bertanggung jawab atas ketentuan HukumIslam
• Pengadilan Syariah : bertanggung jawab atas Administasi Hukum
Dua kewenangan yang pertama akan dibicarakan dibawah ini. Pengadilan Syariah akan diuraikan pada
Bab 10.
Majelis Agama Islam
Majelis Agama Islam adalah sebuah lembaga yang memiliki fungsi utama untuk memberi nasehat kepada
pembuat peraturan (atau Yang di-Pertuan Agung di negara dan wilayahnya tanpa seorang pembuat peraturan)
dalam semua permasalahan yang berkaitan dengan Islam. Pelaksanaannya sehari-hari dilaksanakan oleh
Departemen Urusan Agama Islam.
Majelis berwenang untuk memperoleh, memegang, dan menyusun kekayaan yang bergerak dan tidak
bergerak, dan untuk mengatur seluruh masalah keuangan yaitu bait-ul-mal, dan untuk mengumpulkan zakat
dan fitrah. Badan ini mewakili seluruh mesjid-mesjid, wakaf (hadiah untuk ibadah), dan seluruh kepercayaan,
peningkatan agama Islam atau untuk meningkatkan keuntungan kaum muslimin, dalam negara. Juga
mempunyai kekuasaan untuk bertindak sebagai eksekutor dari suatu kehendak dan pengatur daerah makam
muslimin.
Tambahan, majelis dipercayakan untuk menunaikan kewajiban untuk meningkatkan ekonomi dan sosial
masyarakat muslim ke arah yang lebih baik. Bebas untuk melakukan kontrak pada kegiatan industri dan
perdagangan, kewenangan investasi, mendirikan dan memelihara sekolah-sekolah Islam, dan menjamin
hutang untuk setiap individu muslim untuk belajar ke tempat yang lebih tinggi. Sebagai contoh, majelis boleh
mendirikan perusahaan dibawah Companies Act 1965 (Act 125).
===========================================
Buku : Islamic Law and Finance Religion, Risk and Return
Author: Frank E. Vogel and Samuel L. Hayes, III
Publisher : Kluwer Law International, 1998.
Hal 1-2 :
Struktur dari Sistem Keuangan Islam (Islamic finance) benar-benar berakar/bersumber dari Al- Qur’an
dan ajaran Muhammad, dan interprestasi terhadap relevansi sumber ini dilakukan oleh pengikutnya. Dalam
berbagai bentuk, telah ada peradaban Islam yang constant selama empat belas abad. Pada tiga dekade terakhir,
dia telah muncul sebagai salah satu implementasi modern dari system hukum Islam yang signifikan dan
penting, dan sebuah contoh kasus untuk inovasi dan pengembangan hukum Islam. Meskipun demikian Sistem
Keuangan Islam menjadi subjek dari beberapa bentuk kesalahpahaman baik oleh orang muslim maupun non
muslim. Contohnya, telah diketahui secara umum bahwa Sietem Keuangan Islam melarang menarik bunga
pada pinjaman. Tetapi banyak yang tidak tahu bahwa hukum Islam tidak menolak pemikiran dari nilai waktu
dari uang. Penyedia modal diperbolehkan pengembalian yang seimbang, contohnya:
• Jika uang diberikan kepada pihak lain untuk digunakan dalam periode waktu tertentu, besar jumlah
kompensasi untuk pembiayaan tidak ditetapkan sebelumnya oleh pihak lain dalam kontrak, tetapi hal
itu menjadi pembagian keuntungan bersih dari usaha. Uang tidak diperlakukan sebagai komiditi
seperti di Negara barat, tetapi diperlakukan sebagai penanggung dari resiko, dan oleh karena itu
subjek dari ketidakpastian, sama seperti yang diemban oleh patner lain dalam sebuah perusahaan.
• Jika seorang investor membiayai akuisisi dari barang nyata dengan membeli atau menyewakan,
mereka dapat mempunyai legitimasi untuk memperoleh ganti rugi untuk dirinya sebagai kompensasi
dari kesempatan yang hilang. Keuntungan didapat dari pembayaran sewa atau penjualan kredit
direfleksikan, bahkan secara eksplisit, sebagai faktor waktu.
Dengan cara seperti ini, dimana pembiayaan diganti rugi secara legitimasi, istilah “bank yang untung
(profit banking)” adalah cara yang berguna untuk menggambarkan sistem “ekstensi kredit” dalam dunia Islam.
6
Peraturan Islam mengijinkan perusahan-perusahan/ bisnis untuk memanfaatkan kredit, dan tidak
menentukan bahwa semua perusahaan/bisnis dibiayai seluruhnya oleh modal equity (equity capital).
Perusahaan/bisnis Islam dapat menggunakan pengaruh keuangan (finance leverage) dalam struktur
permodalannya. Dengan cara mengekspos para pemiliknya baik untuk perbaikan peningkatan potensi dari
pengembalian modal jika segala sesuatunya berjalan dengan baik dan untuk menreduksi nilai jika hasilnya
mengecewakan.
Banyak terdapat kesamaan antara system keuangan konvensional dan Islam, karena keduanya berurusan
dengan kumpulan umum realita perlengkapan operasi bisnis. Dalam kebanyakan kasus, system
keuangan/pembiayaan Islam menempuh jalan yang berbeda untuk tujuan yang sama, tetapi disana ada
perbedaan penting, pertimbakanlah contoh berikut ini:
Hal 3:
• Kebanyakan perusahaan/bisnis membutuhkan pembiayaan/pinjaman jangka panjang dalam
pembiayaan konvensional, hal ini dapat diselesaikan melalui beberapa gabungan pinjaman jangka
panjang dan modal pemilik. Dalam salah satu solusi Islam, rekan pasif membuat kontrak untuk
sebuah bagian tertentu dari untung, dimana bagian lainnya diberikan kepada pengusaha yang
mengurus bisnis/perusahaan tersebut. Solusi ini sesuai (meets) dengan konsep rekanan yang
diwajibkan oleh doktrin dan mirip dengan kontrak pemegang saham perferen (preferred shareholder
contract). Jika sebuah perusahaan/bisnis tidak ingin mengurangi kepemilikannya dengan membawa
masuk rekanan lain, timbul pilihan lain, seperti leasing. Lease (sewa) tidak melibatkan bunga formal
(formal interest) atau sebuah rekanan pembantu biaya (partnership stakes), tetapi memenuhi
kebutuhan perusahaan akan pembiayaan jangka panjang dari kebutuhan bangunan dan peralatan
untuk mendapat sebuah pembayaran yang wajar.
• Inventaris pembiayaan/pembelanjaan adalah syarat umum baik dalam ekonomi islam maupun
konvensional. Bisnis/Perusahaan Islam dalam kebutuhannya akan kebutuhan inventasi pembiayaan
jangka pendek dapat membeli inventaris dalam kredit, kredit tersebut disediakan baik oleh penyedia
inventaris (inventory supplier) atau sebuah bank. Bank dapat membeli inventaris untuk
bisnis/perusahaan berdasarkan pada “Janji perusahaan/bisnis (business promise)” untuk membeli
inventaris nanti untuk biaya ditambah biaya tambahan yang wajar.
• Banyak perusahaan/bisnis menyadari pentingnya untuk menyalurkan kredit konsumernya melalui
jumlah uang yang dapat diterima (accounts receivable) . Sebuah perusahaan /bisnis Islam dapat
melakukan hal ini tetapi tidak diijinkan untuk menjanjikan atau menjual jumlah uang (receiveables)
tersebut seperti layaknya pembiayaan konvensional karena hal tersebut bukan aset nyata. Dibawah
Hukum Islam, aset finansial tidak dapat dijual atau dipakai sebagai jaminan. Jadi perusahaan/bisnis
harus membiayai ekstensi kreditnya dari dana yang dihasilkan dari dalam/ dana yang berasal dari
dalam (internally generated funds) atau mengatur agar pihak ketiga untuk membeli barang untuk
kepentingan konsumernya dan menjualnya kembali ke consumer dengan harga yang dinaikkan.-
sama seperti perusahaan/bisnis Islam membiayai pembelajaannya sendiri dari para supplier.
Hal 4-5:
Keaslian dari Pembiayaan Islam
Pembiayaan Islam bukan merupakan penemuan dari pergerakan politik para ekstrimis Islam abad ini
tetapi berakar dari perintah yang ditemukan dalam Al-Qur’an dan ucapan dari Nabi Muhammad. Hal ini
mengilhami ajaran/pendapat sentral dalam hukum agama Islam yang menyangkut perjanjian komersial
seperti sebagian besar bagian agama seperti hukum perkawinan. Hukum Islam berasal dari teks yang
terungkap dari jaringan dari sebuah norma yang saling berhubungan yang melarang kegiatan pengambilan
keuntungan (interest taking) dan kegiatan spekulatif yang tidak pantas. Pada abad pertengahan, hal ini
dianggap sebagai perbuatan yang penuh dosa dan illegal dan sangat dihindari. Bentuk praktek pembiayaan
Islam yang telah dijalankan selama berabad-abad mengalami kemunduran secara besar-besaran selama
periode kolonial kerajaan –kerajaan eropa, ketika hamper seluruh dunia Islam berada dalam pengaturan
kekuatan barat. Dalam pengaruh Eropa, kebanyakan Negara mengadopsi system perbankan barat dan
melupakan praktek komersial Islam. Jadi, periode modern dari pembiayaan Islam menemukan permulaannya
pada kemerdekaan Negara-Negara Muslim setelah Perang Dunia II.
Institusi Pembiayaan Islam pertama yang pernah dicatat, “The Mit Ghamr Project” didirikan di Mesir
pada tahun 1963, yang diikuti selanjutnya dengan “Nasser Social Bank” pada tahun 1971. Tonggak bersejarah
berikutnya, dibawah Organization of The Islamiv Conference, adalah pembentukan “The Multinational Islamic
7
Development Bank” pada tahun 1973. Selama tahun 70-an banyak institusi pembiayaan Islam didirikan si
sejumlah Negara, sebagian adalah milik publik, sebagian milik pemerintah dan swasta dan sebagian milik
swasta.
Gelombang identitas Islam sekarang ini telah menghasilkan dorongan positif lainnya untuk mengadopsi
prinsip-prinsip Islam dalam bisnis dan pembiayaan. Menolak budaya dan politik barat dan terinspirasi dari
kealiman agama, banyak pria-pria muslim yang alim mencari persesuaian antara hidup mereka di dunia yang
modern dan ajaran keyakinannya. Bank Islam telah membuat kesemibangan itu terwujud di dalam dunia
bisnis.
Akhir dari kolonialisme dan kebangkitan dari kealiman telah memancari kebangkitan kembali dari
pembiayaan Islam, tetapi kekayaan besar timbul dari booming minyak menanmbah perkembangannya.
Kenaikan dramatis dalam pendapat minyak di tahun 1970-an telah membawa tingkat kekayaan dan kelebihan
simpanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada populasi dari beberapa Negara timur tengah yang kaya
akan minyak. Sebelumnya hal tersebut, hanya sedikit keluarga yang berpengaruh dan elit saudagar yang
mempunyai jumlah uang yang signifikan, kebanyakan berhubungan investasi barat yang konvensional dan
tidak cocok dengan prinsip agama tradisional, karena kegiatan itu terbatas pada beberapa individu saja dan
secara umum tidak diperhatikan oleh populasi yang lebih besar, hanya sedikit yang tahu tentang mereka
bahkan oleh para pemimpin agama.
Booming minyak telah merubah situasi secara dramatis, secara tiba-tiba lebih banyak uang di tangan
orang banyak dan pertanyaan tentang bagaimana para pengikut ini harus menginventasikan uangnya menjadi
lebih menekan.
Hal 5-6
Pertumbuhan Kegiatan Pembiayaan Islam
Ukuran dan jumlah sebenarnya dari pertumbuhan kelompok pembiayaan Islam di dunia sangat sulit
untuk diukur. Ukurannya diukur bekisar dari $50 Milyar sampai lebih dari $100 Miyar, tidak termasuk aset
keuangan dari tiga Negara penganut Ekonomi Islam, Pakistan, Iran dan Sudan. Salah satu pendekataan untuk
mengukur besar dari kelompok penyimpanan Islam (Islamic Saving Pool) adalah kumpulan necara dari bankbank
Islam yang terkemuka. Terlepas dari sejumlah komplikasi yang membuat rute ini menjadi tidak
menjanjikan, sebuah perbandingan dari necara tempat berpijak Bank Islam yang terkemuka dimana beberapa
angka dapat dilihat menunjukan pertumbuhan lebih dari 15 % per tahun selama lima tahun terakhir ini. Lebih
jauh lagi, Jumlah yang lebih besar dari penyimpanan langsung secara Islam (Islamic-Directed Saving) di
tangan para investor secara individual yang tidak dimasukan/berhubungan ke dalam bank sama sekali, tetapi
diinvestasikan langsung ke dalam bisnis. Adalah hal yang biasa untuk bank di London ( pusat pasar utama
bagi pembiayaan Islam) untuk menaruh $ 100milyar atau lebih atas nama seorang individu yang kaya raya.
Ada sebuah perjanjian umum bahwa dana yang dikelola oleh Bank Islam menunjukan uang yang siap
pakai, contohnya, dana seorang investor yang mempunyai komitmen kuat terhadap prinsip-prinsip agama.
Sepuluh atau dua puluh tahun sebelumnya, banyak yang menyimpan dana mereka tidak berjalan pada
“rekening kegiatan usaha yang tidak berjalan (non interest bearing account)” di bank Negara Barat. Sebagian
lagi mengelak dari system perbankan seluruhnya, menyimpang uangnya di rumah. Dengan uang yang dengan
gampang ditarik ini, beberapa bankir percaya yang kami wawancarai percaya bahwa tingkat pertumbuhan
sekarang ini akan susah untuk menopang. Menurut pendapat mereka, pertumbuhan masa depan bergantung
pada kemampuan insdutri untuk menarik dana para penyimpan dan investor yang sekarang boleh memilih
untuk pengembalian yang lebih dan karakteristik resiko dari bankir konvensional dan bankir investasi.
Tentu saja ada banyak lapisan dari simpanan muslim yang tersedia, pengalaman dari perang teluk
membuat hal ini jelas, seorang pengamat ahli memperkirakan bahwa lebih dari $ 50 milyar simpanan
dilarikan rezim teluk selama krisis teluk antara 1990-91. kebanyakan pergi ke Bank di Swiss, yang telah lama
menyediakan kepada orang timur tengah keamanan, keleluasaan, dan pengembalian yang kompetitif. Hanya
sedikit dana yang dilaporkan kembali lagi ke teluk pada akhir 1996. Untuk menarik dana ini dan dana lainnya
akan membutuhkan pengembangan dari kesempatan investasi Islam yang menawarkan angka pengembalian
yang kompetitif dalam tingkat resiko yang dapat diterima.
Dalam kebanyakan pendapat, hal ini tidak akan terjadi dalam konteks transaksi keuangan Islam yang
dipraktekkan sekarang.
8
Perantaraan Pembiayaan ( Financial Intermediary)
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, potensi dari Pasar modal Islam tidak begitu saja dilupakan oleh
Institusi pembiayaan baik yang dimiliki oleh penduduk asli maupun oleh orang asing yang beroperasi di
Negara-negara dengan populasi Muslim. Sedikit Bank besar yang dimiliki oleh orang timur tengah
mendominasi pasar ini, termasuk Al- Rajhi, Dar Al- Mar, Al- Baraka, dan Kuwait Finance House. Ditambah
beberapa Bank komersial lokal dan asing yang mempunyai operasi Islam yang substansial termasuk National
Commercial Bank, Saudi American Bank, Citibank, Kleinwort Benson, dll. Beberapa diantaranya awalnya
segan untuk membuat program deposit Islam dengan struktur pembagian untung karena takut akan
menghancurkan rekening konvensial dimana beberapa depositor muslim tidak menerima bunga.
Hal 7- 8
Produk Bank Sekarang ini
Dibandingkan investor konvensional, nasabah Muslim saat ini mempunyai relatif sedikit kontrak investasi
yang dapat diterima untuk dipilih. Penelitian kami menunjukan bahwa kebanyakan dana para muslim terbatas
pada investasi jangka pendek dengan resiko yang rendah, Prinsipnya dalam bentuk membiayai usaha untuk
inventaris yang diselesaikan melalui kontrak yang jumlahnya dinaikkan (murabaha) seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya dimana bank membeli inventaris dari supplier dan menjual kembali barang itu kepada
konsumen dengan harga yang meliputi biaya yang dikeluarkan bank ditambah penambahan biaya. Investasi
juga tersebar dalam rekanan pembagian untung yang disebut dengan mudaraba dan musharaka, dan di
kegiatan penyewaan yang disebut dengan ijara, tetapi hal tersebut mewakili porsi kecil dari keseluruhan
kumpulan investasi dan secara histories berkonsentrasi dalam portfolio dari para penjaja yang inovatif.
Walaupun Bank dan Pembiayaan Islam sering diakitkan oleh para ekonom Islam dan lainnya sebagai
pembiayaan pembagian untung, tapi telah tercatat bahwa sebagian besar dana Islam ditujukan pada Markup
(biaya yang dinaikkan) jangka pendek yang mempunyai untung yang tipis. Berbagai penjelasan tentang hal ini
terlihat dari wawancara dan tulisan yang ada. Mungkin penjelasan yang sering dikutip adalah fakta bahwa
Bank Islam tidak mempunyai pusat loket diskon bank (Sentral Bank Discount Window) untuk dialihkan
apabila mereka membutuhkan lukiditas dengan cepat dan tidak ada prpgram penjaminan simpanan untuk
menjamin kepentingan penyimpan dan membantu mencegah panic bank runs. Hingga kini, investasi jangka
panjang (yang relative lebih menguntungkan) menciptakan kekhawatiran ketidakcocokan antara aset dan
kewajiban, terlepas dari persyaratan akan pemberitahuan penarikan kembali yang cepat (Advance withdrawal
notice) yang seharusnya diberikan oleh nasabah Investasi Islam. Dalam prakteknya, banyak investor Islam
mengharapkan Jumlah dana dan lapangan yang sama seperti bank konvensional. Dari wawancara di lapangan
diperoleh bahwa investor Islam di timur tengah lebih menolak resiko daripada investor lain diamanapun. Hal
ini sebagian diakibatkan oleh goncangan seperti keruntuhan Soukh al –Manakh ( Bursa efek Kuwait) dan
kegagalan BCCI, dimana banyak Bank Islam dan investor lainnya mempunyai deposit yang besar.
