Thursday, November 25, 2010

PERBANDINGAN KINERJA BANK ISLAM TERHADAP BANK PERSERO, BANK ASING DAN BANK UMUM DI INDONESIA PADA 2000 – 2004

M.Suyanto
STMIK AMIKOM Yogyakarta
Abstarct
The study evaluates interbank performance of Islamic Banks
in Indonesia on profitability, liquidity, risk and solvency; and
community involvement for the period 2000 – 2004. Financial ratios
are applied in measuring these performances. F-test are used in
determining their significance. The study found that Islamic Banks are
relatively more commitment to community development, but less
liquid compared to the Government Banks, Foreign Banks, and
Commercial Banks. Islamic Banks do not show (statistically) any
difference in performance and managerial performance with the
Government Banks and Commercial Banks, but Islamic Banks are
less performance and managerial performance with the Foreign
Banks. Islamic Banks are relatively more cost efficient compared to
the Government Banks and Commercial Banks; more profit (NIM)
compared to the Commercial Banks; and relatively less risky
compared to the Foreign Banks.
Key Word : Kinerja, Bank Islam, Bank Umum
Pendahuluan
Bank dan Keuangan Islam pada sepuluh tahun terakhir
tumbuh 15 % setiap tahun yang melebih pertumbuhan Bank maupun
institusi keuangan yang ada di pasar modal global, berada di lebih dari
75 negara dengan asset sekitar 200 milyar dolar Amerika (Yawer,
2002). Beberapa institusi keuangan Islam bahkan beroperasi di tiga
belas lokasi lain, diantaranya Australia, Bahama, Kanada, Cayman
2
Islands, Denmark, Guernsey, Jersey, Irlandia, Luxemburgh,
Switzerland, Inggris, Amerika Serikat dan Virgin Islands. Ekspansi
bank Islam ke seluruh dunia, baik dalam jumlah maupun dana yang
diluasai, disertai operasi-operasi yang dikaji di mesir, Malaysia,
Bangladesh, Jordania, Australia, Sudan, Iran dan Pakistan
menunjukkan bahwa perbankan Islam sangat layak dan bank Islam
benar-benar dapat beroperasi di negara manapun, memenuhi banyak
sekali fungsi dan menggunakan instrumen-instrumen yang berbeda.
Meskipun banyak bank telah mendapat dukungan modal yang banyak
sekali dan mendapat perlindungan dari pemerintahan-pemerintahan
dan keluarga-keluarga muslim terkemuka, tetapi bank Islam telah
mempercayakan diri jauh lebih banyak pada lingkungan pasar
kompetitif pada sistem perbankan campuran-konvensional (Algaoud
dan Lewis, 2001). Selanjutnya Algoud dan Lewis menambahkan
bahwa perbankan Islam merupakan sebuah pasar yang berkembang
dan ada perbedaan dalam penerapan prinsip-prinsip dasarnya di
lokasi-lokasi yang berbeda. Misalnya pada sisi deposito, rekening
lancar (current account) dijalankan terutama berdasarkan prinsip alwadiah.
Deposito tabungan juga diterima berdasarkan prinsip alwadiah,
tetapi “hadiah” kepada para deposan diberikan menurut
kebijakan Bank Islam atas saldo minimum, sehingga para deposan
juga sama-sama mendapat bagian laba. Di Malaysia, keuntungan dari
rekening tabungan islami secara langsung bersaing dengan rekening
tabungan Bank konvensional. Deposito investasi didasarkan pada
prinsip mudharabah, tetapi terdapat banyak variasi. Dengan demikian,
Islamic Bank of Bangladesh, mislanya menawarkan rekening deposito
profit-loss sharing (PLS), rekening pemberitahuan khusus PLS dan
rekening deposito berjangka PLS, sedangkan Bank Islam Malaysia
mengoperasikan dua jenis deposito investasi, satu untuk masyarakat
umum dan satu lagi untuk nasabah kelembagaan. Juga terdapat
variasi-variasi yang menarik dalam pola penggunaan sumberdaya oleh
Bank Islam. Misalnya, musyarakah telah menjadi cara investasi yang
penting di Mesir dan sudan, sedangkan di Malaysia cara ini nyaris
tidak menonjol. Musyarakah yang berkurang (diminishing
musyarakah) telah dipakai untuk permodalan kemitraan pembangunan
3
perumahan di Australia. Jordan Islamic Bank telah melakukan
investasi langsung dalam perumahan dan skema-skema investasi
lainnya. Pada saat-saat sekarang, Bank Islam dalam berbagai bentuk
bermunculan di banyak negara muslim mapupun non-muslim.
Deposito, dana-dana yang disalurkan, serta modal para pemegang
saham di Bank tersebut meningkat tajam (Saeed, 1996). Maka Bank
Islam menarik untuk diteliti.
Bank Islam merupakan gabungan antara bank komersial dan
bank investasi, dan akan menawarkan serangkaian produk pelayanan
bagi para pelanggan yang mempunyai hubungan jangka panjang.
Sebagian dari dana pembiayaannya akan digunakan untuk proyekproyek
tertentu atau ventura, sedangkan mayoritspembiayaan yang
bersifat jangka pendek akan tersedia dalam kerangka persetujuan ini.
Investasi yang berorientasi kepada penyertaan modalnya, tidak
mengijinkannya untuk meminjam jangka pendek dan memberikan
pinjaman jangka panjang. Hal ini menyebakan kecenderungan tidak
mudah terkena krisis dibandingkan dengan bank konvensional
(Chapra, 2000).
Bank Islam yang mengedepankan model equity finance
menjadi lebih menarik setelah model debt financing oleh bank
konvesional di Amerika Serikat mengalami krisis baik 1930-an atau
1980-an. Jepang menggunakan kombinasi struktur debt financing dan
equity finance sehingga pertumbuhan ekonominya setelah perang
tinggi (Akacem dan Gillian, 2002). Sebaliknya bank konvensional
mudah terkena krisis. Krisis perbankan terbesar terjadi di Amerika
Serikat pada 1930-an, yaitu 9.106 ditutup / dibantu (Federal Deposit
Insurance Corp.,2004).
Keunggulan konsep perbankan Islam atas perbankan
konvensional terletak dalam kenyataan bahwa Islam telah
melenyapkan kezaliman bunga. Islam melarang bunga, karena tidak
berpengaruh pada volume tabungan, dan bunga dapat menyebabkan
depresi kronis juga memperlambat proses pemulihan, karena ia
memperburuk masalah pengangguran dan akhirnya mendorong
pembagian kekayaan yang tidak merata (Mannan, 1970). Bank Islam
dengan menggunakan sistem non bunga akan meringankan beban
4
negara dari hutang. Setiap tahun Amerika Serikat membayar jutaan
dolar bunga atas hutang nasionalnya. Demikian juga, negara-negara
yang dianggap kaya harus membayar bunga besar sekali atas hutang
nasionalnya. Keberadaan hutang ini seharusnya tidak terjadi. Karena
itu pembayaran bunga atasnya tidaklah seharusnya dilakukan
(Diwany, 2003). Dengan demikian Bank tanpa bunga (Bank Islam)
menjadi lebih menarik lagi untuk diteliti.
Meskipun demikian, masih ada masalah yang harus
diselesaikan untuk kemajuan bank Islam. Masalah-masalah tersebut
berkait dengan masalah hukum, daya tarik deposito yang terus
bertahan dan pola operasi pendanaan yang dilaksanakan. Undangundang
perbankan di sebagian besar negara tidak mengijinkan bank
untuk terlibat langsung dalam bisnis yang menggunakan dana para
deposan, atau paling tidak secara tegas membatasi investasi-investasi
semacam itu hanya pada dana yang dipasok oleh para pemegang
saham. Di negara-negara nonmuslim, mendirikan bank Islam harus
sesuai dengan undang-undang yang ada di negara yang bersangkutan
yang pada umumnya tidak kondusif untuk jenis pendanaan PLS dalam
sektor pebankan. Pasar sudah tidak lagi dalam masa pertumbuhannya,
dan bank Islam tidak dapat menerima nasabah apa adanya. Terdapat
banyak institusi, termasuk Bank Barat, yang bersaing dengan Bank
Islam murni melalui jendela-jendela islami, dan pelajaran umum yang
dapat dipetik dari pasar-pasar modal, sebagaimana dalam pasar-pasar
lainnya adalah bahwa penyebaran laba dan margin laba mengalami
penurunan begitu institusi-institusi keuangan baru masuk pasar. Tidak
adanya instrumen jangka pendek juga menyulitkan bank Islam
(Algoud dan Lewis, 2001). Dengan demikian studi tentang bank Islam
lebih mendalam perlu dilakukan.
Perkembangan Bank Umum Syariah (Islam), Unit Usha
Syariah dan Bank perkreditan Rakyat Syariah dari 2000 sampai
dengan 2004 dapat dilihat pada tabel 1.1.
5
Tabel 1. Jaringan Kantor Perbankan Syariah
Kelompok
Bank
2000 2001 2002 2003 2004
KPO
/KC/
KCP
KK KPO
/KC/
KCP
K
K
KPO/
KC/
KCP
KK KPO/
KC/
KCP
KK KPO
/KC/
KCP
KK
Bank Umum
Syariah
29 26 41 43 54 59 94 113 132 131
PT. Bank Muamalat
Indonesia
16 26 18 37 20 46 41 80 49 78
PT. Bank Syariah
Mandiri
13 0 23 6 34 13 53 33 81 53
PT. Bank Syariah
Mega Indonesia
0 0 0 0 0 0 0 0 2 0
Unit Usaha
Syariah
7 0 12 0 25 0 48 0 48 0
PT. Bank IFI 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0
PT. Bank Negara
Indonesia
5 0 10 0 12 0 17 0 22 0
PT. Bank Jabar 1 0 1 0 3 0 4 0 4 0
PT. Bank Rakyat
Indonesia
0 0 0 0 2 0 11 0 18 0
PT. Bank Danamon 0 0 0 0 5 0 10 0 10 0
PT. Bank Bukopin 0 0 0 0 2 0 2 0 3 0
PT. Bank
Internasional
Indonesia
0 0 0 0 0 0 2 0 3 0
HSBC, Ltd. 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0
PT Bank DKI 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
BPD Riau 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
BPD Kalsel 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
PT Bank Niaga 0 0 0 0 0 0 0 0 5 0
BPD Sumut 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
BPD Aceh 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
Bank Permata 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
Bank Perkreditan
Rakyat Syariah
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
TOTAL 115 26 134 43 162 59 142 113 206 131
6
KPO = Kantor Pusat Operasional
KC = Kantor Cabang
KCP = Kantor Cabang Pembantu
KK = Kantor Kas
Sumber : Statistik Perbankan Syariah, Bank Indonesia, Maret 2004
Dari Tabel 1, Bank Umum Syariah dari 2000 sampai dengan
2004 mengalami peningkatan, dari 2 bank menjadi 3 bank, dan Kantor
Pusat Operasional/Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu
mengalami peningkatan dari 29 buah pada 2000 menjadi 41 buah pada
2001, menjadi 54 buah pada 2002, menjadi 94 buah pada 2003 dan
menjadi 132 buah pada 2004. Kantor Kasnya juga ningkat dari 26
buah pada 2000, menjadi 43 buah pada 2001, menjadi 59 buah pada
2002, menjadi 113 buah pada 2003 dan menjadi 131 pada 2004.