Penjelasan lain untuk penyebabnya adalah kapasitas yang terbatas dari institusi-institusi ini untuk
berusaha melakukan analisis kredit yang teliti yang dibutuhkan untuk investasi yang agresif. Sehingga dapat
dimengerti kalau mereka ragu-ragu untuk masuk sedalam investasi jangka panjang kecuali mereka percaya diri
dan telah mengerti dengan benar resikonya, sehingga wajar apabila mereka tidak percaya diri mereka hanya
bertahan pada persetujuan jangka pendek.
Strategi investasi jangka pendek dari bank Islam ini bisa jadi merupakan jalan buntu. Selisih keuntungan
dalam kontrak ini terlalu tipis untuk mendukung pengeluaran tambahan dan menghasilkan keuntungan dasar
yang cukup (bottom line sufficient profit) untuk memuaskan pemilik bank dan para depositornya. Biasanya,
70% dari keuntungan ini menjadi milik depositor dan 30 % menjadi milik pemilik bank, tetapi dalam kondisi
saat ini. Depositor dalam beberapa bank Islam hanya dapat untuk mendapat untung/pengembalian sebanding
dengan apa yang ditawarkan oleh bank konvensional atas biaya dari pemilik bank. Beberapa bank Islam
terpaksa memberi subsidi distribusi keuntungan kepada depositor diluar dari bagian keuntungan pemilik bank
atau dalam beberapa kasus, diluar dari pemasukan tambahan pemilik, sebuah situasi yang benar-benar tidak
berkelanjutan (unsustainable).
Jika skenario buram ini tidak cukup memotivasi para bankir dan investor untuk bergerak kearah hasil
yang lebih menguntungkan (higher yielding) walaupun dengan resiko investasi yang lebih besar, pernyataan
baru-baru ini oleh sarjana Islam yang disegani dapat memenuhi hal tersebut. Beberapa Sarjana Islam barubaru
ini menyangsikan pada penerimaan dari salah satu bentuk pembiayaan Islam yang paling sering
digunakan yaitu tipe perdagangan pembiayaan Murabaha yang dilakukan di London. Transaksi ini meliputi,
sebagian besar, perjanjian perdagangan pembiayaan antara Investor Islam dan Peminjaman modal
( perusahaan) multinasional yang terkenal yang mencaru peminjaman modal kerja berbiaya rendah
9
( multinationals seeking lower cost working capital loans). Walaupun kontrak multi milyar dollar ini popular
untuk beberapa tahun, banyak keraguan bahwa bank benar-benar menerima barang kepemilikan (possession),
bahkan secara konstrukstif, dari inventaris, sebuah kondisi kunci untuk murabaha yang diterima sesuai
dengan agama. Tanpa kepemilikan, perjanjian ini dianggap tidak lebih sebagai peminjaman konvensional
jangka pendek dengan kurs bunga yang ditetapkan sebelumnya yang tergabung dalam harga dimana peminjam
membeli kembali invetaris. Transaksi Murabaha “sintetis” ini tidak dapat diterima oleh para muslim yang
saleh, oleh karena itu sekarang ada gerakan untuk menjauhi jenis investasi murabaha dalam bentuk apapun.
Para investor beralih kepada pada tingkatan tertentu memilih jangka waktu yang lebih lama, investasi
yang lebih menguntungkanm mereka menunjukkan pilihan pada lease/sewa (ijara) diatas kontrak lainnya.
Sewa mempunyai beberapa keuntungan yang sama sepeti menjual dalam pembolehan pengakuan dari factor
waktu dalam mengatur harga. Dan para investor dapat menganggap sewa sebagai penggabungan beresiko
rendah (incorporating lower risk) karena para investor menguasai hak property sampai kontraknya berakhir.
Jika ada kelalaian/wan prestasi, porperti dimiliki kembali, dengan cara ini menghindari ketidakpraktisan dan
debtor partial rules yang menyertai kelalaian dalam hukum syariah.
Hal 11
Pengaruh Pemerintah
Beberapa jenis pemerintah:
1. Pemerintah yang merubah system keuangannya kepada bentuk Islam cthnya Iran, Paskitan dan
Sudan
2. Pemerintah yang merangkul system bank Islam sebagai kebijakan nasional sementara itu tetap
mendukung dual banking tracks cthnya: Bahrain, Brunei, Kuwait, Malaysia, turki dan uni emirat arab.
3. Pemerintah yang tidak mendukung maupun melarang system Bank Islam dalam yuridiksinya
cthnyam Mesir, yaman, singapura, dan mungkin Indonesia
4. Pemerintah secara aktif mengecilkan kehadiran system bank Islam secara terpisah cthnya Saudi
Arabia dan oman.
Hal 13
Potensi dari Bank dan Pembiayaan Islam.
Tidak ada lagi halangan kecil pada kelanjutan pembangunan pembiayaan islam. Hal ini bukan berarti
tidak ada lagi halangan.
Hukum Ekonomi Konvensional:
Pelaksanaan Prinsip Keterbukaan di Pasar Modal
I
Grup Penasehat Bisnis Sektor Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
mengenai Pengelolaan Perusahaan1 membuat satu laporan mengenai prinsip-prinsip umum dari pengelolaan
1 Holly J. Gregory dan Marsha E.Simms menguraikan istilah “pengelolaan perusahaan” dari Ira M. Millstein, “The
evolution of Corporate Gonernance in the United States,” yang dibacakan di depan Forum Ekonomi Dunia, Davos, Swiss, (2
Pebruari 1998). Dikatakan, bahwa istilah “pengelolaan perusahaan” memiliki banyak definisi. Istilah tersebut dapat
mencakup segala hubungan perusahaan: hubungan antara modal, produk, jasa dan penyedia sumber daya manusia,
pelanggan dan bahkan masyarakat luas. Istilah ini juga dapat mencakup segala aturan hukum yang ditujukan untuk
memungkinkan suatu perusahaan untuk dapat dipertanggung-jawabkan di depan para pemegang saham perusahaan publik,
seperti juga kerja dari pasar untuk mengontrol perusahaan. Istilah ini dapat juga mengacu pada praktik audit dan prinsipprinsip
pembukuan, dan juga dapat mengacu kepada keaktipan pemegang saham. Secara lebih sempit, istilah ini dapat
digunakan untuk menggambarkan peran dan praktik dari dewan direksi. Adapun sebutan yang tepat untuk definisi ini
adalah: Pengelolaan perusahaan berkaitan dengan hubungan antara manajer perusahaan dan pemegang saham, didasarkan
kepada pandangan bahwa dewan direksi merupakan agen para pemegang saham untuk memastikan suatu perusahaan untuk
dikelola guna kepentingan perusahaan tersebut. Paradigma ini sangatlah sederhana: Para manajer (pengelola) bertanggung
jawab kepada dewan komisaris dan dewan komisaris kepada pemegang saham. Secara singkat istilah pengelolaan
10
perusahaan (corporate governance) dari pandangan sektor swasta dengan menitikberatkan pada “apa yang
diperlukan oleh suatu pengelolaan untuk menarik modal.” Laporan tersebut diketuai oleh, Ira M. Millstein
(“Laporan Millstein”). 2 Dalam laporan Millstein itu disebutkan, intervensi pemerintah dalam masalah
pengelolaan perusahaan akan menjadi cara yang paling efektif dalam rangka menarik modal, jika intervensi
tersebut terfokuskan pada empat bidang. Salah satu bidang diantara tiga bidang lainnya adalah bidang
“transparansi,” 3 yang sekaligus menjadi salah satu prinsip OECD dalam pengelolaan perusahaan.4 Prinsip
transparansi tersebut menyatakan, bahwa “kerangka pengelolaan perusahaan harus dapat memastikan bahwa
pengungkapan informasi yang akurat atau tepat dilaksanakan berkaitan dengan materi yang menyangkut
perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan dan kepemimpinan dari suatu perusahaan.”5
Berkaitan dengan prinsip-prinsip umum pengelolaan perusahaan yang baik oleh OECD tersebut, Cetak
Biru Pasar Modal Indonesia yang dibuat Bapepam, juga menetapkan strategi pengembangan pasar modal,
dimana diantara strategi tersebut ditekankan, bahwa agar good corporate governance dapat dimengerti dan
diterapkan dengan baik, maka perlu dicermati kajian yang dilakukan oleh OECD terhadap prinsip-prinsip
utama corporate governance, tersebut termasuk prinsip keterbukaan.6 Upaya mencapai good corporate
covernance tersebut, juga sesuai dengan pernyataan Bapepam, bahwa salah satu penyebab rentannya
perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap gejolak perekonomian adalah lemahnya penerapan good
corporate gonernance dalam pengelolaan perusahaan.7
Oleh karena itu, peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan di pasar modal harus diupayakan dapat
berjalan dengan baik, agar apa yang menjadi tujuan prinsip keterbukaan dapat dicapai. Upaya tersebut harus
didukung dengan peraturan yang cukup berkenaan dengan pelaksanaan prinsip keterbukaan, penentuan fakta
materiel yang mempengaruhi harga saham dan perbuatan menyesatkan.
Tujuan Prinsip Keterbukaan
Pentingnya prinsip keterbukaan dalam pasar modal, juga telah ditekankan oleh hasil studi International
Federation of Stock Exchanges (FIBV) pada tahun 1998. Disebutkan dalam rangka menuju milenium ketiga
orientasi pengembangan pasar modal dunia adalah menciptakan pasar modal pasar modal yang likuid dan
efisien. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, pasar modal dimana-mana cenderung meningkatkan hal-hal
yang antara lain terkait dengan keterbukaan. 8 Perlu diingat, berkembangnya suatu pasar modal sangat
tergantung pada kemampuan lembaga-lembaga yang ada di pasar modal tersebut untuk memberikan
keamanan investasi dan kualitas pelayanan yang tinggi. Keamanan dan kualitas jasa yang tinggi tersebut
diperlukan untuk menarik sumber daya domestik untuk terlibat di pasar modal dan juga merupakan tuntutan
perusahaan tersebut oleh Holly J. Gregory dan Marsha E.Simms diuraikan dengan pandangan definisi yang luas maupun
terbatas. Secara terbatas, istilah tersebut berkaitan dengan hubungan antara pengelola (manajer), direktur dan pemegang
saham perusahaan. Istilah tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan
masyarakat. Secara luas, istilah “pengelola perusahaan” dapat meliputi kombinasi hukum, peraturan, aturan pendaftaran
dan praktik pribadi yang memungkinkan perusahaan menarik modal masuk, berkinerja secara efisien, menghasilkan
keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secara umum dan sekaligus kewajiban hukum. Holly J. Gregory dan
Marshal E. Simms, “Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance): Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” makalah
disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance), kerjasama, Program Pascasarjana
Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000, hal. 3-4.
2 Laporan Millstein itu dimuat dalam Business Sector Advisory Group, “Report to the OECD on Corporate Governance:
Improving Competiveness and Access to Capital in Global Markets (April 1998). Diuraikan Holly J. Gregory dan Marshal E.
Simms, Op. cit, hal. 12.
3 Tiga bidang lainnya ialah , pertama, pemastian adanya perlindungan atas hak-hak pemilik saham minoritas dan asing,
dan pemastian diberlakukannya kontrak yang adil dengan penyedia sumber daya/bahan. Kedua, pengklarifikasi peran dan
tanggung jawab pengelolaan serta usaha-usaha yang dapat membantu memastikan kepentingan pengelolaan dan
kepentingan pemilik saham untuk diawasi oleh dewan direksi. Ketiga, pemastian bahwa perusahaan memenuhi kewajiban
hukum dan peraturan lainnya yang menggambarkan penilaian masyarakat. Holly J. Gregory dan Marshal E. Simms, Op .cit,
hal. 12-13.
4 Ibid, hal. 14-16.
5 Ibid, hal. 15.
6 Bapepam, Cetak Biru Pasar Modal Indonesia 2000-2004, (Jakarta: Bapepam, 1999), hal.17.
7 Ibid.
8 Di samping untuk meningkatkan keterbukaan, juga adalah untuk meningkatkan infrastruktur pasar, kliring dan
penyelesaian transaksi, jenis instrumen yang diperdagangkan, pelayanan terhadap nasabah dan teknologi. Bapepam, Op.cit.,
hal. 8.
11
dari investor internasional. Hasil riset International Organization of Securities Commissions (IOSCO),
mengungkapkan bahwa pasar modal yang mengembangkan sistim yang aman dan efisien terbukti lebih
menarik bagi investor domestik maupun asing. 9
Oleh karena itu, perlu pengaturan yang dapat mengembangkan pasar modal menjadi efisien. Keperluan
pengaturan tersebut juga mengingat pasar modal telah lama dipandang sebagai barometer dalam hakekat
bisnis. Federal Reserve Board (FRB) 10 memformulasikan kebijaksanaan moneternya dengan mengikuti 12
indikator ekonomi, diantaranya adalah pasar modal. Selama bertahun-tahun FRB telah merumuskan, bahwa
pasar modal dapat membantu ramalan dan bentuk bisnis yang akan datang.11 Sebagai salah satu indikator
ekonomi, posisi pasar modal dalam menunjang perekonomian nasional mempunyai peran yang strategis.12
Dengan demikian prinsip keterbukaan dalam pasar modal menjadi isu utama yang harus dikaji. Prinsip
keterbukaan sekarang ini bukan merupakan hal baru, tetapi sudah merupakan sejarah yang panjang dalam
dunia pasar modal, sebagaimana tuntutan perlunya prinsip keterbukaan dalam pasar modal Amerika Serikat
untuk menyelamatkan pasar modalnya dari kehancuran akibat terjadinya great depression tahun 1929.13
Untuk lebih memahami pembenaran prinsip keterbukaan tersebut, dapat diikuti pengamatan Jonh C.
Coffee, Jr tentang perlunya sistim keterbukaan yang wajib. Teori yang lebih sederhana dapat menjelaskan
dimana sistim keterbukaan difokuskan. Jawaban ini akan menghasilkan empat tuntutan. 14
Pertama, karena informasi memiliki berbagai karakteristik dari suatu barang umum (public good), maka
penelitian saham cenderung kurang tersedia. Kurangnya ketersediaan tersebut berarti bahwa informasi yang
diberikan emiten tidak akan diverifikasi secara optimal dan bahwa kurangnya upaya diberlakukan terhadap
9 Ibid, hal. 24.
10 FRB adalah dewan pimpinan Federal Reserve System. Ketujuh anggotanya, dengan persetujuan Senat, diangkat
oleh Presiden Amerika Serikat untuk masa bakti 14 tahun. Dewan menetapkan kebijakan Federal Reserve System mengenai
maslah-masalah kunci seperti persyaratan cadangan dan peraturan perbankan lainnya, menetapkan tarif diskonto,
mengetatkan atau melonggarkan tersedianya kredit dalam perekonomian, dan mengatur pembelian sekuritas atas marjin.
John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Op. cit, hal. 182. Federal Reserve System adalah sistem yang didirikan
berdasarkan Federal Reserve Act tahun 1913 untuk mengatur sistem moneter dan perbankan Amerika serikat. Federal
Reserve System terdiri atas 12 Federal Reserve Banks Regional, 24 cabang, dan semua bank nasional dan negara bagian
yang menjadi bagian dari sistem. Bank-bank nasional menjadi pemegang saham dari Federal Reserve Bank di wilayah
masing-masing. Fungsi utama dari Federal Reserve System adalah untuk mengatur pasokan uang nasional, menetapkan
persyaratan cadangan bagi bank-bank anggota, mengawasi pencetakan uang di percetakan uang, bertindak sebagai lembaga
kliring untuk transfer dana di seluruh sistem perbankan, dan meneliti bank-bank anggota untuk memastikan bahwa mereka
menaati berbagai peraturan Federal Reserve. Walaupun para anggota dari dewan pimpinan sistem diangkat oleh Presiden
Amerika Serikat dan dikonfirmasikan melalui Senat, Federal Reserve System dianggap sebagai satuan kerja yang mandiri,
yang diharapkan membuat keputusan yang bebas dari pengaruh politik. Para Gubernur diangkat untuk masa jabatan 14
tahun yang semakin memperkuat kemandirian mereka. John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Dictionary of Finance
and Investment Terns, diterjemahkan oleh Soesanto Budhidarmo, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), hal. 182.
11 E.S. Gayed, Challenge of A Generation Beyond the Crash of 87, (New York : Institute of Finance New York, 1989),
hal. 34.
12 Bandingkan. Peter S. Rose, Money and Capital Market The Financial System in an Increasingly Global Economy,
(Illinois, Boston : Dowjones - Irwin, 1989), hal. 4.
13 Hancurnya pasar modal Amerika Serikat pada tahun 1929 juga mempengaruhi bursa efek di Hindia Belanda.
Apalagi resesi ekonomi dunia ini disusul Perang Dunia II tahun 1939 serta masuknya Indonesia dalam era penjajahan
Jepang dan perang kemerdekaan membuat bursa tidak berfungsi. Sumantoro, Aspek-Aspek Hukum dan Potensi Pasar
Modal di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), hal. 40. Untuk mengaktifkan bursa, pada 1 September 1951
dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 13 Tentang Bursa dan kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang Bursa No. 15
Tahun 1952. Jasso Winarto (ed), Pasar Modal Indonesia Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi BEJ, (Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan, 1977), hal. 12.Undang-Undang Darurat ini belum mengatur prinsip keterbukaan dan belum memadai sebagai
rambu perlindungan investor atau pemegang saham. Untuk keperluan ini dan untuk mengembangkan pasar modal, maka
dibutuhkan suatu Undang-Undang yang dapat mendukung pasar modal, yang kemudian direalisasikan dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM). Dengan UUPM ini diharapkan dapat dilaksanakan guna
berperannya pasar modal secara strategis dalam pembangunan ekonomi. Selanjutnya UUPM sebagai hukum yang
diharapkan menciptakan keteraturan mekanisme pasar modal, harus mengandung stability (stabilitas), predictability
(kepastian) dan fairness (keadilan). Hal ini dapat dibandingkan dengan studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan
pembangunan sebagaimana dikutip Leonard J. Theberge dalam tulisannya “Law and Economic Development.” Burg’s
menyebutkan bahwa terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan dalam kualitas hukum supaya membuat
pembangunan lebih baik, yaitu stability, predictability, fairness, education dan the special development abilities of the
lawyer. Menurut Burg’s unsur kualitas stability dan predictabilty merupakan persyaratan supaya sistim ekonomi berfungsi.
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development,” Journal of International Law and Policy (Vol. 9, 1980), hal. 232.
14 John C. Coffee, Jr, 1, “Market Failure and the Economic Case for A Mandatory Disclosure System,” Virginia Law
Review, (Vol. 79, 1984), hal. 721-722.
12
pencarian informasi materiel dari sumber emiten. Sistim keterbukaan yang wajib dapat dilihat sebagai suatu
strategi pengurangan biaya melalui mana masyarakat akibatnya mensubsidi biaya pencarian guna menjamin
baik adanya informasi dalam jumlah besar dan pengujian akurasi yang lebih baik. Walaupun hasil akhir dari
peningkatan upaya yang demikian secara signifikan tidak mempengaruhi keseimbangan dari keuntungan
(advantage) antara penjual dan pembeli, atau bahkan tujuan dari distributive fairness yang lebih umum,
namun hal itu meningkatkan alokasi efesiensi dari pasar modal dan pada akhirnya peningkatan tersebut
menunjukkan suatu perekonomian yang lebih produktif.
Kedua, dasar substansial ada untuk percaya bahwa ketidak efisienan yang lebih besar akan terjadi tanpa
sistim keterbukaan yang wajib karena biaya sosial yang berlebih akan dikeluarkan investor untuk mengejar
laba perdagangan. Pengkolektipan mengurangi social waste yang sebaliknya bisa timbul dari kesalahan alokasi
sumber daya ekonomi untuk mencapai tujuan ini.
Ketiga, teori “self-induced disclosure,” yang sekarang populer di antara para teoritisi perusahaan dan
sebagaimana diyakini oleh Easterbrook dan Fischel, hanya memiliki validitas terbatas. Suatu kelemahan
khusus dalam teori tersebut adalah bahwa teori tersebut mengabaikan signifikasi dari kontrol perusahaan dan
terlalu banyak menganggap bahwa kepentingan manajer dan pemegang saham dapat diluruskan secara
sempurna. Pada kenyataannya, prasyarat besar yang ditentukan oleh para teoritis ini, diperlukan untuk
efektifnya sistim keterbukaan sukarela (disclosure voluntary system) sepertinya tidak memuaskan. Walaupun
manajemen dapat dipengaruhi melalui incentive contracty device untuk mengidentifikasi kepentingan diri
sendiri dengan maksimalisasi nilai saham, namun manajemen masih memiliki kepentingan dalam
mengakuisisi penyertaan pemegang saham pada suatu harga diskon, sedikitnya sepanjang manajemen masih
dapat melakukan insider trading atau leveraged buyouts. Karena insentif bagi keduanya mungkin masih kuat,
maka masalah akan muncul dimana manajemen dapat keuntungan dengan memberikan sinyal yang salah
terhadap pasar.
Keempat, dalam pasar modal efisien, masih ada informasi yang dibutuhkan investor rasional untuk
mengoptimalkan portofolio sahamnya. Informasi yang demikian sangat baik diberikan melalui suatu sistim
kewajiban keterbukaan.
Pengamatan Coffee, Jr tentang perlunya mempertahankan sistim keterbukaan yang wajib tersebut dapat
dijadikan sebagai dasar penerapan prinsip keterbukaan bagi emiten atau perusahaan publik. Gunanya untuk
mengatur pemberian informasi mengenai keadaan keuangan dan informasi lainnya kepada investor.15 Dengan
perkataan lain, tujuan yang ingin dicapai ketentuan ini adalah untuk menghasilkan dokumen yang
menceritakan kepada pembeli prospektif, mengenai berbagai hal yang seharusnya diketahui oleh pembeli
tersebut sebelum ia membeli suatu saham.16
Dengan pemberian informasi berdasarkan prinsip keterbukaan itu, akan dapat diantisipasi terjadinya
kemungkinan investor tidak memperoleh informasi atau fakta materiel atau tidak meratanya informasi bagi
investor disebabkan ada informasi yang tidak disampaikan dan bisa juga terjadi informasi yang belum tersedia
untuk publik telah disampaikan disampaikan kepada orang-orang tertentu. Seperti seseorang atau kelompok
investor lainnya.17 Sedangkan informasi itu sangat berfungsi disebabkan berisi fakta materiel, yang dapat
dibuat sebagai bahan pertimbangan bagi investor untuk melakukan investasi.18
Antisipasi tersebut dilakukan dengan adanya sistim keterbukaan yang wajib bagi perusahaan yang
melakukan penawaran umum atau perusahaan publik untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat
mengenai keadaan usahanya, baik dari segi keuangan, manajemen produksi maupun yang berkaitan dengan
kegiatan usahanya.19
15 Richard W. Jenning dan Harold Marsh, Jr, Securities Regulation Cases and Materials, (New York: The Foundation
Press Inc, 1987), hal. 63.
16 David L. Ratner dan Thomas Lee Hazen, Securities Regulation Cases and Materials, (St. Paul Minn: West
Publishing, 1991), hal. 79.
17 James D. Cox, Robert W. Hillman, Donald C. Langevoort, Securities Regulation Cases and materiels,(Boston,
Toronto, London : Little, Brown and Company, 1991), hal. 55-56.
18 D. Brian Hufford, “Deserring Fraud vs. Avoiding the “Strike Suit” : Reaching An Appropriate Balance,” Brooklyn
Law Review, (Vol. 61, 1995), hal. 593-594.
19 Bandingkan dengan Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan,
bahwa “Bapepam wajib memperhatikan kelengkapan, kecukupan, objektivitas, kemudahan untuk dimengerti, dan kejelasan
dokumen Pernyataan Pendaftaran untuk memastikan bahwa Pernyataan Pendaftaran memenuhi Prinsip Keterbukaan”.
Bandingkan juga dengan Pasal 89 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “informasi yang wajib disampaikan oleh setiap Pihak
kepada Bapepam berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dan atau perturan pelaksanaannya tersedia untuk umum.”
Dalam Penjelasan Pasal 89 ayat (1) ini dinyatakan, bahwa “yang dimaksud informasi dalam ayat ini, antara lain Pernyataan
13
Penekanan untuk mencermati pelaksanaan prinsip keterbukaan dalam pasar modal Indonesia adalah
langkah yang tepat dilakukan, mengingat terdapatnya berbagai masalah yang timbul dalam pelaksanaan
prinsip keterbukaan tersebut. Tanpa upaya pembenahan prinsip keterbukaan terhadap masalah-masalah yang
timbul akan menjadikan tujuan prinsip keterbukaan itu tidak tercapai. Sebaliknya dapat mengakibatkan pasar
modal tidak efisien atau distorsi. Investor tidak dapat memperoleh informasi atau fakta materiel yang akurat.
Pengungkapan informasi tentang fakta materiel secara akurat dan penuh akan dapat merealisasikan
tujuan prinsip keterbukaan tersebut dan menghindarkan timbulnya pernyataan yang menyesatkan (misleading)
bagi investor.
Tedapat sedikitnya tiga tujuan ditegakkannya prinsip keterbukaan di pasar modal. Pertama, menjaga
kepercayaan investor.20 Oleh karena itu, prinsip keterbukaan yang menambah kepercayaan investor atau
publik 21 terhadap pasar modal sangat penting untuk diperhatikan. Pada umumnya, apabila terjadi “krisis
kepercayaan” atau “ketidakpercayaan” investor kepada pasar modal dan perekonomian, maka investor akan
menarik modal mereka dari pasar. Akibatnya pasar dan perekonomian akan rusak secara keseluruhan.22
Argumentasi perlunya prinsip keterbukaan untuk menjaga kepercayaan investor tersebut sangat relevan
dengan munculnya ketidakpercayaan publik terhadap pasar modal, yang pada gilirannya mengakibatkan
pelarian modal (“capital flight”) secara besar-besaran dan seterusnya dapat mengakibatkan kehancuran pasar
modal (bursa saham). Sebab ketiadaan keterbukaan atau ketertutupan informasi akan menimbulkan
ketidakpastian bagi investor.23 Akibatnya investor sulit mengambil keputusannya untuk berinvestasi melalui
pasar modal. Hal ini sesuai dengan pendapat, bahwa apabila makin jelas informasi perusahaan, maka
keinginan investor untuk berinvestasi akan makin tinggi. Selanjutnya ketiadaan atau ketertutupan informasi
akan menimbulkan keragu-raguan untuk berinvestasi bagi investor. 24 Akibatnya keadaan informasi yang
demikian akan menimbulkan ketidakpercayaan investor pada pasar modal.
Dengan demikian dapat dipahami, tujuan prinsip keterbukaan yang bertujuan sebagai cara menjaga
kepercayaan investor dalam pasar modal adalah merupakan suatu hal yang paling penting. 25 Keadaan
ketidakpercayaan investor tersebut pernah terjadi dalam pasar modal Amerika Serikat, tepatnya pada tahun
1929-1934,26 yang mengakibatkan investor melarikan modalnya dari pasar modal Amerika Serikat tersebut.27
Untuk mengantisipasi keadaan ini peraturan prinsip keterbukaan harus ditegakkan. Karena peraturan
prinsip keterbukaan secara substansial akan memberikan informasi pada saat-saat yang telah ditentukan, dan
yang lebih penting peraturan prinsip keterbukaan akan mengatur pengawasan, waktu, tempat dan dengan cara
bagaimana perusahaan melakukan keterbukaan.28
Pembenaran prinsip keterbukaan untuk menjaga kepercayaan investor ini sejalan dengan pengembangan
dengan pasar modal di Indonesia, yang tujuannya adalah agar kualitas informasi semakin terpercaya dan
Pendaftaran termasuk prospektus, permohonan izin usaha, izin orang perorangan, persetujuan dan pendaftaran profesi,
laporan berkala, dan laporan lain-lainnya”.
20 Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, 1, The Economic Stucture of Corporate Law, (Cambridge,
Massachusetts, London: Harvard University Press, 1996), hal. 296. Lihat juga. Kenneth E. Scott, dalam Richard A. Posner
dan Kenneth E. Scott, (ed), Economic of Corporation Law and Securities Regulation, (Boston, Toronto: Little, Brown &
Company, 1980), hal. 317.
21 Di dalam ilmu Psikologi dikenal teori bahwa manusia bereaksi terhadap apa yang dipercayainya sebagai suatu
kenyataan dan terhadap kenyataan itu sendiri. Dengan perkataan lain, faktor persepsi tentang suatu hal lebih menentukan
perilaku orang dan hal itu sendiri, Myers dalam Sarlito W. Sarwono dan Acuk Parsudi, “Mengembalikan kepercayaan
masyarakat,” disampaikan pada Simposium Penjelajahan Trace Baru II, Universitas Indonesia, Depok, 30 Maret 1988, hal. 2.
22 Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, 2. “Mandatory Disclosure and the Protection of Investors,” Virginia
Law Review, (Vol. 70, 1984), hal. 673.
23 John C. Coffee, Jr, 1, Op.cit., hal. 737.
24 William H. Beaver, “The Nature of Mandated Disclosure,” dalam Richard A. Posner dan Kenneth E. Scott (ed),
Loc.cit. hal. 371.
25 Michael B. Metzger, Jane P. Mallor, James Barnes, a.l, Business Law and The Regulation Environment Concepts
and Cases, (Homewwod, Illinois : Irwin, 1986), hal. 635.
26 Marshall E. Blume, Jeremy J. Siegel, dan Dan Rottenberg, Revolution on Wall Street the Rise and Decline of the
New York Stock Exchange, (New York, London : W.W. Norton & Company, 1993), hal. 33.
27 Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, 1, Op. cit. hal. 296-297.
28 Frank H. Easterbrook dan Daniel R. Fischel, 2, Op. cit, , hal. 673.
14
semakin tepat waktu, akses investor terhadap informasi semakin terbuka luas, dan biaya memperoleh
informasi semakin murah.29
Prinsip keterbukaan untuk menjaga kepercayaan investor sebagai pendekatan fundamental, bukan satusatunya
pendekatan untuk memprediksi harga saham. Faktor teknis, seperti psikologis dan emosi juga
mempengaruhi harga saham tersebut.30 Misalnya berkenaan dengan keadaan ekonomi,31 keadaan politik,32
kebijakan pemerintah dan rumor.33 Pendekatan teknis sebagai aliran kedua setelah pendekatan fundamental,
menyatakan bahwa investor adalah makhluk yang irrasional. Bursa pada dasarnya adalah cerminan mass
behaviour. Seorang individu yang bergabung dalam suatu massa, bukan hanya kehilangan rasionalitasnya,
tetapi juga seringkali melebur identitas pribadi ke dalam identitas kolektif. Harga saham sebagai komoditas
perdagangan, tentu, dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Pada gilirannya permintaan dan penawaran
merupakan manifestasi dari kondisi psikologis investor.34
Pelaku pasar modal baik analis saham atau penasehat investasi, pialang maupun investor, khususnya para
investor yang potensil atau investor rasional bisa terbawa faktor psikologis dan emosi yang mempengaruhi
harga saham.
Proposisi, bahwa harga saham dipengaruhi oleh faktor psikologis tersebut adalah dilatar belakangi oleh
kehancuran pasar modal Amerika Serikat pada Oktober 1987.35 Hancurnya penurunan harga saham pada
pasar modal Amerika Serikat waktu itu. penyebabnya adalah pengaruh faktor psikologis dari investor. Harris
menulis tentang kehancuran pasar modal Amerika Serikat pada Oktober 1987, dengan membahas tiga jenis
volatility 36 harga saham, yaitu fundamental, induksi transaksi (transaction-induced), dan induksi noise
(noise-induced). Jenis volatility tersebut memberikan banyak pemahaman tentang ekonomi atas penciptaan
pasar, dan membentuk kerangka analisis yang berguna untuk menilai efektifitas rencana kebijakan berkenaan
dengan kehancuran pasar.37 Kehancuran pasar modal Oktober 1987 dipengaruhi oleh berita buruk mengenai
ekonomi makro. Seperti tingkat bunga, defisit perdagangan, dan nilai dollar serta diperburuk lagi oleh
“penyalahgunaan” asuransi portopolio.38
Kenyataan yang terjadi pada kehancuran di Wall Street 39 Amerika Serikat pada tanggal 19 Oktober 1987,
lebih dikenal dengan sebutan Black Monday.40 Menurut Dow Jones Industrial Average (DJIA) 41 perdagangan
29 Hasan Zein, “CMS dan Pengembangan Pasar Modal Di Indonesia,” dalam Indra Safitri, ed, Catatan Kolom Hasan
Zein Buku Pertama, (Jakarta: Go Global Book Publishing Divison Safitri & Co, 1998), hal. 30.
30 Lawrence A. Cunningham, 2, “Capital Market Theory, Mandatory Disclosure, and Price Discovery,” Washington
and Lee Law Review, (Vol. 51, 1994), hal. 854. Lihat juga. Kenneth M. Lehn, “Comment on the Harris paper,” Cornell Law
review, (Vol. 74, 1989), hal. 948. Bandingkan. Faktor fundamental bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi harga
saham, terlihat juga di BEJ. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa dari analisis regresi terhadap data dari periode sebelum dan
sesudah (deregulasi I 1987, Pakto 1988 dan Pakdes II 1988), tampak bahwa hipotesis analisis fundamental sebagai faktor
yang menentukan, tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari pengujian metode kuantitatif yang dilakukan.
Memperhatikan fluktuasi IHSG BEJ dapat diyakini bahwa faktor psikologis juga mempengaruhi turun-naiknya IHSG.
Sjahrir, 1, Analisis Bursa Efek, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 16-17.
31 Kenneth M. Lehn, Loc. cit, hal, 948..
32 Marzuki Usman, Djoko Koesnadi, Arys Liyas, Hasan Zein M, al, ABC Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Lembaga
Pengembangan Perbankan Indonesia dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Jakarta, 1990), hal. 172.
33 Sjahrir, 2, Tinjauan Pasar Modal, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 229.
34 Ibid, hal. 157.
35 Ibid.
36 Volatility adalah ciri suatu harga sekuritas, komoditas, atau pasar untuk naik atau turun dengan tajam dalam
masa yang pendek. John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Op. cit, hal. 646.
37 Kenneth M. Lehn, Loc. cit, hal. 948.
38 Ibid.
39 Nama umum untuk distrik keuangan di sisi bawah Manhattan di Kota New York, lokasi New York Stock Exchange,
American Stock Exchange, dan kantor pusat sejumlah besar perusahaan perpialangan. Sebenarnya lokasi New York Stock
Exchange adalah dipojok Wall Street dan Broad Street. hal. John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Op. cit. hal. 649.