Unit Usaha Syariah dari 2000 sampai dengan 2004 mengalami
peningkatan, dari 3 buah menjadi 15 buah, dan Kantor Pusat
Operasional/Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu juga
mengalami peningkatan dari 7 buah pada 2000, menjadi 12 buah pada
2001, menjadi 25 buah pada 2002, menjadi 48 buah pada 2003 dan
menjadi 66 buah pada 2004, tetapi Kantor Kasnya tidak mengalami
peningkatan, tidak mempunyai Kantor Kas pada 2000 sampai dengan
2004.
Pembahasan
Metodologi dan data
Kinerja merupakan sebuah konsep yang sulit, baik dalam
bentuk definisi maupun dalam pengukuran. Kinerja didefinisikan
sebagai hasil akhir dari aktivitas, dan ukuran tepat yang terpilih untuk
menilai kinerja perusahaan yang dipertimbangkan bergantung pada
jenis organisasi yang dievaluasi dan sasaran yang dicapai melalui
evaluasi itu (Hunger dan Wheelen, 1997). Dengan demikian kinerja
bank Islam dapat didefinisikan sebagai hasil akhir dari aktivitas bank
Islam.
7
Untuk mengukur kinerja bank Islam, Haron (1996)
menggunakan tiga indikator kinerja bank Islam, yaitu Total income
yang diterima oleh bank (TITA), the bank’s portion of income after
payment to depositors (BITA), dan net profit before tax (BTTA).
Sarker (1999), menggunakan Banking Efficiency Model
untuk mengevaluasi kinerja bank Islam di Bangladesh. Banking
Efficiency model menggunakan lima kriteria tes untuk mengukur
efisiensi sistem perbankan Islam. Kelima kriteria tes tersebut antara
lain Investment Opportunity Utilisation Test, Profit Maximisation
Test, Project Efficacy Test, Loan Recovery test dan Test of Elasticity
in Loan Financing.
Samad dan Hassan (1999) melakukan pengukuran kinerja
perbankan Islam Malaysia antara 1984 – 1997. Indikator yang dipakai
untuk melakukan pengukuran kinerja bank Islam adalah profitability,
liquidity, risk and solvency dan commitment to community.
Studi ini membuat perbandingan kinerja Bank Islam (Bank
Syariah) dengan Bank Konvensional (Bank Umum atau Bank
Komersial) di Indonesia. Pertama, Bank Islam dibandingkan dengan
Bank Persero (Bank Pemerintah). Kedua, kinerja Bank Islam
dibandingkan dengan Bank Asing. Ketiga, kinerja dibandingkan
dengan Bank Konvensional yang terdiri dari 145 bank (Industri
Bank). Analisis mengenai kinerja antar-bank ini, pertamakali
dilakukan Sabi (1996). Dalam pasar keuangan yang sangat kompetitif,
kinerja suatu bank dapat lebih baik difahami dengan menggunakan
analisis antar bank (Samad dan Hassan, 2000).
Studi ini menggunakan 9 rasio keuangan untuk kinerja bank.
Rasio-rasio ini dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: a.
profitability ; b. liquidity; c. risk and solvency; d. commitment to
community.
Profitability Ratios :
Profitability dapat diukur menggunakan empat kriteria :
1. Return on asset (ROA) = Laba sebelum pajak dalam 12
bulan terakhir / Rata-rata Aktiva dalam periode yang sama
8
(sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/2/UPPB tanggal
30 April 1997)
2. Return of equity (ROE) = Laba sebelum pajak dalam 12
bulan terakhir / Rata-rata Modal dalam periode yang sama
(sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/2/UPPB tanggal
30 April 1997).
ROA dan ROE merupakan indicator pengukuran efisiensi
of manajerial (Ross (1994), Sabi (1996), Hassan (1999) and
Samad (1998). ROA merupakan pendapatan bersih per unit
suatu aset, yang menunjukkan bagaimana sebuah bank dapat
melakukan konversi aset menjadi pendapatan bersih. Semakin
tinggi rasio ROA semakin baik kinerja bank tersebut.
Demikian halnya, ROE merupakan net earnings per unit
equity capital. Semakin tinggi rasion ROE semakin baik
kinerja manajerial bank tersebut.
3. Income expense ratio (IER) = Pendapatan Operasional dalam
12 bulan terakhir / Biaya operasional dalam periode yang
sama (sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/2/UPPB
tanggal 30 April 1997).
IER merupakan indikator efisiensi biaya dalam
menghasilkan pendapatan. Semakin tinggi IER semakin tinggi
efisiensi biaya untuk mendapat pendapatan, yang berarti pula
semakin tinggi kinerja bank tersebut (Samad dan Hassan,
2000).