40 Black Monday (Senin Kelam) , 19 Oktober 1987 saat Dow Jones Industrial Average jatuh sebanyak 508 poin
(suatu rekor) mengikuti penurunan-penurunan tajam dalam minggu sebelumnya. Hal ini mencerminkan kekhawatiran
investor mengenai tingkat harga saham yang melambung, defisit anggaran federal dan perdagangan, serta kegiatan pasar
asing. Banyak orang menyalahkan perdagangan program sebagai biang keladi dari mudah merubahnya keadaan secara
ekstrim. John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Op. cit, hal. 51.
41 Dow Jones Industrial Average (DJIA) adalah Rata-rata harga saham tertimbang dari 30 saham unggul yang
diperdagangkan secara aktif, terutama saham industrial tetapi termasuk American Express Company dan American
Telephone and Telegraph Company. Dipersiapkan dan diterbitkan oleh Dow Jones & Company, rata-rata ini adalah rata-rata
tertua dan paling banyak dikutip dari semua indikator pasar. Komponennya, yang sekali waktu berubah mewakili sekitar
15
jatuh sebanyak 508 point. Keadaan ini merupakan suatu rekor yang mengikuti penurunan-penurunan tajam
dalam minggu sebelumnya. Hal ini mencerminkan kekhawatiran investor mengenai tingkat harga saham yang
melambung, defisit anggaran federal dan perdagangan, serta kegiatan pasar asing.42
II
Pelaksanaan Prinsip Keterbukaan
Sebelum Pernyataan Pendaftaran Menjadi Efektif
Pelaksanaan prinsip keterbukaan yang paling awal dalam mekanisme pasar modal sudah dimulai pada
saat perusahaan memasuki tahap pra-pencatatan Pernyataan Pendaftaran. Pernyataan Pendaftaran
(Registration Statement), yang wajib diserahkan kepada Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) terdiri dari
prospektus awal (preliminary prospectus) dan dokumen-dokumen pendukung.43 Prospektus awal tersebut
mirip dengan dokumen yang terdapat di Amerika Serikat, yang disebut dengan red herring,44 atau tombstone,
yaitu suatu dokumen yang isinya memberikan informasi terbatas mengenai nama emiten, judul, jumlah
saham yang ditawarkan, harga penawaran, dan dimana prospektus bisa diperoleh, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Nomor 134 SEC.45
Dalam praktek yang terjadi di pasar modal Indonesia, fungsi prospektus awal tersebut dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada calon investor memperoleh informasi segera setelah Pernyataan Pendaftaran
diterima oleh Bapepam. Dalam konteks ini muncul suatu persoalan, yaitu perlu dibuat suatu ketentuan bagi
emiten untuk memberitahukan kapan dan dimana calon investor bisa memperoleh prospektus awal tersebut.
Misalnya membuat ketentuan yang mengatur adanya prospektus awal. Dalam perkataan lain, perlu dibuat
ketentuan yang dapat mengambil alih fungsi prospektus ringkas menjadi prospektus awal. Oleh karena itu,
Bapepam perlu mempertimbangkan, apakah masih perlu diterapkan pemakaian prospektus ringkas tersebut.
Pertanyaan ini didasarkan, pertama, walaupun prospektus awal belum memuat informasi tentang harga
penawaran dan informasi lain yang berhubungan dengan harga, tetapi kandungan prospektus awal lebih rinci
dibandingkan dengan prospektus ringkas. Kedua, waktu yang tersedia bagi calon investor untuk melakukan
kajian tentang prospek perusahaan menjadi lebih panjang. Ketiga, melalui prospektus awal emiten dapat
melakukan kegiatan marketing yang lebih interaktif dan dialogis secara lebih dini. Keempat, Bapepam bisa
menggunakan prospektus awal untuk memacu kontrol sosial atas kualitas keterbukaan emiten.46
15% dan 20% nilai pasar saham NYSE. DJIA ini dihitung dengan menambahkan harga-harga penutup dari saham komponen
dan menggunakan pembagi yang disesuaikan untuk pemecahan, untuk dividen saham sebesar 10% atau lebih dari nilai
peleburan. Rata-rata dicatat dalam angka, bukan dalam dolar. John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Op. cit, hal. 559.
42 Ibid, hal. 51.
43 Prospektus merupakan penawaran tertulis resmi untuk menjual sekuritas yang mencantumkan rencana dari suatu
usaha bisnis yang diusulkan, atau fakta-fakta yang menyangkut usaha yang sudah ada dan perlu diketahui oleh seseorang
investor agar dapat membuat keputusan dengan pengetahuan yang cukup. Prospektus juga diterbitkan untuk dana bersama
yang menjelaskan sejarah, latar belakang para manajer, tujuan dana, laporan keuangan, dan data esensial lain. Prospektus
untuk penawaran umum harus diberikan kepada calon-calon pembeli dari penawaran. Prospektus itu berisikan informasi
keuangan dan penjelasan dari sejarah bisnis perusahaan, pejabat perusahaan, operasi, perkara hukum (bila ada), serta
rencana (termasuk penggunaan hasil jual dari emisi). John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Dictionary of Finance and
Investment Term, Penerjemah Soesanto Budhidarmo, (Jakarta: PT. Gramedia, 1996), hal. 438. Dalam pasar modal
Indonesia, isi prospektus diatur dalam Peraturan Nomor IX.C.3 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus
Dalam Rangka Penawaran Umum. Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor Kep-51/PM/1996, tanggal 17 Januari 1996
diubah dengan Nomor Kep-43/PM/2000, tanggal 27 Oktober 2000.
44 Dokumen pertama yang diedarkan oleh penanggung dari emisi kepada investor prospektif. Dokumen itu
memberikan rincian keuangan tentang emisi tetapi tidak memuat semua informasi yang akan tercakup dalam prospektus
akhir atau prospektus menurut undang-undang (statury prospectus). Sebagian dari dokumen dapat diubah sebelum
prospektus akhir diterbitkan. Karena bagian-bagian dari halaman muka prospektus sementara dicetak dengan tinta merah,
maka secara populer dinamakan red herring. Dokumen atau red herring belum lengkap dalam semua rinciannya, walaupun
kebanyakan fakta penting dari penawaran biasanya sudah tercakup. Prospektus akhir juga dinamakan offering circular
(edaran penawaran). John Downes dan Jordan Elliot Goodman, Op. cit, hal. 422-438. Red herring ini menyatakan bahwa
saham-saham belum lagi dijual dan Pernyataan Pendaftaran meskipun telah diisi namun masih ada kemungkinan untuk
diselidiki oleh SEC dan masih banyak kemungkinan untuk dirobah. Dalam red herring tersebut tidak dicantumkan harga
saham yang pasti, namun hanya perkiraan harga saja. Asril Sitompul, 2, Pasar Modal Penawaran Umum dan Permasalahannya,
(PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 110. Lihat juga. David L. Ratner, Op. cit, hal. 49.
45 David L. Ratner, Securities Regulation In A Nutshell, Fourth Edition, (St. Paul, Minn: West Publishing Co., 1992),
hal. 49.
46 Indra Safitry, ed, Catatan Kolom Hasan Zein, (Jakarta: Go Global Book, 1998), hal 258-259.
16
Persoalan untuk mendapatkan prospektus yang demikian bukan hanya ada dalam kegiatan pasar modal
di Indonesia. Hal yang sama pernah menjadi persoalan pasar modal Amerika Serikat. Dalam praktek
perdagangan saham, setiap calon investor dalam penawaran umum perdana seharusnya menerima copy
prospektus awal pada saat yang wajar dalam menjelang tanggal efektif. Di Amerika Serikat, empat puluh
delapan jam dapat dianggap sebagai suatu waktu yang wajar mempelajari prospektus.47
Di Amerika Serikat, persoalan untuk mendapatkan prospektus tersebut telah menjadi perhatian, dimana
pada umumnya dalam praktek, pialang yang melakukan penjualan selama priode sebelum prospektus menjadi
efektif, bisa tidak pernah melihat prospektus awal. Selain itu, pialang kadang-kadang tidak dapat menyediakan
copy prospektus untuk para nasabahnya. Persoalan tersebut dicoba diatasi berdasarkan ketentuan SEC yang
baru dengan menetapkan bahwa, pertama, para pihak yang menjamin emisi seharusnya mengambil langkahlangkah
yang wajar untuk memberikan prospektus kepada siapa saja yang memerlukannya. Kedua, setiap
pialang yang diharapkan untuk menawarkan penjualan saham, yang Pernyataan Pendaftarannya telah
diajukan seharusnya diberikan copy prospektus awal dan perubahan prospektus awal. Bila pialang diharapkan
untuk menawarkan saham sesudah tanggal efektif, maka mereka pertama sekali harus menerima suatu copy
dari prospektus final. Ketiga, penjamin emisi (underwriter) seharusnya mengambil langkah-langkah yang
wajar untuk mengetahui apakah pihak lain dalam penawaran (termasuk dealers) menerima copy yang cukup
dari berbagai versi prospektus untuk memungkinkan mereka melaksanakan persyaratan dan amandemen
Peraturan 460. Selanjutnya, para penjamin emisi harus melengkapi setiap dealer dengan prospektus
secukupnya untuk memungkinkan dealer melaksanakan kewajiban penyerahan saham setelah Pernyataan
Pendaftaran efektif. 48
Ketiga pemikiran tersebut merupakan jalan keluar yang penting mengatasi persoalan untuk mendapatkan
prospektus. Sebagaimana diuraikan Edward G. Eisert, prospektus bertujuan untuk menyediakan informasi
penting tentang perusahaan yang melakukan pendaftaran tersebut, dimana dengan penyediaan informasi itu
akan membantu para investor dalam membuat keputusan untuk membeli saham yang ditawarkan.49
William H. Beaver mengatakan, kalau hanya sedikit data yang tersedia dari perusahaan untuk investor,
maka hal tersebut akan meningkatkan ketidakpastian dalam melakukan penilaian. Dengan demikian akan
meningkatkan risiko terhadap estimasi pendapatan dan dividen dari perusahaan tersebut. Selanjutnya akan
menurunkan harga saham dan meningkatkan biaya modal. Dalam konteks berikutnya ia mengatakan, bahwa
perusahaan akan mendapatkan insentif apabila menyediakan atau mengupayakan informasi tentang
perusahaan kepada calon investor. Misalnya, dengan melalui audit yang dilakukan akuntan publik untuk
meyakinkan investor tentang kebakuan informasi yang diberikan perusahaan.50 Pengamatan Beaver tersebut
sama dengan pendapat Richard A. Bierly, yang mengatakan harga suatu saham akan berubah apabila investor
merubah harapannya terhadap harga saham tersebut di kemudian hari.51
Prospektus tersebut sangat berfungsi bagi setiap investor untuk memberikan pengetahuan yang cukup dan
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan untuk membeli suatu saham, maka bentuk
atau isi dan saat penyampaian prospektus tersebut kepada calon investor memerlukan pengaturan yang cukup
dan dapat bermanfaat sebagai salah satu cara melindungi investor dari penjualan yang curang (fraudulent
sales).52
Informasi lainnya yang penting dapat dipahami dari perkembangan peraturan pasar modal di negara
maju, bahwa penegakan hukum prinsip keterbukaan itu harus sejalan dengan yang diinginkan hukum pasar
modal. Juga penegakannya harus sesuai dengan hukum lain di luar hukum pasar modal, yang berkaitan
dengan kegiatan pasar modal yaitu hukum yang mengatur masalah-masalah klausula sosial (social clause),
antara lain mawsalah perlindungan tenaga kerja, perlindungan konsumen dan perlindungan lingkungan hidup
yang berkaitan dengan informasi penting dan relevan bagi perusahaan. Misalnya di Amerika Serikat masalah
klausula perlindungan lingkungan hidup secara tegas diterapkan, dimana perusahaan/emiten harus memuat
masalah klausula perlindungan lingkungan hidup yang dipersyaratkan hukum, walaupun hukum tersebut
47 David L. Ratner dan Thomas Lee Hazen, Securities Regulation Cases and Materials, (ST. Paul, Minn, 1991), hal. 67.
48 Ibid.
49 Edward G. Eisert, “Legal Strategies for Avoiding Class Action Law Suit Against Mutual Funds,” Securities
Regulation Law Journal, (Vol. 24, 1996), hal. 294.
50 William H. Beaver, “The Nature of Mandated Disclosure,” dalam Richard A. Posner dan Kenneth E. Scott, ed,
Economic of Corporation Law and Securities Regulation, (Boston, Toronto: Little Brown & Company, 1980), hal. 316.
51 Richar A. Bierly, dalam Richard A. Posner dan Kenneth E. Scott, ed, Op. cit, hal. 164.
52 David L. Ratner dan Thomas Lee Hazen, Op.cit, hal. 67.
17
bukan hukum pasar modal.53 Misalnya ketentuan mengenai kewajiban dan tanggung jawab perusahaan untuk
melakukan keterbukaannya yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan (disclose environmental).54
Pada mulanya perhatian perlindungan lingkungan hidup tidak dianggap sebagai bagian proses due
diligence dan keterbukaan. Keterbukaan umum telah menjadi bagian dari undang-undang pasar modal untuk
beberapa tahun lamanya, secara khusus lebih memperhatikan risiko-risiko keuangan dan pasar dari pada
potensi pertanggungjawaban perlindungan lingkungan hidup (environmental liabilities).55 Di samping itu,
terdapat pendapat bahwa:
“The dramatic growth of environmental regulation has been one of the important recent developments in
modern law. And of those most affected by this impressive growth, the business community ranks at or near the
top of the list. In fact, this expanding environmental regulatory sphere is now a constant and imposing precence
in the economic, managerial and political lives of many business.56
Sejalan dengan pendapat tersebut, Bob Reid, pada waktu dia bekerja di perusahaan Shell, mengatakan
bahwa tidak ada perusahaan yang memiliki masa depan yang aman, kecuali bila perusahaan tersebut peduli
akan lingkungan hidup.57 Relevan dengan pendapat Reid tersebut Pialang James Capel bahkan menerbitkan
indeks penghijauan.58 Tuntutan pelaksanaan prinsip keterbukaan dalam hubungannya dengan perlindungan
lingkungan hidup ini, mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan dari kerusakan lingkungan hidup, seperti
pencemaran dan kerugian lingkungan (environmental damage and pollution).
Perusahaan yang mencemarkan lingkungan hidup dapat ditutup oleh Pemerintah atau menghadapi
gugatan ganti rugi dari masyarakat yang besar, yang dapat mempengaruhi harga saham. Hal tersebut tentu
merugikan investor. Keadaan demikian membuat posisi prinsip keterbukaan mengenai perlindungan
lingkungan hidup perusahaan berbeda dengan kebiasaan keterbukaan perusahaan untuk bidang lainnya, sebab
bahaya yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan hidup tersebut mempunyai akibat potensil kepada
masyarakat,59 dan perusahaan itu sendiri.
Leo Herzel dan Richard Shepro mengatakan, bahwa dalam satu pandangan mengenai keterbukaan
perlindungan lingkungan hidup (environmental disclosure) adalah lebih penting dibandingkan dengan
keterbukaan tradisional perusahaan. 60 Pentingnya keterbukaan perlindungan lingkungan hidup tersebut
disebabkan masalah lingkungan hidup dapat menimbulkan kerugian lingkungan hidup dan polusi yang secara
langsung membuat masyarakat cacat serta menimbulkan bahaya yang nyata pada fisik seseorang.61
Masalah lingkungan hidup yang menimbulkan bahaya tersebut terbukti dengan banyaknya kematian
manusia dalam “tragedi Bhopal” pada bulan Desember 1984, yang oleh Praful Bidwai mengatakan: “if there
ever was wretchedly undignifed hideously helpless form of mega-death after Hiroshima and Nagasaki, this
it.” 62
Dalam In Re Union Carbide Class Action Securities, 648 F. Supp. 1322 (S.D.N.Y. 1986),63 dapat dilihat
bahwa tragedi Bhopal telah menjadi Securities ftaud class action. Gugatan tersebut timbul dari insiden
industri terburuk di dalam sejarah, yaitu kebocoran gas pada instalasi pabrik Union Carbide India Limited’s
(“UCIL”) di Bhopal, India. Selama hari 2-3 Desember 1984 terjadi kebocoran methyl isocyanate (MIC), yaitu
53 David L. Ratner dan Thomas Lee Hazen, Op.cit. hal. 618.
54 Perry E. Wallace, Op.cit., hal. 1093.
55 Shawn H.T. Denstedt dan Scott R. Miller, Op. cit, 233.
56 Perry E. Wallace, “Disclosure of Environmental Liabilities Under the Securities Laws: The Potential of Securities-
Market-Based Incentives for Pollution Control,” Washington And Lee Law Review, (Vol. 50, 1993), hal. 1093.
57 Thomas Sheriden dan Nigel Kendall, Pengendalian Perusahaan [Corporate Governance], diterjemahkan Anna W.
Bangun, (Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo, 1996), hal. 223-224.
58 Ibid.
59 Riza Vetri Ferman, “Environmental Disclosures And SEC Reporting Requirements,” Delaware Journal of
Corporate Law, (Vol. 17, 1992), hal. 483-484.
60 Leo Herzel & Richard Shepro, “Setting the Boundaries for Disclosure”, dalam Ibid.
61 Ibid.
62 Praful Bidwai, dikutip Russell Mokhiber, Corporate Crime and Violence, (San Francisco: Sierra Clib Book, 1989), hal.
86. Lihat juga. Summer M. Rosen, “Protecting Labour Rights in Market Economics,” Human Rights Quarterly, (Vol. 14,
1992), hal. 14. Martin Abraham, The Lesson of Bhopal a community Action Resource Manual on Hazardous Technologies,
(Penang, Malaysia: International Organization of Consumers Union IOCU, 1985), hal. 5.
63 In Re Union Carbide Class Action Securities, 648 F. Supp. 1322 (S.D.N.Y. 1986).
18
bahan kimia beracuan yang digunakan didalam produksi pestisida yang menyebabkan kematian sedikitnya
2.100 orang dan 20.000 orang cedera berat. 64
Perkembangan yang terjadi sekarang ini, undang-undang pasar modal telah menanggapi keterbukaan dari
kegagalan untuk mengungkapkan informasi yang berhubungan dengan perhatian modern, seperti risiko
lingkungan (environmental risks).65 Peraturan pasar modal di Amerika Serikat, secara tegas menetapkan
bahwa perusahaan atau emiten harus memuat masalah-masalah lingkungan yang dipersyaratkan hukum,
walaupun hukum tersebut bukan hukum pasar modal.66
Jadi terdapat suatu keharusan bagi perusahaan atau emiten untuk mengungkapkan informasi yang
berkaitan dengan masalah-masalah lingkungan hidup tersebut demi kepentingan masyarakat.67
Di Amerika Serikat, kewajiban dan tanggungjawab lingkungan hidup tersebut mulai lahir pada tahun
1970-an.68 Keterbukaan awal dari masalah-masalah lingkungan hidup di Amerika Serikat tersebut adalah satu
hasil dari kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh National Environmental Policy Act (NEPA),69 di mana NEPA70
mempersyaratkan lembaga-lembaga pemerintah dalam praktek pembuatan undang-undang
mempertimbangkan perlindungan lingkungan hidup, termasuk terhadap SEC.71
64 Penggugat mengajukan gugatan dengan menyatakan pelanggaran sections 11 dan 12(2) the 1933 Act, 15 U.S.C.
§§77k, l (1982), section 10(b) ‘34 Act, 15 U.S.C. § 78j(b), (1982) dan Rule 10b-5 yang telah diumumkan oleh SEC lewat
Section 10(b). Selain itu, penggugat mengajukan berdasarkan tuntutan misrepresentation. In Re Union Carbide Class Action
Securities, 648 F. Supp. 1322, 1323 (S.D.N.Y. 1986). Securities fraud class action tersebut yang telah diajukan menyusul
tragedi instalasi pabrik Union Carbide tersebut. Atas mosi tergugat untuk menolak atau menerima risalah keputusan, Hakim
Keenan Pengadilan District, memutuskan bahwa, pertama tidak mungkin ada pemulihan/penggantian kerugian
berdasarkan omissions didalam pernyataan pendaftaran atau prospektus menghilangkan semua pernyataan yang membuat
misleading lewat salah satu omissions, dan kedua, pernyataan didalam laporan tahunan menyangkut “kualifikasi khusus
untuk memenuhi standar lingkungan dan keselamatan kerja yang baku sehubungan dengan bahan kimia pertanian” tidaklah
membuat misleading oleh omissions informasi mengenai methyl isocyanate dan bahayanya serta kurangnya keselamatan di
Bhopal plant. Mosi untuk menolak diberikan. In Re Union Carbide Class Action Securities, 648 F. Supp. 1322, (S.D.N.Y.
1986). Pernyataan didalam laporan tahunan Union Carbide yang menyatakan “persyaratan khusus untuk memenuhi
standar lingkungan dan keselamatan kerja yang baku berkaitan dengan bahan kimia pertanian” tidaklah dipalsukan, dalam
pelanggaran Securities Exchange Act and Rule 10b-5, berdasarkan tragedi susulan di Bhopal, India, akibat kelalaian
menggambarkan pabrik, gudang, risiko dan pegawai yang berhubungan dengan methyl isocyanate, akibat kelalaian
menyampaikan informasi tentang keberadaan kurangnya keselamatan utama yang tidak ditemukan dalam survey
keselamatan kerja di instalasi pabrik Bhopal atau langkah perbaikan terkait yang diambil, atau akibat kelalaian menyebutkan
implikasi finansial tentang kemungkinan kecelakaan akibat methyl isocyanate. ‘34 Act, § 10(b), 15 U.S.C.A, §78j(b). In Re
Union Carbide Class Action Securities, 648 F. Supp. 1322-23, (S.D.N.Y. 1986).
65 Shawn H.T. Denstedt dan Scott R. Miller, Log. cit, 232
66 David L. Ratner dan Thomas Lee Hazen, Op, hal. 93-95.
67 Perry E. Wallace, Op, cit, hal. 1093. Lihat juga. Daniel L. Goelzer, Esq, “Management’s Discussion and Analysis
and Environmental Disclosure,” Preventive Law reporter, (Summer, 1995), hal. 18. Risa Vetri Ferman, “Environmental
Disclosure And SEC Reporting requirements,” Delaware Journal of Corporate Law, (Vol. 17, 1992), hal. 483-485.
68 Perry E. Wallace, Op. cit, hal 1102.
69 National Environmental Policy Act of 1969, Pub. L. No. 91-190, 83 Stat. 852 (1970) (codified as amanded at 42 U.S.C.
Sections 4321-4370d (1988 & Supp. V 1993). NEPA dibuat tahun 1969 “[t]o declare a national policy which will encourage
productive and enjoyable harmony between man and his environment; to promite efforts which will prevent or eliminate
damage to the environment and biosphere and stimulate the health and welfare of man; to enrich the understanding of the
ecological systems and natural resources important to Nation...” John W. Bagby, Paula C. Murray dan Eric T. Andrews,
“How Green Was My Balance Sheet ?: Corporate Liability and Environmental Disclosure.” Virginia Environmental Law
Journal, (Vol. 14:225, 1995), hal. 233-234. Pada tahun 1970, NEPA disetujui sebagai hukum oleh Presiden Nixon, dimana
NEPA disebutkan pertama, hukum lingkungan modern yang pertama, kedua, menciptakan kebijaksanaan nasional yang
luas yang didisain untuk melindungi lingkungan, ketiga, menitikberatkan pada penempatan pengawasan pada “kegiatan
federal yang penting” yang mempengaruhi lingkungan secara “signifikan”. F. James Cumberland, “Building Environmental
Policy at Different Levels: The National Legislature, National Regulatory Agencies, and Local Government,” makalah
disampaikan pada Video Cenference antara University of South Carolina dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas
Indonesia, tanggal 19 Januari 2001, hal. 19.
70 NEPA hanya terdiri dari 3 halaman dan dianggap lebih singkat jika dibandingkan dengan kebanyakan undangundang
lingkungan Amerika Serikat. Dalam Section 101 ditetapkan, bahwa kebijaksanaan nasional yang secara luas
mengutamakan kepentingan lingkungan. Selanjutnya NEPA menciptakan Council on Environmental Quality (CEQ)/Dewan
Mutu Lingkungan. Kim Diana Connoly, “Environmental Impact Statements and Related Environmental Reviews,” makalah
disampaikan pada International Teleconference antara University of South Carolina dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, tanggal 16 Januari 2001, hal. 4.
71 Philip B. Schwartz, “Disclosing Environmental Liability Under Federal Securuties Law,” ALI-ABA Course
Materials Journal, (Vol. 19 No. 2, 1994), hal. 10. Lihat juga. Title I dari mandat NEPA mengenai “national policy for the
enviromental,” yang mewajibkan pemerintah federal untuk: “[co-operate] with state and local government, and other
19
Untuk itu, SEC mengeluarkan release tahun 1971,72 selanjutnya SEC mengganti release tahun 1971
dengan release tahun 1973.73 Dalam release tahun 1973, SEC menyatakan, bahwa adanya perubahan pada
persyaratan keterbukaan masalah-masalah lingkungan hidup adalah untuk membuat keterbukaan lebih
berarti.74 Berdasarkan release tahun 1973 ditentukan:
“[r]eporting companies were required, as a part of the description of reporting company’s business, to make
appropriate disclosure on the material effects that compliance with environmental laws and regulations might
have on the capital expenditures, earnings, and competitive position of the reporting company and its
subsidiaries.”75
Di samping itu, release tahun 1973 menekankan bahwa keterbukaan mengenai dampak-dampak yang
timbul dari undang-undang lingkungan hidup adalah dipersyaratakan bilamana manajemen memiliki “a
reasonable basis to believe that future environmental compliance may have a material effect on the issuer’s
expenditutres.”76
Dengan adanya release tahun 1973, terdapat beberapa kelompok masyarakat yang tertarik melakukan
gugatan terhadap SEC, agar SEC memperluas aturan-aturan keterbukaan lingkungan hidup. Misalnya,
tuntutan yang muncul dalam National Resources Defense Council, Inc. v. SEC, 380 F. Supp 689 (1974),
dimana dalam perkara ini kelompok-kelompok yang menggugat mencoba untuk mengadakan suatu aturan
yang akan mempersyaratkan setiap perusahaan publik yang melaporkan semua dampak dari kegiatan
perusahaannya terhadap lingkungan hidup.77
Dalam kasus National Resources Defense Council, Inc tersebut para penggugat memberikan alasan bahwa
syarat-syarat keterbukaan lingkungan hidup perusahaan yang ada tidak cukup untuk para investor
mendapatkan informasi penting yang dibutuhkan untuk membuat “socially responsible” dan keputusankeputusan
investasi yang secara finansial baik. Para penggugat juga beralasan bahwa syarat-syarat
keterbukaan yang ada tidak cukup menghalangi NEPA untuk menafsirkan undang-undang pasar modal
sampai sepenuh mungkin sesuai dengan kebijakan lingkungan hidup yang diakui NEPA.78
Perkara dalam National Resources Defense Council, Inc, telah menuntun SEC untuk membuat aturan
lebih lanjut mengenai kebijakan-kebijakan keterbukaan lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari
munculnya release tahun 1976, dimana SEC telah menambahkan syarat keterbukaan perusahaan untuk
melaporkan materi apapun dari fasilitas pengawasan yang diperkirakan sebagai pembiayaan modal untuk sisa
tahun fiskal sebelumnya, dan priode-priode berikutnya yang mungkin dapat dianggap materiel.79 Selanjutnya,
pada tahun 1979, SEC mengeluarkan suatu release yang sifatnya menafsirkan, yang menjelaskan syarat-syarat
keterbukaan lingkungan hidup yang ada. 80 Release tahun 1979 adalah suatu usaha SEC untuk
menyebarluaskan kebijakan mengenai keterbukaan lingkungan hidup yang ditujukan pada tiga masalah.
Pertama, kapankah suatu perusahaan dipersyaratkan untuk mengungkapkan pembiayaan lingkungan
hidup yang sudah direncanakan untuk dua tahun fiskal berikutnya, dan jumlah biaya yang sesuai dengan
undang-undang lingkungan hidup?81 Kedua, keterbukaan yang bagaimanakah yang harus dibuat mengenai
concerned piblic and private organizations, to use all practicable means and measures...to foster and promote the general
welfare, to create and maintain conditions under which man and nature can exist in productive harmony, and fulfill the
social, economic, and other requirements of present and future generations of Americans.” John W. Bagby, Paula C. Murray
dan Eric T. Andrews, Op. cit. hal. 228.
72Dalam release 1971 tersebut, SEC menyatakan, bahwa keterbukaan, jika materiel, dipersyaratkan bila memenuhi
undang-undang lingkungan (environmental laws) akan memerlukan pembiayaan modal yang signifikan bagi perusahaan
yang melaporkan, atau menyebabkan perubahan secara materiel atas bisnis yang dilakukan atau bermaksud akan dilakukan.
Disclosures Pertaining to Matters Involving the Environment and Civil Rights, Exchange Act Release No. 9252, 3 Fed. Sec.
L. Rep (CCH) Fragraf 23,507 (July 19, 1971). Ibid.
73 Compliance with Environmental Requirements, Exchange Act Release, No. 10116, 3 Fed. Sec. L. Rep. (CCH)
Fragraf 23,507A (20 April, 1973). Ibid.
74Ibid, hal. 11.
75Ibid.
76 Ibid.
77 Ibid., hal 12. Lihat juga. National Resources Defense Council, Inc. v. SEC, 380 F. Supp 689 (1974).
78 380 F. Supp 689 (1974).
79 Notice of Commission Conclusions and Final Action on the Rulemaking Proposals Announced in Securuties Act
Release No. 5627 Relating to Environmental Disclosure, Exchange Act Release No. 12414 [1975-1976 Transfer Binder] Fed. Sec.
L. Rep. (CCH) Fragraf 80, 495 at 86, 249 n. 14 (14 May 6, 1976), dalam Philip B. Schwartz, Loc. cit, hal. 12.
80 Environmental Disclosure Requirements, Exchange Act Release No. 16224, 3 Fed. Sec. L. Rep. (CCH) Fragraf
23,507B (Sept. 27, 1979), dalam Philip B. Schwartz, Op. cit, hal. 13.
81 Ibid.
20
proses administratif dan menyangkut masalah-masalah lingkungan hidup yang dipikirkan pemerintah dan
apakah hal itu hanya merupakan proses administratif ?82 Ketiga, kapankah suatu perusahaan dipersyaratkan
untuk mengungkapkan kebijakannya mengenai atau melakukan pendekatan terhadap hal-hal yang sesuai
dengan undang-undang lingkungan hidup? 83
Perkembangan terakhir peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan masalah-masalah lingkungan hidup
di pasar modal Amerika tersebut adalah tindakan SEC yang telah mengadopsi sistim keterbukaan secara
komprehensif pada tahun 1982. Di samping itu, SEC telah memodifikasi syarat-syarat untuk keterbukaan
masalah-masalah lingkungan hidup dan menetapkan syarat-syarat keterbukaan saat ini berlaku bagi
perusahaan yang melaporkan.84
Tiga persyaratan berkenaan dengan keterbukaan pertanggungjawaban lingkungan hidup.85 Pertama,
berhubungan dengan penjelasan bisnis perusahaan. 86 Kedua, berhubungan dengan proses hukum
keterbukaan.87 Ketiga, yang menujukan pada Diskusi Manajemen dan Analisis Kondisi Finansial dan Hasilhasil
Operasi (Management’s Discussion and Analysis of Financial Condition and Result of Operations).88
Keterbukaan perlindungan lingkungan hidup oleh perusahaan sebagaimana diuraikan di muka, wajib
disampaikan kepada investor sepanjang masalah-masalah lingkungan hidup tersebut mengandung fakta
materiel. Fakta materiel tersebut secara hukum telah diakui di Amerika Serikat dan secara logika mempunyai
keharusan yang sama seperti diakui di Kanada.89 Gerard Caron memberikan pendapat mengenai masalah fakta
materiel yang dimaksudkan dalam konteks lingkungan hidup berkut ini:
“[M]aterial facts include not only “information disclosing the earnings and distributions of a company but also
those facts which affect the probable future of the company. [they may include actual] legal proceedings...[and]
claim[s] threatened against a corporation...[(if the reasonable investigator is likely to attach importance to the
82 Ibid.
83 Ibid.
84 Ibid, hal. 15.
85 Regulation S-K, 17 C.F.R. pt. 229 (1993), dalam Ibid.
86 Item 101, 17 C.F.R. § 229.100 (1993), Syarat pertama tersebut mempersyaratkan keterbukaan dari: “(1) Dampak
materiel yang sesuai dengan ketetapan-ketetapan federal, negara bagian dan lokal yang diundangkan atau diadopsi
mengatur pembuangan benda-benda ke dalam lingkungan, atau kalau tidak menyangkut perlindungan lingkungan, akan
mempunyai pembiayaan-pembiayaan modal, pendapatan, dan posisi kompetitif dari perusahaan atau anak perusahaan. (2)
Suatu materi diperkirakan akan berdampak pembiayaan modal untuk fasilitas pengawasan lingkungan untuk sisa tahun
fiskal yang sedang berjalan dan tahun fiskal berikutnya serta priode-priode berikutnya karena perusahaan menganggapnya
sebagai materiel. (3) Pokoknya mengadopsi syarat-syarat keterbukaan yang termuat dalam release tahun 1973 dan tahun
1979. (4) ...pertimbangan biaya perbaikan (upgrades). (5) ...melaporkan untuk menjelaskan biaya-biaya dan dampakdampak
atas penyesuaian dengan undang-undang lingkungan (federal, negara bagian dan lokal) terhadap perusahaan.
Dalam Ibid.
87 Item 103, 17 C.F.R. § 229.103 (1993), Syarat kedua tersebut mempersyaratkan keterbukaan suatu penjelasan dari
“setiap materiel yang menunda proses hukum, selain dari jalannya perkara yang rutin dan biasa serta ada hubungannya
dengan bisnis, kepada perusahaannya atau salah satu anak perusahannya sebagai suatu pihak atau yang mana salah satu
hartanya adalah menjadi pokok persoalan.” Dalam Instruction 5 Item 103 secara khusus menuju satu permulaan untuk
keterbukaan proses lingkungan dengan mensyaratkan, bahwa: “Suatu proses administratif atau judisial ...yang muncul
berdasarkan salah satu ketetapan federal, negara bagian dan lokal yang sudah diundangkan atau diadopsi mengatur
pembuangan benda-benda ke dalam lingkungan atau [utamanya] untuk tujuan perlindungan lingkungan tidak harus
dianggap ‘jalannya perkara yang rutin dan biasa serta ada hubungannya dengan bisnis’ dan harus dijelaskan jika: (1) Proses
semacam itu adalah materiel terhadap bisnis atau kondisi finansial si pendaftar; (2) Proses semacam itu menyangkut
utamanya suatu klaim atas kerugian, atau menyangkut sanksi-sanksi moneter yang potensial, pembiayaan modal, ongkosongkos
yang ditangguhkan atau ongkos-ongkos terhadap penghasilan dan jumlah yang tersangkut, pengeluaran bunga dan
biaya melebihi 10 persen dari harta saat ini dari si pendaftar serta anak perusahaannya atas dasar gabungan (konsolidasi);
atau (3) Suatu penguasa adalah satu pihak terhadap proses semacam itu dan proses tersebut menyangkut sanksi-sanksi
moneter yang potensial, kecuali si pendaftar secara masuk akal percaya bahwa proses itu akan berakhir dengan tiadanya
sanksi moneter, atau dalam sanksi moneter, pengeluaran untuk bunga dan biaya, kurang dari $ 100,000; tetapi menetapkan
bahwa proses semacam itu yang sama alamiah dapat dikelompokkan dan dijelaskan secara umum.” Dalam Ibid.