4. Net Interest Margin (NIM) = Pendapatan Bunga Bersih /
Rata-rata Aktiva
Produktif (untuk Bank Konvensional, sesuai Surat Edaran Bank
Indonesia No. 30/2/UPPB tanggal 30
April 1997) Non Net Interest Margin (NIM) = Pendapatan Non
Bunga Bersih / Rata-rata Aktiva Produktif (untuk Bank Islam).
Semakin tinggi NIM suatu Bank, semakin tinggi margin pendapatan
bank tersebut.
9
Liquidity Ratios.
Bank dan lembaga keuangan berbagi resiko likuiditas, karena
transaksi deposito dan tabungan dapat dilakukan setiap saat. Dengan
demikian, pendeknya waktu dapat menyebabkan masalah pada
likuiditas (Samad dan Hassan, 2000).
Likuiditas dapat diukur menggunakan criteria sebagai berikut:
Loan deposit ratio (LDR) = Kredit / Dana yang diterima. (Untuk bank
konvensional, (sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/2/UPPB
tanggal 19 Maret 1997). Financing deposit ratio (FDR) = Financing /
Dana yang diterima (Untuk bank Islam). Semakin tinggi LDR/FDR
mengindikasikan bahwa sebuah bank membuat lebih menekankan
keuangannya pada pembuatan hutang/pembiayaan yang telalu banyak.
Semakin kecil LDR/FDR semakin baik likuiditas bank tersebut. CAR
yang tinggi mengindikasikan bahwa bank mempunyai asset yang
likuid jangka panjang. Bank Indonesia memberikan ketentuan
minimal CAR 8 %.
Risk and Solvency Ratios
Sebuah bank dikatakan mampu membayar hutangnya
(solvent) jika total nilai asetnya lebih besar dari liabilitasnya. Bank
menjadi beresiko jika tidak solvent. Berikut ini yang umum digunakan
untuk risk and insolvency.
1. Capital adequacy ratio (CAR) = (Modal Inti + Modal
Pelengkap) / Aktiva tertimbang Menurut Resiko (ATMR).
Modal Inti terdiri dari Modal disetor dan Cadangan
tambahan modal, sedangkan modal pelengkap terdiri dari
revaluasi aktiva tetap, cadangan umum PPAP maksimal
1,25 % dari ATMR, modal pinjaman, pinjaman sub
ordinasi maksimal 50 % dari modal inti dan peningkatan
nilai penyertaan pada portofolio yang tersedia untuk dijual
setinggi-tingginya sebesar 45 %.
2. Debt to total asset ratio (DTAR) = Hutang (Dana Pihak
Ketiga) / total asset. DTAR mengindikasikan kemampuan
keuangan sebuah bank untuk membayar kepada pemberi
10
hutang. Semakin tinggi DTAR semakin tinggi suatu bank
melibatkan diri dalam resiko bisnis.
3. Non Performing Financing (Loan) (NPF) = Collectibility /
Total Credit (financing). Collectibility meliputi kualitas
kredit (pembiayaan) kurang lancar, diragukan dan macet.
Semakin tinggi nilai NPF mengindikasikan sebuah bank
mepunyai resiko lebih tinggi.
Commitment to Community
Credit (Financing) to Total Asset Ratio (CTA) = (FTA) =
Kredit (pembiayaan) yang diberikan / Total Asset. Semakin besar
prosentase FTA semakin besar pula komitmen bank terhadap
pengembangan masyarakat. (commitment to community
development). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Samad dan
Hassan (2000).
Kinerja Bank Islam (Syariah) di Indonesia diukur dalam dua
tahap. Tahap pertama membandingkan kinerja Bank Islam dengan
Bank Persero dan membandingkan kinerja Bank Islam dengan Bank
Asing yang beroperasi di Indonesia. Tahap kedua, membandingkan
kinerja Bank Islam dengan seluruh Bank Umum atau Bank
Konvensional yang ada di Indonesia (145 bank).
SPSS 11.5 for Windows digunakan dalam analisis. Dalam
membadingkan antar kelompok Bank tersebut, digunakan Analisis
Varian Satu jalan (One Way ANOVA) untuk menguji hipotesis nul
(H0), yaitu kinerja bank Islam dengan Bank yang lain itu sama (tidak
ada perbedaan yang berarti).
MSB / MSW digunakan untuk mengestimasi nilai F. Jika nilai
F ini (F hitung) lebih besar dari nilai F kritis (F tabel), maka
dikatakan Ho ditolak atau Ha yang diterima, artinya kinerja antara dua
kelompok bank tersebut secara statististik tidak sama atau berbeda.
Sebaliknya jika nilai F ini (F hitung) lebih kecil dari nilai F kritis (F
tabel), maka dikatakan Ho diterima Ha ditolak, artinya kinerja antara
dua kelompok bank tersebut secara statististik sama atau tidak
berbeda.