88 Item 303, 17 C.F.R. § 229.303(a), Syarat ketiga keterbukaan masalah-masalah lingkungan tersebut ditujukan pada
emiten yang bisnisnya berskala kecil. Dalam syarat ketiga itu mempersyaratkan perusahaan yang melaporkan untuk
menetapkan analisis-analisis yang berurutan tentang kondisi keuangan mereka dalam operasinya. Walupun dalam Item 303
yang mengatur keterbukaan tersebut tidak secara langsung mempersyaratkan perusahaan yang melaporkan untuk
menyertakan keterbukaan lingkungan. Namun, satu surat interpretatif dari SEC’s Division of Corporation Finance telah
membenarkan bahwa syarat MD&A menyertakan keterbukaan dari pertanggungjawaban lingkungan tergantung, dimana
dalam surat tersebut SEC menyatakan bahwa biaya-biaya pembersihan akan menjadi materiel, harus diungkapkan dan
didiskusikan. Dalam Ibid, hal. 16.
89 Shawn H.T. Denstedt dan Scott R. Miller, Op. cit, hal. 239.
21
particular threat). It may also include a stuation] where a corporation has violated the law, and knows it is
thereby subject to yet unasserted legal claims.” 90
Lebih lanjut Caron mencatat: “disclosure is important because the potensial for corporate liability based
on environmental damage is substansial.”91 Untuk itu, Caron mengutip pendapat pengadilan dalam kasus
Texas Gulf Sulphur, bahwa: “the central goal of the federal securities laws is to ensure that buyers and sellers
of securities will be adequately informed of materiel information affecting the value of the securities
traded.”92
Pentingnya elemen fakta materiel dalam keterbukaan masalah-masalah lingkungan hidup tersebut dapat
dicermati dari pendapat pengadilan dalam Grossman v. Waste Management, Inc, 589 F. Supp 395 (N.D. III.
1984). Dalam Waste Management terdapat dakwaan pelanggaran berkenaan dengan kegagalan untuk
mengungkapkan aspek lingkungan hidup dan perbuatan melanggar hukum dalam pendaftaran di SEC, serta
gagal untuk mengungkapkan pembukaan keuangan yang potensial 93 atau Waste Management tidak
menyampaikan kepada publik fakta yang penting dan potensil berbahaya.94
Para penggugat memprediksi Waste Management menyampaikan pernyataan yang salah tentang
pemenuhan perusahaan pada peraturan lingkungan hidup dan perselisihannya dengan pihak pemerintah.
Para penggugat menyatakan bahwa para tergugat melakukan tindakan yang direncanakan untuk menipu
masyarakat umum berkenaan dengan masalah tersebut. Hal itu, dimulai dengan penerbitan laporan tahunan
Waste Management pada tanggal 31 Maret, 1982. Waste Management juga didakwa membuat prospektus
yang menyesatkan, yang diterbitkan sehubungan dengan rencana merger antara Waste Management and
Chem-Nuclear, Inc. (“Chem-Nuclear”), yaitu merjer yang dilaksanakan pada bulan Oktober 1982. Pada bulan
Maret 1983, pernyataan Waste Management yang salah tersebut diketahui publik. Akibatnya harga saham
Waste Management turun drastis.95
Mengenai gugatan tersebut, Waste Management berpendapat, “that they were not include in their
statements the mere contingency that environmental violations would be disclosured, in investigated, and
sanctioned.” 96 selanjutnya, Waste Mangement memberikan alasan, bahwa gugatan terhadapnya atas
pernyataan yang salah tidak memenuhi Rule 10b-5, paling tidak sampai terdapatnya kesimpulan mengenai
proses masalah lingkungan hidup yang dihadapinya.97 Dalam hal ini pengadilan menggunakan ukuran atau
standar materialitas pada kasus Texas Gulf Sulphur dan pengadilan berpendapat, bahwa karena besarnya dan
luasnya potensi pelanggaran serta bahwa pelanggaran yang aktual terjadi pada banyak tempat sehingga
membuat tuntutan-tuntutan penegakan hukum dimungkinkan, oleh karena itu informasi yang dihilangkan
adalah materiel.98
Pengadilan dalam Waste Management berpendapat, bahwa Waste Management merupakan perusahaan
yang berkaitan dengan proses lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan adalah risiko yang melekat pada
bisnis Waste Management. 99 Selanjutnya, pengadilan berpendapat, pernyataan-pernyataan Waste
Management tersebut tidak cukup mengungkapkan fakta bahwa Waste Management memiliki potensi untuk
didenda dan perusahaan tersebut telah membuang limbah berbahaya secara melanggar hukum.100 Di samping
90 G.A. Caron, “SEC Disclosure Requirements for Contingent Environmental Liability,” dalam Ibid.
91 Ibid.
92 Ibid.
93 Grossman v. Waste Management, Inc, [1983-1984] Transfer Binder] Fed. Sec. L. Rep. (CCH) Fragraf 99.530, at
97.065 (N.D. III. 9 Sept. 1983), dalam Philip B. Schwart, Op. cit, hal 29.
94Tracy Soehle, “SEC Disclosure Requiremenys for Environmental”, Tulane Environmental Law Journal, (Vol. 8, 1995),
hal. 547-548.
95Grossman v. Waste Management, Inc., 589 F.Supp. 395, 399 (1984). Didalam gugatan securities fraud yang
didasarkan pada pernyataan bahwa perusahaan pengolah limbah menyajikan dan menolak informasi secara keliru perihal
pemenehun terhadap peraturan lingkungan dan perselisihan dengan pihak pemerintah, informasi mengenai lokasi
pembuangan limbah tertentu merupakan masalah pengetahuan umum sehingga tersedia untuk “pasar,” walaupun klaim
para penggugat menyatakan bahwa karena sebagian informasi diterbitkan didalam media surat kabar lokal, maka tidak
disediakan untuk atau diketahui oleh pasar, karena saran bertentangan dengan teori utama yang mendasari penipuan para
penggugat terhadap klaim pasar, sehingga harga saham mencerminkan semua informasi yang tersedia secara umum.
Grossman v. Waste Management, Inc., 589 F.Supp. 395, 398 (1984).
96 Grossman v. Waste Management, Inc., [1983-1984] Transfer Binder] Fed. Sec. L. Rep. (CCH) Fragraf 99.530, at
97.065 (N.D. III. 9 Sept. 1983), dalam Philip B. Schwart, Op. cit, hal 29.
97 Ibid.
98 Ibid.
99 Grossman v. Waste Management, Inc., 589 F.Supp. 395, 408 (1984).
100 589 F.Supp. 395, 408 (1984).
22
itu, pengadilan menemukan suatu kewajiban dari Waste Management, dimana Waste Management “had an
affirmative duty to disclose matters relating to pending and contemplated environmental regulatory
proceedings and the effects of environmental regulations upon the company’s finances.”101
Kasus gugatan lainnya yang terbaru berkenaan dengan keterbukaan masalah-masalah lingkungan hidup
adalah kasus Endo v. Albertine, 812 F. Supp 1479 (N.D. III. 1993).102 Dalam kasus Albertine tersebut diajukan
gugatan kepada emiten dan akuntan serta underwriters. Pemegang saham menggugat laporan perusahaan
yang dibuat dalam prospektus. Prospektus tersebut tidak memuat informasi fakta materiel yang berkaitan
dengan tanggungjawab lingkungan hidup. Oleh karena itu, prospektus tersebut dikatakan sebagai suatu yang
salah dan menyesatkan.103
Di samping itu, perlu pelaksanaan prinsip keterbukaan berkenaan dengan perlindungan hak tenaga kerja
yang cukup dan harmonis yang meningkatkan efisiensi kerja emiten, sekaligus peningkatan produktivitas
usaha emiten. Hal ini perlu karena kondisi kesejahteraan tenaga kerja yang memprihatinkan atau tidak
memenuhi standar ketenagakerjaan akan menimbulkan dampak negatif pada emiten, dan akan dapat
menimbulkan keresahan tenaga kerja emiten. Masalah terakhir mengenai keresahan tenaga kerja akan dapat
menurunkan produktivitas usaha emiten, mengingat kalau tenaga kerja resah, mereka akan melakukan
pemogokan, yang oleh peraturan pemogokan tersebur dibenarkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 77104
Undang-undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). 105
III
Peraturan yang Berkenaan dengan
Penyampaian Pernyataan Pendaftaran
Peraturan pelaksanan prinsip keterbukaan belum mengatur secara menyeluruh dan cukup berkenaan
dengan perlindungan lingkungan hidup. Peraturan berkenaan dengan perlindungan lingkungan hidup di pasar
modal masih merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat administratif. Ketentuan Bapepam hanya
menentukan, bahwa pendapat dan laporan pemeriksaan dari segi hukum dalam Pernyataan Pendaftaran
perusahan publik harus memuat pendapat dari konsultan hukum mengenai “semua izin dan persetujuan yang
diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha atau kegiatan yang direncanakan Perusahaan Publik.” 106
Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal menetapkan standar pemeriksaan hukum dan pendapat hukum,
antara lain pendapat dan pemeriksaan hukum berkenaan dengan izin dan persetujuan. Seperti, antara lain
izin-izin usaha, Undang-Undang Gangguan, lokasi, mendirikan bangunan, penggunaan bangunan untuk
pabrik, analisis mengenai dampak lingkungan.
Disadari ketentuan Bapepam di atas tersebut tidak cukup untuk perlindungan lingkungan hidup.
Apabila peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan berkenaan masalah-masalah perlindungan
lingkungan hidup di pasar modal Amerika Serikat tersebut dibandingkan dengan peraturan di pasar modal
Indonesia, maka peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan masalah perlindungan lingkungan hidup di pasar
modal Indonesia belum cukup untuk untuk mengatasi masalah perlidungan lingkungan hidup. Di pasar modal
Indonesia belum ada peraturan mengenai kewajiban dan tanggung jawab perlindungan lingkungan hidup
perusahaan, sebagaimana yang berlaku di pasar modal Amerika Serikat.107
101 589 F.Supp. 395, 412 (1984).
102 Endo v. Albertine, 863 F. Supp. 708 (N.D. III. 1994).
103 Endo v. Albertina, 812 F. Supp 708 (N.D. III. 1994), Dalam Trancy Soehle, Log. cit.
104 Pasal 77 UUK menyatakan, bahwa dalam hal mogok kerja dilakukan dengan alasan pengusaha tidak melaksanakan
ketentuan yang bersifat normatif yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau kesepakatan kerja bersama, pengusaha wajib membayar upah selama pekerja mogok kerja sampai
pengusaha melaksanakan kewajibannya.
105 Undang-undang tentang Ketenagakerjaan, U.U. No. 25, L.N. No. 73 Tahun 1997, T.L.N. No. 3702.
106 Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-49/PM/1996 Tanggal 17 Januari 1996. Peraturan Nomor IX.B.1 tentang
Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Perusahaan Publik.
107 Peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan masalah-masalah lingkungan tersebut dapat dipahami dari
ketentuannya yang hanya berbentuk kewajiban bagi emiten untuk memenuhi ketentuan perijinan perusahaan dalam hal
yang berhubungan dengan lingkungan. Ketentuan tersebut dapat dilihat dari ijin-ijin yang harus dilengkapi oleh setiap
perusahaan pada saat melakukan pernyataan pendaftaran dalam rangka go publik melalui pasar modal di Baperpam. Ijinijin
tersebut merupakan bagian proses pemeriksaan secara menyeluruh mengenai masalah hukum (“legal due diligence”-
“legal audit”), yang dilakukan konsultan hukum berdasarkan standar pemeriksaan hukum dan pendapat hukum yang
23
Seharusnya peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan masalah perlindungan lingkungan hidup di pasar
modal Indonesia, dapat sejajar dengan peraturan yang berlaku di pasar modal Amerika Serikat tersebut. Oleh
karena, di Indonesia juga terdapat Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (“UULH 1997”) 108 yang dapat dipakai sebagai dasar pelaksanaan prinsip keterbukaan masalah
perlindungan lingkungan hidup di pasar modal. UULH 1997 dapat difungsikan seperti fungsi NEPA di Amerika
Serikat, yang telah berhasil mensyaratkan lembaga-lembaga pemerintah dalam praktek pembuatan undangundang
untuk mempertimbangkan perlindungan lingkungan hidup, yang pada akhirnya SEC telah membuat
ketentuan persyaratan keterbukaan masalah perlindungan lingkungan hidup bagi emiten. UULH 1997 telah
menetapkan, bahwa pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan secara terpadu oleh instansi pemerintah.109
Berarti berdasarkan UULH 1997 Bapepam dapat secara hukum mensyaratkan keterbukaan masalah
perlindungan lingkungan hidup bagi emiten secara tegas dan menyeluruh.
Penekanan fungsi Bapepam dalam pelaksanaan keterbukaan masalah-masalah lingkungan tersebut perlu
lebih ditingkatkan, sebagaimana upaya SEC di Amerika Serikat yang telah membuat peraturan pelaksanaan
prinsip keterbukaan masalah-masalah lingkungan di pasar modalnya secara tegas dan terperinci serta
menyeluruh.
Upaya Bapepam untuk meningkatkan pelaksanaan prinsip keterbukaan berkenaan dengan masalah
perlindungan lingkungan hidup dapat dimulai dari amanat Pasal 6 UULH 1997, yang menentukan kewajiban
memelihara kelestarian fungsi lingkungan dan menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan serta
kewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.110
Amanat UULH 1997 tersebut merupakan upaya menjaga hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta hak atas informasi lingkungan hidup dan hak untuk berperan dalam rangka
dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UULH 1997.111 Pasal 43 ayat
(2) UULH 1997 mengatur sanksi bagi siapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau
menghilangkan atau merusak informasi yang diperlukan.112
Menurut Koesnadi Hardjasoemantri masalah berkenaan dengan pemberian informasi kepada masyarakat
terdiri dari, pemastian penerimaan informasi, informasi tepat waktu (timely information), informasi lengkap
(comprehensive information), informasi yang dipahami (comprehensible information), dan informasi lintas
batas (transfrontier information). 113
Berdasarkan ketentuan bahwa setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup dan
kewajiban bagi setiap orang memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan
hidup tersebut, maka perusahaan publik atau emiten harus melaksanakan keterbukaan masalah perlindungan
ditetapkan oleh Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal. Seperti ijin Undang-undang Gangguan, ijin lokasi, ijin untuk pabrik,
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), dan ijin pengolahan limbah.
108 Pasal 6 ayat (1) UULH 1997 (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, L.N.
Tahun 1997 Nomor 68, T.L.N. Nomor 3699) mengatur mengenai kewajiban bagi setiap orang untuk memelihara kelestarian
fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan hidup.” Sebelum Undang-undang
lingkungan tersebut lahir, telah ditegaskan oleh Undang-undang Lingkungan yang berlaku sebelumnya melalui Pasal 8
UULH 1982 (Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
L.N. Tahun 1982, Nomor 12, T.L. N. Nomor 3215).
109 Pasal 9 ayat (2) UULH 1997 yang menetapkan, bahwa “pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara
terpadu oleh instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, seerta pelaku
pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan petrencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan
lingkungan.”
110 Pasal 6 UULH 1997 menyatakan bahwa : (1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup, (2) Setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan
hidup.
111 Pasal 5 UULH 1997 menyatakan bahwa : (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat, (2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam
pengelolaan lingkungan hidup, (3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan
hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
112 Pasal 43 ayat (2) UULH 1997 menetukan bahwa, “Diancam dengan pidana...barang siapa dengan sengaja
memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam
kaitannya dengan perbuatan...padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang
lain.”
113 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi Ketujuh, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1999), hal. 100-102.
24
lingkungan hidup. Sekaligus perusahaan publik atau emiten tidak boleh melakukan misrepresentation atau
omission dan menyesatkan investor berkaitan dengan keterbukaan masalah perlindungan lingkungan hidup.
Kasus Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (“Walhi”) melawan PT. Inti Indorayon Utama (“IIU”), yang
sekarang berganti nama dengan PT. Toba Pulp Lestari, 114 menunjukkan perlunya pelaksanaan prinsip
keterbukaan berkenaan dengan perlindungan lingkungan hidup. Walhi sebagai penggugat, pada tanggal 30
Desember 1988 menggugat IIU, dengan gugatan IIU telah menimbulkan kerusakan-kerusakan lingkungan di
wilayah Sumatera Utara. Dalam kasus IIU tersebut Pengadilan Jakarta Pusat berpendapat, bahwa Walhi dalam
kasus IIU tersebut dapat bertindak sebagai penggugat untuk melindungi kepentingan setiap orang dalam
pengelolaan lingkungan hidup yang ketentuan pokoknya Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 (UULH
1982).115 Sebagaimana diketahui ketentuan Pasal 5 UULH 1982 tersebut sama dengan ketentuan Pasal 5 UULH
1997.