11
Analisis data dan Hasil Empiris
Pada kategori profitabilitas, ANOVA menyarankan untuk
menerima Ho untuk ROA dan ROE antara Bank Islam dengan Bank
Persero, artinya ROA dan ROE Bank Islam tidak ada beda secara
statistik dengan Bank Persero (Tabel 1). Dengan demikian kinerja dan
kinerja manajerial Bank Islam dengan Bank Persero tidak berbeda
secara signifikan. Sedangkan perbandingan Bank Islam dengan Bank
Asing, yaitu rata-rata ROA and ROE untuk Bank Islam masingmasing
1,884 % and 16,428 % sedangkan ROA and ROE untuk
Bank Asing pada periode yang sama masing-masing 3,882 % dan
124,230 % (Tabel 2). ANOVA menyarankan untuk menolak Ho, atau
menerima Ha dengan signifikansi secara statistik masing-masing pada
tingkat 5 % dan 1 %, artinya kinerja dan kinerja manajerial Bank
Islam berbeda secara statistik dengan Bank Asing. Maka kinerja dan
kinerja manajerial Bank Islam kurang baik dibandingkan dengan Bank
Asing. Perbandingan antara Bank Islam dengan Bank Umum untuk
ROA dan ROE, ANOVA menyarankan untuk menerima Ho untuk
ROA dan ROE antara Bank Islam dengan Bank Umum, artinya ROA
dan ROE Bank Islam tidak ada beda secara statistik dengan Bank
Umum (Tabel 3).. Dengan demikian kinerja dan kinerja manajerial
Bank Islam dengan Bank Umum tidak berbeda secara signifikan.
Hasil ini sesuai dengan studi yang dilakukan Samad dan Hassan
(2000) yang membandingkan kinerja antara Bank Islam dan Bank
Konvensional di Malaysia.
Perbandingan Income Expense Ratio (IER) antara Bank Islam
dengan Bank Persero dan Bank Umum, ANOVA menyarankan untuk
menolak Ho, atau menerima Ha, artinya IER Bank Islam berbeda
secara statistik dengan Bank Persero dan Bank Umum. Rata-rata IER
untuk Bank Islam 1,220 sedangkan IER untuk Bank Persero dan
Bank Umum pada periode yang sama masing-masing 1,002 dan 1,098.
Perbedaan ini signifikan secara statistik masing-masing pada tingkat 1
% dan 5 % (Tabel 1 dan Tabel 3).. Maka Bank Islam lebih efisien
biaya untuk memperoleh pendapatan dibandingkan dengan Bank
Persero dan Bank Umum. Meskipun demikian IER Bank Islam
12
dibandingkan dengan Bank Asing, hasil dari ANOVA, menerima Ho,
artinya tidak berbeda secara signifikan (Tabel 3) atau Bank Islam
tidak lebih efisien biaya untuk memperoleh pendapatan dibandingkan
dengan Bank Asing.
Perbandingan Net Non Interest Margin (NIM) Bank Islam
dengan Net Interest Margin (NIM) Bank Persero dan Bank Asing,
ANOVA menyarankan untuk menerima Ho, maka Net Non Interest
Margin (NIM) Bank Islam dengan Net Interest Margin (NIM) Bank
Persero dan Bank Asing tidak berbeda secara signifikan (Tabel 1 dan
Tabel 2).. Bank Islam lebih baik daripada Net Interest Margin (NIM)
Bank Umum. Maka margin pendapatan Bank Islam dibandingkan
dengan Bank Persero dan Bank Asing tidak berbeda secara signifikan.
Namun demikian, NIM Bank Islam dibandingkan dengan NIM Bank
Umum, ANOVA menyarankan untuk menolak Ho, menerima Ha yang
berarti NIM Bank Islam dan NIM Bank Umum berbeda secara
signifikan. Rata-rata NIM untuk Bank Islam 5,774 % sedangkan NIM
untuk Bank Umum pada periode yang sama masing-masing 3,772%.
Perbedaan ini signifikan secara statistik pada tingkat 5 % (Tabel 3).
Maka margin pendapatan Bank Islam lebih baik dibandingkan dengan
Bank Umum.
Pada kategori likuiditas, Loan / Financing Deposit Ratio
(LDR/FDR) Bank Islam dibandingkan dengan Bank Persero, Bank
Asing dan Bank Umum berbeda secara signifikan (menolak Ho).
Rata-rata FDR untuk Bank Islam 98.126 % sedangkan LDR untuk
Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum pada periode yang sama
masing-masing 34.738 %, 53.248 % dan 41.288 %. Perbedaan ini
signifikan secara statistik masing-masing pada tingkat 1 % ((Tabel 1,
Tabel 2 dan Tabel 3). Dengan demikian Bank Islam kurang likuid
dibandingkan dengan Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum.
Hal ini justru berbeda dengan studi yang dilakukan Samad dan Hassan
(2000) yang membandingkan kinerja likuiditas antara Bank Islam dan
Bank Konvensional di Malaysia, bahwa likuditas Bank Islam lebih
baik dibandingkan dengan Bank Konvensional, karena Bank Islam
memelihara likuditas lebih baik dibandingkan dengan Bank
Konvensional. Sebaliknya di Indonesia, Bank Islam memelihara
13
likuiditas kurang baik dibandingkan dengan Bank Konvensional
(Bank Umum) atau berarti pula Bank Islam mempunyai kemampuan
menyalurkan dana lebih baik dibandingkan dengan Bank
Konvensional.
Sedangkan Capital Adequacy ratio (CAR) Bank Islam Islam
berbeda dari Bank Asing (menolak Ho). Rata-rata CAR untuk Bank
Islam 26.314 % sedangkan CAR untuk Bank Bank Asing 17.490 %,
berbeda secara signifikat pada tingkat 10 %, artinya Bank Islam Islam
mempunyai kecukupan modal lebih baik daripada Bank Asing (Tabel
2), tetapi CAR Bank Islam tidak berbeda secara signifikan dengan
CAR Bank Persero dan Bank Umum (Tabel 2 dan Tabel 3). atau Bank
Islam mempunyai kecukupan modal yang tidak berbeda atau
mempunyai likuiditas jangka panjang tidak berbeda dengan Bank
Persero dan Bank Umum.