Pada intinya gugatan Walhi atas IIU, yang go public melalui pasar modal dan listing di NYSE Wall Street
sejak tahun 1995, mempunyai bidang usaha pabrik bubur kertas (pulp) dan rayon di desa
Sosorladang/Silosung kecamatan Porsea, Tapanuli Utara Sumatra Utara, yang didasarkan pada Undangundang
Nomor 2 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Lingkungan Hidup, dilakukan melalui
gugatan legal standing. 116
Putusan Pengadilan Jakarta Pusat atas gugatan Walhi yang mewakili masyarakat yang merasa dirugikan
oleh IIU, yang oleh Majelis Hakim mengakui, bahwa Walhi sebagai wakil masyarakat yang merasa dirugikan
tersebut, telah memberikan doktrin hukum yang menjelaskan bahwa di luar perseorangan atau lembaga yang
berperan dalam usaha pengembangan lingkungan hidup dapat melakukan gugatan berdasarkan hak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Tujuh tahun setelah gugatan legal standing WALHI atas IIU ini, tepatnya pada 1994 WALHI
bersama tigabelas LSM lainnya menuntut pemerintah, agar menutup IIU disebabkan kolam penampung
limbahnya bocor menyusul meledaknya pipa gas klorin.117 Selanjutnya pada tahun 1988 unjuk rasa masyarakat
berlansung beberapa kali menuntut IIU ditutup.118 Tanggal 25 Januari 1988 anggota DPRD Sumatera Utara
minta IIU ditutup atau tidak melakukan operasi sebelum IIU diaudit.119 Di samping itu, Dirjen Industri Logam
dan Kimia Departemen Perindustrian dan Perdagangan menyatakan bahwa IIU harus diaudit kembali.120
Akhirnya bulan Juli 1988 pemerintah melalui Menteri Negara Lingkungan Hidup menghentikan operasi
IIU.121 Audit lingkungan tersebut diatur dalam Pasal 28 UULH 1997.122 Bagi kebaikan perusahaan, audit
114 Kompas, 10 April 2001, hal. 10.
115 Putusan Pengadilan Jakarta Pusat Daftar No. 820/PDT.G/1988 PN. JKT. PST dalam kasus Walhi melawan BKPM
Pusat, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Menteri Perindustrian, Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan PT. IIU.
116 Batasan legal standing ini dapat dilihat dari pengertian standing to sue doctrine adalah suatu pihak yang siap
mempertaruhkan dalam memperdebatkan keadilan yang layak dan sebaliknya ditujukan untuk menghasilkan resolusi
peradilan dari perdebatan tersebut. Sierra Club v. Morton , 405 U.S. 727, 92 S.Ct. 1361, 1364, 31 L.Ed. 2d 636. Henry
Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (ST.Paul, Minn: West Publishing Co, 1990), hal. 1405.
117 Kompas, 7 Maret 1999, hal. 7.
118 Ibid.
119 Kompas, 26 Januari 1999, hal. 8
120 Apabila hasil audit lingkungan IIU misalnya terbukti membuat pencemaran lingkungan, maka yang rugi bukan
saja investor atau pemegang saham saja, tetapi seluruh stockholders perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari produksi pabrik
perhari rata-rata 650 ton pulp dan 180 ton rayon selama IIU beroperasi, akan menjadi hilang selama IIU ditutup sampai
masalah tanggungjawab hukumnya selesai. Masalah ini menjadi bukti, bahwa emiten atau perusahaan yang tidak mendisclose
fakta materiel secara penuh dan fair, disamping menimbulkan kerugian bagi investor atau pemegang saham, juga
mengakibatkan timbulnya kerugian di pihak emiten atau perusahaan. Berarti penegakan prinsip keterbukaan tidak hanya
berfungsi melindungi investor atau pemegang saham, tetapi juga melindungi emiten dan perusahaan. Terlepas dari hasil
audit yang akan dilakukan terhadap kasus IIU ini, Nabiel Makarim yang ikut mewakili penyusunan standar lin gkungan
dalam rangka berdirinya IIU, menyebutkan IIU melakukan penanganan soal lingkungan dengan setengah-setengah.
Pencemaran sungai Asahan akibat limbah cair pabrik, baru diselesaikan enam tahun setelah perusahaan berdiri, lingkungan
sungai sudah terlanjur rusak. Berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri Negara
Riset dan Teknologi menentukan persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi IIU, yaitu pemantauan limbah (padat, cair,
gas) yang diohasilkan, kewajiban menyusun RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan), dan RPL (Rencana Pemantauan
Lingkungan), volume pemanfaatan air sungai Asahan, eksploitasi bahan baku, pengamatan tebing sungai, sampai
pemukiman dan pendidikan karyawan. Pelaksanaan di lapangan diawasi Bapedal bersama Departemen Perindustrian dan
BPKPM. Ibid. Lihat juga. Kompas, 7 Maret 1999, hal. 7.
121 Adil, No. 4 Tahun Ke-67, 28 Oktober-3 November 1988.
122 Pasal 28 UULH 1997 menyatakan, bahwa “dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah
mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup.”
25
lingkungan itu tepat untuk dilakukan, oleh karena perusahaan yang membuat audit lingkungan mempunyai
nilai tambah apabila dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membuatnya.123
Dalam kasus lingkungan lainnya, Walhi telah mengajukan gugatan terhadap PT. Freeport Indonesia
(“Freeport”) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang pembacaan gugatannya dilakukan 22 Agustus 2000.
Freeport digugat berkaitan dengan informasi pengelolaan lingkungan hidup yang menyesatkan.124
Gugatan-gugatan yang berkaitan dengan tanggung jawab lingkungan seharusnya tidak terjadi, mengingat
harga saham perusahaan dalam suatu pasar yang berkembang merefleksikan internalisasi biaya kerusakan
lingkungan pada masyarakat, yang disebabkan oleh perusahaan pada waktu produksi dan dalam rangka
mengejar keuntungan.125
Gugatan yang muncul dalam masalah perlindungan lingkungan hidup, masalahnya berpusat pada
tuntutan terhadap pelanggaran peraturan lingkungan hidup yang berkaitan dengan perijinan dalam rangka
pelaksanaan prinsip keterbukaan. Namun, jika dipahami lebih jauh, maka terdapat pendekatan ekonomi untuk
mengatasi masalah perlindungan lingkungan hidup. 126 Pendekatan ekonomi tersebut dilakukan dengan
metode insentif dan disinsentif untuk memberikan kemudahan kepada para pengusaha dalam usahanya
melestarikan lingkungan hidup.127
Penggunaan insentif ekonomi secara selektif mampu menghasilkan suatu tingkatan perlindungan
lingkungan hidup dengan biaya keseluruhan yang lebih rendah dari biaya masyarakat. Prinsip sentralnya
adalah masing-masing produsen dan konsumen sebelum bertindak harus mempertimbangkan keseluruhan
biaya sosial dan akibatnya. Mekanisme kebijaksanaan perlindungan lingkungan hidup berdasarkan pasar,
123 Koesnadi Hardjasoemantri, Op. cit, hal. 352.
124 Menurut Walhi, Freeport telah melakukan penyesatan informasi dengan cara:
1. Dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000, PTFI, menyebutkan” “Sistem tanda bahaya yang telah dipasang bekerja
dengan baik, dan telah menyiagakan seluruh masyarakat di Desa Banti untuk menjauhi sungai dan ... banjir di Banti (16 Km,
dari Wanagon) yang tidak memakan korban jiwa karena alarm peringatan dini dibunyikan pada waktunya.” Keterangan itu
adalah bertentangan dengan informasi yang diterima WALHI dari masyarakat Banti. Masyarakat Banti mengetahui
datangnya banjir dan lumpur justru dari bunyi gemuruh air.
2. Pernyataan yang disampaikan kepada tergugat dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000, sebagaimana tersebut dalam
yaitu, “Perlu dicatat bahwa curah hujan yang terjadi beberapa hari sebelum kejadian, berkisar pada 40 mm per hari. Curah
hujan tersebut adalah empat sampai lima kali dari keadaan normal, yang secara rata-rata berkisar 8 mm sehari.” Secara
sengaja memberi kesan bahwa peristiwa longsornya batuan limbah di Danau Wanagon terjadi karena kondisi alam.
3. Pernyataan FIC dalam siaran persnya tanggal 24 Mei 2000, yaitu ... “Tidak ditemukan adanya ancaman terhadap
kesehatan jiwa serta kemungkinan dampak lingkungan jangka panjang yang mungkin terjadi dari kejadian itu” adalah
dengan sengaja membohongi publik di mana hal ini bertentangan dengan hasil laporanBapedal seperti tersebut dalam siaran
persnya tanggal 17 Mei 2000, yaitu, “Longsoran tersebut dapat menyebabkan meluapnya material bahah Danau Wanagon”
dimana suldge yang dimaksud merupakan bahan beracun dan berbahaya (B3), sebagaimana disebutkan Bapedal dalam
suaran persnya tersebut yaitu, “Mengingat suldge yang ada di dalam Danau wanagon dikategorikan sebagai limbah B3 ... .”
4. Pernyataan FIC lebih lanjut secara sengaja telah memberi kesan bahwa longsornya tumpukan batuan limbah
adalah kondisi alam dan dengan demikian menutupi buruknya pengelolaan lingkungan dan kelalaian FIC sebagaimana
tersebut dalam laporan hasil investigasi Bapedal pada peristiwa longsornya tumpukan batuan limbah pada bulan Juni 1988,
yang menyatakan bahwa, “Di samping itu kejadian tanggal 22 Juni 1988 disebabkan kesalahan prosedur berupa aktivitas
dumping yang berlebihan sehari sebelumnya,” dan juga pernyataan konsultan Call and Nicholas Inc., yang menyatakan
bahwa “ ... The fact that displacement occurred associated with large dumping rates is sufficient.”
5. Kesalahan prosedur di atas juga diperkuat oleh konsultan FIC yakni Call dan Nicholas, Inc., yang menyatakan
bahwa, “On the 12, 18, and 19 June the tonnage dumped on the south end of the Wanagon OBS was in the range of 80,000
tons per day.” Di mana batas jumlah pembuangan batuan limah adalah tidak melebihi 50,000 ton per hari sebagaimana
disebutkan oleh konsultan CNI. “Most of the displacement can be correlated to the time periods when the dumping tonnage
was greater than 50,000 tpd.” (http://www.mpi.org. au/indon/freeford_walhi2.html).
125 Perry E. Wallacy, Op, cit, hal. 1132.
126 Dari sudut pandang ekonomi, pungutan merupakan instrumen pengendalian pencemaran yang paling efektif, karena
pungutan merupakan insentif permanen, guna mengurangi pencemaran dan menekan biaya penanggulangannya. Pungutan
pencemaran ini tidak dapat diterima oleh para pendukung pengendalian langsung, yang menganggap pungutan tersebut
sama dengan membeli hak untuk mencemarkan (the right to pollute). Argumentasi ini disanggah dengan adanya kenyataan,
bahwa pungutan pencemaran yang diperhitungkan secara tepat dapat mendorong para pencemar untuk mengurangi emisi,
karena dengan jalan ini penanggulangan limbah akan lebih murah daripada mencemarkan dan kemudian membayar
tuntutan ganti kerugian akibat pencemaran. Koesnadi Hardjasoemantri, Op. cit, hal. 354.
127 Ibid, hal. 353
26
dengan beberapa cara tertentu dapat membuat produsen dan konsumen untuk menyadari biaya sosial dan
konsekuensinya, sehingga mereka memberikan insentif untuk perlindungan lingkungan hidup.128
Oleh karena itu, pelaksanaan keterbukaan di pasar modal dengan penerapan insentif ekonomi sangat
perlu, sebab berkaitan dengan nilai saham perusahaan yang menerapkannya. Charles A. Schultze sebagaimana
dikutip Perry E. Wallace mengatakan:
“Faced with these taxes or “effluent charge” [in the form of reduced value of its securities, or non-disclosure
penalties], each firm [may] find it in its own interest to reduce pollution by an amount related to the cost of
[pollution] reduction, and through the use of the least-cost means of doing so. It would compare the cost of
payning the effluent charge with the cost of cleaning up pollution, and would choose to remove pollution up to
the point where the additional cost of removal was greater than the effluent charge.” 129
Lebih lanjut, Wallace menguraikan:
“Similarly, in the securities setting, the market mechanism would discount the price of a security--a “financial
product” --by some figure representing a theretofore undisclosed liability or obligation. That liability or
obligation, of course, will have been deemed properly includable as a “cost of doing business.” Therefore, when
the company discloses that that cost, and thereby introduces the information to an efficient capital market, it
provides more complete information to be used in pricing the security in accordance with the complete and
actual financial condition and prospects of the company.” 130
Dengan demikian pelaksanaan keterbukaan yang dilakukan secara penuh, termasuk di dalamnya
mengenai informasi penerapan insentif ekonomi, akan membuat posisi investor lebih baik dalam memutuskan
pembelian atau penjualan saham. Hal ini sejalan dengan uraian Wallace mengenai keterkaitan keterbukaan
dengan insentif ekonomi, yang menyatakan:
“The overal effect here is a beneficial one: Investors are not defrauded by being induced to purchase securities
priced at a higher value than would be assigned under circumstances of full environmental disclosure. Those
investors are also on a better position to make an information decision regarding whether to buy the securities
(or hold, as the case may be). And, finally, the reductions in the value of securities as a result of these market
dynamics may be so substantial that they create the larger, ultimate effect discussed in this article: an economic
disincentive to the issuers of those securities to continue methods of production that generate large
environmental liabilities. Correspondingly, as to environmental obligations, such as legal requirements to
acquare and maintain certain pollution control technology, the issuer may have an incentive to acquire to
acquare--or develop--the most economical version of that obligation.” 131
Akhir-akhir ini di Amerika Serikat pendekatan insentif ekonomi untuk menjaga kualitas lingkungan
hidup telah bergerak menjadi pembicaraan di tingkat pemerintah Pusat. Pada tahun 1991 studi mengenai
kebijakan publik (public policy) yang digerakkan oleh anggota Senat Amerika Serikat, yaitu Senator Timothy
Wirt dan John Heinz yang menyatakan:
“Over the past two years, we have witneseed dramatic changes in the political landscape of environmental
policy. Legislators, bureacrats, environmentalist, business persons, and citizens of all kinds have come to
recognize that market-based instruments belong in our porfolio of environmental and natural resource policies.”
132
Berbeda dengan kebijakan pendekatan insentif ekonomi untuk menjaga kualitas lingkungan hidup di
Indonesia. Apabila di Amerika Serikat terjadi perubahan dramatis tentang kebijakan insentif ekonomi tersebut
karena disadari sangat penting oleh berbagai pihak, seperti para pembuat undang-undang, para birokrat, para
pencinta lingkungan, para pelaku bisnis, dan semua warga negara, maka yang terjadi di Indonesia sekarang ini
justru sebaliknya. Para pembuat undang-undang dan birokrat di Indonesia tidak memberikan perhatian yang
sewajarnya terhadap pengaturan insentif ekonomi, malahan menjadi set-back. UULH 1982 yang digantikan
UULH 1997 telah menyatakan secara khusus dalam Pasal 8 tentang insentif ekonomi untuk menjaga kualitas
lingkungan.133 Sedangkan UULH 1997 hanya menyatakannya insentif ekonomi tersebut dalam Penjelasan, dan
128 Perry E. Wallace, “Disclosure of Environmental Liabilities Under The Securities Law : The Potential of Securities
Market – Based Inentives for Pollution Controll,” Washington and Law Review, (Vol. 50 : 1093, 1993), hal. 1124.
129 Ibid, hal. 1127.
130 Ibid.
131 Ibid, hal. 1131.
132 Ibid, hal. 1124.
133 Pasal 8 ayat 1 UULH 1982 menyatakan, bahwa “Pemerintah menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan
yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang
berkesinambungan.”
27
pernyataan tersebut kurang cukup untuk atau tidak tuntas dalam upaya penerapan ketentuan insentif
ekonomi, yang hanya menyatakan dengan kata “instrumen ekonomi”.134
Namun, tidak masuknya pernyataan insentif ekonomi dalam UULH 1997, bukan berarti ketentuan insentif
ekonomi tidak mengikat lagi. Insentif ekonomi harus tetap diperhatikan, walaupun hanya dinyatakan dalam
penjelasan UULH 1997. Bagi aparat penegak hukum, termasuk Bapepam harus menetapkan atau menafsirkan,
bahwa yang dimaksud instrumen ekonomi dalam penjelasan UULH 1997 adalah insentif ekonomi
sebagaimana terdapat dalam konsep Pasal 8 UULH 1982.
Peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan di pasar modal Amerika Serikat, yang di dalamnya termasuk
ketentuan untuk menjaga kualitas lingkungan hidup, perlu dicermati untuk dipikirkan pemberlakuannya di
pasar modal Indonesia. Sebab pada waktu sekarang ini di Amerika Serikat melalui penekanan SEC tentang
keterbukaan perlindungan lingkungan hidup telah menghasilkan insentif baik untuk perlindungan lingkungan
maupun integritas pasar modal.135
Dasar dari penomena tersebut adalah persyaratan-persyaratan transmisi dari informasi-informasi penting
mengenai masalah perlindungan lingkungan hidup kepada pemegang saham dan kepada pasar perusahaanperusahaan
publik. Apabila terdapat informasi yang jelek berkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab
perlindungan lingkungan hidup, maka akan mengakibatkan harga pasar dari perusahaan-perusahaan tersebut
bergerak ke bawah. Dengan ini suatu perusahaan dapat memiliki insentif untuk mengelola masalah
perlindungan lingkungan hidup secara efisien. Tujuannya adalah untuk melindungi nilai harga saham sesuai
dengan harga yang ditentukan oleh pasar.136
Dengan demikian peraturan perlindungan lingkungan hidup yang berlaku di luar peraturan pasar modal
harus diterapkan secara bersama-sama dengan peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan di pasar modal
Indonesia. Untuk itu, peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan harus diperbaiki dengan memformulasikan
ketentuan-ketentuan berkenaan dengan perlindungan lingkungan hidup. Pertama, membuat ketentuan yang
mensyaratkan penjelasan bisnis perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan hidup. Untuk ketentuan
tersebut dapat mengadopsi syarat-syarat prinsip keterbukaan berkenaan perlindungan lingkungan hidup di
pasar modal Amerika Serikat. Kedua, membuat ketentuan yang mewajibkan keterbukaan bagi perusahaan
yang mempunyai masalah lingkungan hidup yang mengandung fakta materiel. Ketiga, membuat ketentuan
yang mewajibkan emiten untuk melaporkan dalam prospektus mengenai informasi fakta materiel yang
berkaitan dengan tanggung jawab perlindungan lingkungan hidup. Keempat, membuat ketentuan penerapan
pendekatan ekonomi untuk mengatasi bahaya yang ditimbulkan kerusakan lingkungan hidup dengan
mensejajarkan pengaturannya sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang Lingkungan hidup. Kelima,
membuat ketentuan yang melarang emiten atau perusahaan publik melakukan pernyataan yang menyesatkan
berkaitan dengan keterbukaan masalah lingkungan hidup.
Privatisasi BUMN Dalam Perspektif Hukum Indonesia
Topik privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetap menjadi perhatian sangat serius bagi
masyarakat. Pada umumnya perhatiannya bermuara pada pilihan mana yang diutamakan dalam Perusahaan
Negara atau BUMN, apakah mempertahankan kepemilikan pemerintah atau melakukan privatisasi atau
mengalihkannya pada kepemilikan swasta.
Sering didengar bahwa salah satu pembenaran dilakukannya privatisasi adalah untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas BUMN dan pembenaran itu selalu dikaitkan pula dengan persaingan global.
Pengalaman di negara berkembang pemerintah mempunyai dominasi yang besar terhadap perusahaan
milik pemerintah. Hal ini yang mendorong isu pengalihan kepemilikan dari pemerintah kepada swasta.
134 Penjelasan Pasal 10 huruf e menyatakan, “Dalam ketentuan ini dimaksud dengan perangkat yang bersifat preemtif
adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan, seperti tata ruang dan analisa
dampak lingkungan hidup. Adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penataan baku mutu limbah
dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi lingkungan
hidup, seperti ISO 14000. Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat preemtif, preventif dan proaktif misalnya
adalah pengembangan dan penerapan teknologi akrab lingkungan hidup, penerapan asuransi lingkungan hidup dan audit
lingkungan hidup yang dilakukan secara sukarela oleh penangung jawab usaha dan/atau kegiatan guna meningkatkan
kinerja.”
135 Perry E. Wallacy, Op, cit, hal. 1131-1132.
136 Ibid., hal. 1131-1132.
28
Secara teoritis terdapat dua pertanyaan mendasar berkenaan dengan masalah kepemilikan perusahaan.
Pertama, bentuk kepemilikan yang bagaimana yang secara efektif dapat meningkatkan kesejahteraan sosial
(social welfare) dan efisiensi. Kedua, mengapa pemerintah berkenan melepaskan kepemilikannya, padahal
dengan mempertahankan kepemilikannya pada perusahaan mereka akan mendapatkan dukungan politik.137
Berdasarkan riset secara empiris138 dapat digambarkan bahwa perusahaan swasta seringkali beroperasi
lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan negara. Pengalaman dibanyak negara terbukti bahwa
kepemilikan swasta merupakan pilihan terbaik. Di sektor perbankan kepemilikan pemerintah menunjukkan
kaitan yang erat dengan lambannya perkembangan sektor keuangan serta pertumbuhan produktivitas yang
rendah.139
Studi yang dilakukan George Clarke dan Robert Cull memberikan pemahaman bahwa setelah privatisasi
itu tergambar pula terjadinya peningkatan dalam portfolio pinjaman dan peningkatan efisiensi. Kenyataan
yang sama juga terjadi pada privatisasi di negara berkembang, meski tidak di seluruh negara berkembang.
Pertanyaan kedua yang paling sulit dijawab, oleh karena sangat sedikit data empiris yang dapat digunakan
untuk menjawabnya. 140 Jawaban praktis yang dapat diajukan adalah pemerintah akan menjual
kepemilikannya pada suatu perusahaan apabila biaya politik dengan tetap memelihara kepemilikan tersebut
lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemilikan swasta lebih mendorong terjadinya efisiensi.
Untuk itu perlu diambil langkah-langkah kebijakan agar terjadi proses privatisasi. Secara konsep privatisasi
dapat terjadi atas kemauan politik (paksaan) maupun secara sukarela. Untuk mendorong terjadinya privatisasi
secara sukarela dibutuhkan adanya serangkaian regulasi yang dapat meningkatkan biaya politik memiliki
perusahaan.
Privatisasi di Indonesia haruslah diartikan sebagai upaya untuk menghilangkan konsentrasi kepemilikan.
Baik konsentrasi kepemilikan oleh pemerintah maupun konsentrasi kepemilikan oleh swasta.141
Di sektor perbankan alasannya adalah untuk memperkuat sistem perbankan dengan cara membuat
ketentuan pembatasan kepemilikan bank. Hal ini perlu mengingat perbankan di Indonesia pernah mengalami
kehancuran disebabkan ketidakpercayaan masyarakat, dimana ketidakpercayaan itu telah pula membuat
kegagalan pasar. Oleh karena industri perbankan pernah dijadikan sebagai bahan eksploitasi pemiliknya.
Pada masa lalu perubahan regulasi atas sistem dan struktur perbankan atas dorongan liberalisasi
perbankan telah memfasilitasi pertumbuhan perbankan yang cepat, sehingga memberi peluang untuk
masuknya individu yang tidak bermutu ke dalam bisnis perbankan.
Sistem dan struktur perbankan yang demikian itu mengakibatkan dimungkinkan terjadinya kepemilikan
silang (interlocking ownership) dan lending pattern serta dimilikinya satu bank secara mayoritas.142 Pemilikan
demikian sangat rawan terhadap kegagalan pasar disebabkan moral hazard, adverse selection dan harga
oligopolistic. Sebab kondisi pemilikan mayoritas itu memudahkan pengambilan risiko berlebihan pada
perbankan.
Konsentrasi kepemilikan dimungkinkan pula timbulnya campur tangan pemilik secara berlebihan dalam
kepengurusan bank. Hal ini antara lain menyebabkan fungsi pengawasan internal sebagai first line of defense
menjadi kurang berfungsi. Sebab pada umumnya pemilik itu sekaligus menjadi komisaris. Akibatnya komisaris
sebagai pengawas bisa tidak efektif. Padahal komisaris memiliki peran strategis dalam pengawasan jalannya
bank tersebut.
137 George R.G. Clarke dan Robert Cull, Political and Economics Determinants of The Likelihood of Privatizing
Argentina Public Bank, Jurnal of Law and economics, (Vol. XLV, April 2002), The University of Chicago, hal. 166
138 Data empiris tersebut diuraikan oleh Clarke dan Cull yang mengaitkannya dengan data “Lending to the Public Sector
and Change in Employment (Third Quarter, 1998)”, “Independent Variables Included in the Estimation”, “Correlations
Between Independent Variables”, “Result from Discrete Hazard Model Estimation of Time to Pass Law Authorizing
Privatization, Probit Model”, “Result from Discrete Hazard Model Estimation of Time to Pass Law Authorizing
Privatization with Endogenous Fiscal Variables, All Banks”, “Elasticities of Probability of Privatization with Respect to
Continuous Variables”, “ Results from Cross-Sectional Tobit Estimation of Time to Pass Law Authorizing Privatization,
Tobit Model”, dan “Results from Two-Period Probit and Ordinary Least Squares (OLS) Analysis.” George R.G. Clarke dan
Robert Cull, Op.Cit., hal. 173-193
139 Ibid, hal 166
140 Ibid, hal. 167
141 Bandingkan, George R.G. Clarke dan Robert Cull, Op. Cit, hal. 167-168
142 Lihat. Zulkarnain Sitompul, “Pembatasan Kepemilikan Bank : Gagasan Untuk Memperkuat Sistem Perbankan,”
Jurnal Hukum Bisnis, (Volume 22, No. 6, Tahun 2003), hal. 36.
29
Kondisi konsentrasi kepemilikan itu dapat pula menimbulkan terjadinya cross-ownership atau crossmanagement
yang bisa menimbulkan benturan kepentingan, dimana benturan kepentingan terjadi sebagai
akibat adanya cross-ownership atau cross-management antara bank dengan usaha lain baik di sektor finansial
maupun sektor riil. Selanjutnya, keadaan tersebut membuka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan bank
untuk mendukung kepentingan usaha pribadi pemilik.
Dengan demikian perlu perangkat peraturan pembatasan tentang pemilikan bank yang diatur dalam
Undang-Undang Perbankan. Dalam peraturan itu harus ditentukan secara jelas jumlah maksimal kepemilikan
saham dalam satu bank143 dan sanksi atas pelanggarannya.144 Pemikiran mengenai privatisasi di atas, dapat
dibuat sebagai gagasan pemikiran bila nanti kita membuat Undang-Undang Privatisasi. Namun, perlu pula
Undang-Undang Privatisasi nanti memuat aturan tentang keterbukaan sebagaimana diatur dalam ketentuan
prinsip keterbukaan di pasar modal dan mengatur secara detail proses privatisasi.
Agar jalannya privatisasi BUMN lebih fair, perlu dipikirkan apakah kita memerlukan satu Komisi
Privatisasi yang bersifat independen yang anggota terdiri dari orang-orang di luar pemerintah, yang bertugas
menjual BUMN, sebagaimana pernah diterapkan Perancis dalam pelaksanaan privatisasi. Memang, Komite
Privatisasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara,
tetapi terlihat Komite itu belum bersifat independen, karena anggotanya terdiri dari Menteri-Menteri. Apabila
Komisi yang bersifat independen itu kita butuhkan, seyogianya diatur dalam Undang-Undang Privatisasi yang
akan datang.
Penekanan pengaturan lainnya yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan privatisasi itu adalah dengan
menitikberatkan penjualannya melalui pasar modal, dibandingkan dengan menjualnya kepada mitra strategis
(strategic sale). 145 Melalui pasar modal akan membuat penjualan saham BUMN terdistribusi dalam
masyarakat. Dengan ini akan memperluas kepemilikan masyarakat atas BUMN.
==============================================================
Sumber : Resolutions Of The Securities Comission Syariah Advisary Council
Prinsip-Prinsip Dari Mu’amalat Dalam Pasar Modal
1. Musyarakah Mutanaqisah
Musyarakah Mutanaqisah adalah sebuah instrumen baru untuk produk musyarakah dan telah dikenal
di Mesir. Kebanyakan dari para ahli Hukum Islam Umum bersatu dalam menerima musyarakah
mutanaqah sebagai salah satu instrumen dalam Pasar Modal. Oleh karena ini musyarakah mutanaqah
mempunyai keistimewaan yang tidak berlawanan dengan dasar hukum dan prinsip umum dari syariah.
Keistimewaan-keistimewaan itu adalah :
a. Perusahaan ‘Inan (bentuk dari partnership, dimana para pihak memberikan dua kontribusi umum
dan kerja).
b. Kesanggupan dari institusi keuangan untuk menjual saham perusahaannya kepada rekanannya.
c. Institusi menjual seluruh sahamnyakepada rekanannya secara menyeluruh atau sebahagian.
2. Bai’ Dayn
Pada pertemuan kedua pada tanggal 21 agustus 1996, Dewan Penasehat Syariah bersatu menyetujui untuk
menerima prinsip dari bai’dayn debt trading (perdagangan hutang) sebagai salah satu dari konsep untuk
membangun instrumen pasar modal. Ini sudah berdasarkan pada pandangan dari ahli hukum islam yang
menganut konsep ilmu ini untuk kondisi-kondisi tertentu.Dalam konteks pasar modal, kondisi ini dapat
menjadi bertemu ketika adanya keteraturan sistem tranparansi dimana dapat melindungi maslahah
(kepentingan umum) dari pelaku pasar.
143 Misalnya, Thailand, Taiwan dan Korea Selatan membatasi kepemilikan maksimal 4-5 persen.
144 Di Thailand kepemilikan saham melampaui 5 persen menyebabkan pemiliknya kehilangan hak untuk mendapatkan
dividen atas kelebihan saham yang dimilikinya.
145 Ibid, hal. 168
30
Dalam konteks dari pasar modal islam, bai’ dayn adalah prinsip penjualan dayn dimana hasil dari
pertukaran perjanjian (perjanjian mu’awadat maliyyah), seperti murabahah, bai’ bi thaman ajil (BBA),
ijarah, ijarah muntahiyah bi tamlik, istisna’ dan yang lainnya.
3. Bai’ Inah
Bai’ inah adalah merupakan perdagangan dimana penjual menjual asetnya kepada pembeli dengan
kesepakatan harga penjualan yang dibayar oleh pembeli pada tanggal yang akan datang. Setelah itu,
pembeli dengan segera menjual kembali aset kepada penjual dengan harga tunai, dimana lebih rendah
dari harga penjualan yang telah disepakati.
Dikatagorikan sebagai bai’ inah, dengan cara menyimpulkan bahwa seluruh aset yang telah dijual berasal
dari pemberi modal. Pemberi modal akan menjual sebuah prodak kepada pembeli pada pembayaran
didepan sesuai dengan apa yang disepakati. Pemberi modal kemudian dengan segera membeli kembali
aset dengan hargai tunai yang lebih rendah kemudian harga penjualannya ditangguhkan
4. Bai’ Ma’dum
Berdasarkan pada teori perjanjian (kontrak) menurut yurispudensi Islam, suatu kondisi dimana objek
dalam perdagangan ( mahal al-aqd atau ma’qud alaih) dapat didagangkan harus ada ketika perjanjian
(kontrak) telah dibuat. Pembelian dari sebuah objek yang tidak ada ketika perjanjian (kontrak) telah
dibuat adalah telah dipertimbangkannya bai, ma’dum
5. Bai’ Wafa’
Section 118 dari Majallah al-Ahkam al-Adliyyah mendefenisikan Bai’ Wafa’ sebagai sebuah penjualan
dengan kondisi bahwa ketika penjual membayar kembali harga dari penjualan barang, pembeli
mengembalikan kepada penjual. Sebagai contohnya, pengembalian penjualan yang untung ketika penjual
mengklemnya dengan membayar kembali sesuai dengan jumlahnya.
6. Bai’ Muzayadah
Bai’ Muzayadah adalah menawarkan dari harga yang untung dalam sebuah pasar oleh penjual diikuti
dengan permintaan dari pembeli yang bersaing untuk menawarkan dengan harga tinggi. Konsep ini
adalah relefan dalam beberapa masalah di pasar modal islam, khususnya mereka dihubungkan pada
perilaku dari pelaku pasar yang mengambil untuk berlebihan dari perbedaan harga. Ini juga digunakan
sebagai suatu alasan untuk diizinkan berspekulasi sepanjang itu tidak bertentangan pada prinsip-prinsip
syariah.
7. Suftajah
Dalam bahasa arab atau termilogi dalam yurispudensi islam Suftajah adalah sebuah instrumen kredit
dalam bentuk diberikannya catatan keuangan kepada seseorang untuk memungkinkan kreditor untuk
digunakan pada menetapkan tempat yang lainnya.
Manfaat –manfaat yang diberikan oleh debitur dalam menggunakan metode ini adalah dari sebuah aspek
manajemen resiko. Kreditor tidak dapat berlari dari resiko hilangnya uangnya selama perjalanan seperti
dia hanya menbawa catatan-catatan Suftajah. Diantara aplikasi dari suftajah dalam sebuah keuangan
dunia modern adalah proses dari transfer uang, contohnya transfer telegrapik (TT), pesanan kartu pos and
pesanan uang. Dalam konteks pasal modal , ini dihubungkan pada catatan keuangan.
8. Bai’ Urbun
Bai’ Urbun adalah simpanan yang diberikan oleh pembeli kepada penjual dalam perjanjian (kontrak) jual
beli. Jika pendapatan penjualan, simpanan akan menjadi bagian dari harga barang-barang. Sebaliknya, ini
akan menjadi pertimbangan sebagai pemberian (hibah)dari pembeli kepada penjual.
Konsep ini dibenarkan dari persfektif syariah, didasarkan pada alasan-alasan pengikut.
9. Bai’ Bima Yanqati, Bihi Si’r
Bai’ Bima Yanqati, Bihi Si’rsebagaimana yang didefenisikan oleh Ibnu Qaiyyim adalah praktek dari
pengambilan beberapa jumlah barang-barang seperti roti, daging dan minyak dari penjual dengan
membelinya setiap hari dan membayar untuk mereka pada harga pasar di akhir tahun atau diakhir bulan
tanpa menetapkan pada harga. Praktek ini tidak akan memberi kenaikan kepada perselisihan antara
pembeli dan penjual karena mereka telah setuju pada metode dari pembayarannya dan harganya.
Aplikasi dari prinsip ini dalam pembelian dan penjualan bukanlah sesuatu yang baru
31
Produk Pasar Modal Menurut Yurisprudensi Islam
1. Call Warrant
2. Transferable Subscription Rights (TSR)
3. Asset Securitisation
4. Securities Borrowing and Lending (SBL)
5. Crude Palm Oil Futures Contract
6. Composite Index Futures Contract
7. Islamic Benchmark Bond
8. Finance Lease and Operating Lease
9. Preference Share
Masalah-masalah Pasar Modal Menurut Yurispudensi Islam
1. Riba : Principles and Divison
2. Gharar
3. Gambling
4. Ghalat
5. Speculation
6. Qabadh
7. Dha’ Wa Ta’ajjal
8. ‘Umum Balwa
9. Ta’wid
~~OOO~~