Pada kategori Risk and Solvency, Debt to total asset ratio
(DTAR) Bank Islam tidak berbeda dengan DTAR Bank Persero, Bank
Asing dan Bank Umum (menerima Ho), dapat dilihat pada Tabel
(Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3). Dengan demikian kemampuan
keuangan Bank Islam untuk membayar kepada pemberi hutang atau
melibatkan diri dalam resiko bisnis dibandingkan Bank Persero, Bank
Asing dan Bank Umum tidak berbeda.
NPL Bank Islam juga tidak berbeda secara signifikan
dibandingkan dengan NPL Bank Persero dan Bank Umum (menerima
Ho) atau berarti pula resiko Bank Islam tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan Bank Persero dan Bank Umum
(Tabel 1 dan Tabel 3)., tetapi berbeda (menolak Ho) dengan Bank
Asing pada tingkat sinifikansi 1%. Rata-rata NPL untuk Bank Islam
5.110 % sedangkan NPL untuk Bank Asing 11.193 % (Tabel 2).
Maka Bank Asing mempunyai resiko lebih tinggi dibandingkan
dengan Bank Islam.
Pada kategori commitment to community, Financing Total
Asset Ratio (FTA) Bank Islam lebih baik dibandingkan Bank Persero,
Bank Asing dan Bank Umum. Rata-rata FTA untuk Bank Islam
75.762 % sedangkan FTA untuk Bank Persero, Bank Asing dan Bank
Umum pada periode yang sama masing-masing 29.460 %, 45.508 %
14
dan 37.964 %, berbeda secara signifikan masing-masing pada tingkat
1 % (Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3).. Hal ini berbeda dengan yang
ditemukan Samad dan Hassan (2000) pada studi perbandingan kinerja
Bank Islam dengan Bank Umum di Malaysia, yang menyatakan
bahwa komitmen antara Bank Islam dan Bank Konvensional adalah
sama. Hal ini berarti Bank Islam di Indonesia lebih berkomitment
terhadap pengembangan masyarakat dibandingkan Bank Persero,
Bank Asing dan Bank Umum.
Penutup
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kinerja
dan kinerja manajerial Bank Islam dengan Bank Persero dan Bank
Umum tidak berbeda secara signifikan. Sedangkan perbandingan
kinerja dan kinerja manajerial Bank Islam kurang baik dibandingkan
dengan Bank Asing.
Bank Islam lebih efisien biaya untuk memperoleh pendapatan
dibandingkan dengan Bank Persero dan Bank Umum. Meskipun
demikian Bank Islam tidak lebih efisien biaya untuk memperoleh
pendapatan dibandingkan dengan Bank Asing.
Margin pendapatan Bank Islam dibandingkan dengan Bank
Persero dan Bank Asing tidak berbeda secara signifikan. Namun
demikian, margin pendapatan Bank Islam lebih baik dibandingkan
dengan Bank Umum.
Pada kategori likuiditas, Bank Islam kurang likuid
dibandingkan dengan Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum
Bank Islam Islam mempunyai kecukupan modal lebih baik daripada
Bank Asing, tetapi CAR Bank Islam tidak berbeda secara signifikan
dengan CAR Bank Persero dan Bank Umum atau Bank Islam
mempunyai kecukupan modal yang tidak berbeda dengan Bank
Persero dan Bank Umum.
Pada kategori Risk and Solvency, kemampuan keuangan Bank
Islam untuk membayar kepada pemberi hutang atau melibatkan diri
dalam resiko bisnis dibandingkan Bank Persero, Bank Asing dan Bank
Umum tidak berbeda. Bank Islam tidak berbeda secara signifikan
15
dalam resiko kemacetan hutang dibandingkan dengan Bank Persero
dan Bank Umum., tetapi Bank Islam mempunyai resiko kemacetan
lebih kecil dibandingkan dengan Bank Asing.
Pada kategori commitment to community, Bank Islam lebih
berkomitment terhadap pengembangan masyarakat dibandingkan
Bank Persero, Bank Asing dan Bank Umum.
Dengan terbuktinya Bank Islam lebih berkomitment terhadap
pengembangan masyarakat dibandingkan Bank Persero, Bank Asing
dan Bank Umum, maka Pemerintah untuk terus mendukung
perkembangan Bank Islam di Indonesia dengan membuat kebijakan
yang memberikan peluang lebih besar untuk Bank Islam.
Studi lebih lanjut dari ini pelu dilakukan, misalkan studi
tentang pengaruh kinerja Bank Islam terhadap kesejahteraan
masyarakat. Studi teantang pengaruh Kebijakan Pemerintah terhadap
kinerja Bank Islam.
Table 1
Performance Measure Bank Islam Bank Persero F-value
I. Profitability
1. ROA 1,824 % 1,872 % 0,008
2. ROE 16,428 % 21,336 % 0,572
3. IER 1,220 1,002 22,567***
4. NIM 5,774 % 4,042 % 0,162
II. Liquidity
6. LDR 98,126 % 34,738 % 52,964***
III.Risk and Solvency
7. CAR 26,314 % 17,372 % 2,846
8. DTAR 66,304 % 67,690 % 0,077
9. NPL 5,110 % 8,990 % 2,501
IV. Commitment to
Community
10.FTA 75,762 % 29,460 % 95,681***
* Difference in means : Significant at 10 %
** Difference in means : Significant at 5 %
***Difference in means : Significant at 1 %
16
Table 2
Performance Measure Bank Islam Bank Asing F-value
I. Profitability
1. ROA 1,824 % 3,882 % 9,738**
2. ROE 16,428 % 124,230 % 21,153***
3. IER 1,220 1,174 0,656
4. NIM 5,774 % 4,144 % 0,127
II. Liquidity
5. LDR 98,126 % 53,248 % 27,816***
III.Risk and Solvency
6. CAR 26,314 % 17,490 % 4,311*
7. DTAR 66,304 % 73,830 % 2,631
8. NPL 5,110 % 11,193 % 11,193***
IV. Commitment to
Community
9. FTA 75,762 % 45,508 % 47,866***
* Difference in means : Significant at 10 %
** Difference in means : Significant at 5 %
***Difference in means : Significant at 1 %
17
Table 3
Performance Measure Bank Islam Bank Umum F-value
I. Profitability
1. ROA 1,824 % 1,834 % 0,000
2. ROE 16,428 % 27,966 % 2,505
3. IER 1,220 1,098 6,460**
4. NIM 5,774 % 3,722 % 3,837*
II. Liquidity
5. LDR 98,126 % 41,288 % 38,597***
III.Risk and Solvency
6. CAR 26,314 % 19,328 % 2,321
7. DTAR 66,304 % 73,822 % 2,514
8. NPL 5,110 % 10,880 % 5,396**
IV. Commitment to
Community
9. FTA 75,762 % 37,964 % 85,797***
* Difference in means : Significant at 10 %
** Difference in means : Significant at 5 %
***Difference in means : Significant at 1 %
Daftar Pustaka
Akkas, Ali, (1996), “Relative Efficiency of the Conventional and
Islamic Banking System in Financing Invenstment,”
Unpublished PH,d, Dissertation, Dhaka University,
Algaoud, Latifa M and Lewis, Mervyn K, (2001), “Islamic Banking”,
Edward Elgar, Massachusetts,
Arif, Mohammad, (1989), “Islamic Banking in Malaysia:Framework,
performance and lesson”, Journal of Islamic Economics,
vol,2, No,2
Dewany, Tarek El, (2003), “The Problem With Interest”, London,
Dirrar, E,Elbeid, (1996), “Economics and Financial Evaluation of
Islamic Bankking Operations:A case of Bank Islam Malaysia
1983-1995”,Unpublished paper,UIA,
18
Haron, Sudin (1996), “The Effects of Management Policy on The
Performance of Islamic Banks”, Asia Pacific Journal of
Management, Vol 13, No, 2: 63-76
Hassan, M,Kabir (1999),”Islamic Banking in Theory and Practice:
The Experience of Bangladesh,”Managerial Finance,
Vol,25,Vol,5:60-113,
Hassan, M, Kabir and Samad, Abdus (2000) “The Performance of
Malaysian Islamic Bank During 1984-1997: An Exploratory
Study ” International Journal of Islamic Financial Services
Vol,1,No,3,
Saeed, A,(1996), “Islamic Banking and Interest”, Leiden, EJ, Brill,
Sum, Wong Choo,(1995),”Bank Islam Malaysia:Performance
Evaluation”,Al-Harran Saad Abdul Satter(ed, :eading Issues in
Bnaking and Finance,PJ,Pendaduk Publication,
Tan,M,Koh,Cand Low C,(1997),”Stability in Financial ratios:A study
of listed companies in Singapore”,Asia Review of
Accounting,vol,5,No,1,
Sabi,Manijeh,(1996),”Comparative Analaysis of Foreign and
Domestic Bank Operation in Hungary”, Journal of
Comparative Economics,vol,22,pages (179-188)
Samad,Abdus,(1999,”Comparative Efficiency of the Islamic Bank
Malaysia vis-à-vis conventional banks”,Journal of Economics
and Management,vol,7,No,1,
Meinster,David amd Elyasian, Elyas (1994) “An Empirical test of
Test of Association between Production and Financial
Performance: The case of Commercial banking industry”,
Apllied Financial Economics, vol,4,pages 55-59,
Putnam, B,H, (1983),”Concept of Financial Monetary”, Federal
Reserve Bank of Atlanta Economics Review, pages 6-13,
Spindler, Andrew et,Al (1991),”The Performance of Ibternationally
Active Banks and Securities Firms based on conventional
measure of competitiveness, In Federal Reserve Bank,NY,
Yawer, Nick (2002), “Islamic Banking & Finance Conference”,
Washinton DC, The Islamic Free Market Intitution,
19
MANAJEMEN PROFESIONAL
Rahma Widyawati
STMIK AMIKOM Yogyakarta
Abstraksi
Kata Manajemen berasal dari bahasa Prancis kuno
ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Manajemen belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara
universal. Menurut ISO9001:2000, manajemen merupakan aktivitasaktivitas
terorganisasi untuk mengarahkan dan mengendalikan suatu
organisasi. Mary Parker Follet, misalnya, mendefinisikan manajemen
sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini
berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan
orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.
Kata profesional adalah kata sifat berasal dari kata 'profesi'.
Profesional berarti totalitas pada suatu pekerjaan agar mendapatkan
output yang terbaik. Ada tiga hal terkait di sini, yaitu kepuasan dari
pengguna jasa atau barang yang dihasilkan, keahlian orang yang
mengerjakan, dan imbalan dari pekerjaan tersebut.
Manajemen Profesional dapat berarti, suatu aktivitas
terorganisasi untuk menghimpun, mengarahkan dan mengendalikan
seluruh komponen termasuk SDM, perangkat dan sistem yang ada
agar dapat bergerak untuk mencapai hasil maksimal. Arah gerakan
selalu disesuaikan dengan pesatnya perkembangan dan kebutuhan
organisasi juga masyarakat agar dapat memberikan kepuasan bagi
semua komponen, baik internal organisasi maupun masyarakat dan
institusi pengguna jasa atau barang hasil produksi.
Kata Kunci: Manajemen, Profesional, SDM
20
Pendahuluan
Manajemen adalah gabungan pelaksanaan fungsi-fungsi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan
(actuiting), dan pengawasan/pengendalian (controlling) untuk
mencapai suatu tujuan tertentu dalam waktu yang ditentukan.
Defenisi lain tentang manajemen adalah sebagai perpaduan
pelaksanaan fungsi-fungsi rencana (plan), kerjakan (do), periksa
(check) dan aksi (action) untuk mencapai tujuan tertentu dalam waktu
tertentu pula. Selain itu, ada yang menerapkan model fungsi-fungsi
manajemen yang terkait dengan manajemen mutu (seperti ISO
9001:2008) yaitu rencana (plan), kerjakan (do), kajian (study) dan
tindakan (action).
Profesional diartikan sebagai ciri-ciri kekuatan yang dimiliki
oleh seseorang berupa kemampuan terhadap suatu bidang keahlian
(kompetensi), kesiapan melakukan kompetisi, kemampuan melakukan
efisiensi waktu dan kerja, keterampilan, pandai membaca situasi dan
keadaan, berpengalaman, memiliki sifat dan hasil kerja yang
mengagumkan.
Manajemen profesional didalam konteks SDM adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dalam pengembangan mutu SDM
secara profesional. Lawannya adalah manajemen amatiran yang ciricirinya
bertentangan dengan ciri-ciri manajemen profesional.
Ciri-ciri manajemen profesional dalam pengembangan mutu SDM
dapat dilihat dari sisi operasional dan manajerial yakni:
1) Memperoleh dukungan top manajemen.
2) Bermanfaat untuk kepentingan internal dan juga eksternal
organisasi.
3) Memiliki program jangka panjang dan berkesinambungan.
4) Berorientasi ke masa depan dengan pendekatan holistic
(menyentuh unsur perasaan/spiritual).
5) Melaksanakan prinsip efisiensi dan efektivitas.
6) Melakukan tindakan secara terencana/terprogram.
7) Melakukan monitoring, evaluasi serta menerima umpan-balik.
8) Karyawan dan pimpinan unit yang:
21
a. memiliki kompetensi atau keakhlian dan pengalaman
panjang di bidangnya.
b. haus dan berani pada tantangan.
c. inovatif, kreatif, inisiatif dan efisien.
d. Memiliki integritas tinggi.
e. menghargai profesi lain.
f. selalu siap menghadapi segala resiko.
g. bertanggungjawab atas setiap kata dan perbuatannya.
9) Mampu menggunakan teknologi tepat guna.
10) Kepemimpinan dalam membangun komitmen.
11) Semua lapisan berpartisipasi aktif dalam semua aktivitas.
12) Kerjasama Tim solid.
13) Memberikan penghargaan pada tiap karyawan yang berprestasi
(kompensasi termasuk peluang pendidikan-pelatihan lanjutan
dan promosi karir).
14) Persuasi pada karyawan yang kurang berprestasi untuk menjadi
yang terbaik melalui konsultasi-bimbingan dan pendidikanpelatihan
bersinambung.
15) Memiliki budaya korporat: transparansi (terbuka),
independensi (tidak bergantung), responsive (cepat tanggap),
akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan), dan jujur.
Pembahasan
Pentingnya Manajemen Profesional Untuk Mengatasi
Kemunduran Birokrasi Dalam Pelayananan Publik
Kecenderungan birokrasi dan birokratisasi pada pada layanan
publik didalam lingkungan masyarakat modern benar-benar dipandang
memprihatinkan. Tidak hanya dalam institusi pemerintah juga dalam
institusi-institusi swasta yang sudah merasa mapan, sehingga
diramalkan bahwa semakin menggejalanya dan berkembangnya
praktek-praktek birokrasi yang paling rasional sekalipun, tidak bisa
lagi dianggap sebagai kabar gembira, karena justru akan merupakan
pertanda malapetaka dan bencana baru yang menakutkan (Blau dan
Meyer, 2000: 3).
22
Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di kebanyakan negara berkembang
termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik: tidak efesien,
tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif,
menjadi pemarah ketika dikontrol dan dikritik, tidak mengabdi kepada
kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi
instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat
otoritatif dan represif.
Manajemen Profesional vs Kekeluargaan
Bila kita pernah mendengar salah seorang dari karyawan
senior berkata, “dulu waktu masih dipimpin bapak A, kita enak ya…”
atau mungkin pernah dengar seperti ini, “sekarang ini nggak kayak
dulu, peraturan makin banyak, dulu kayaknya kita kerja rela-rela aja
berkorban waktu meskipun nggak dibayar”.
Semua itu adalah salah satu proses evolusi dari manajemen
kekeluargaan ke manajemen profesional. Namun seringkali hal ini
tidak dipahami oleh orang-orang yang tidak siap untuk berubah.
Apakah profesionalisme itu kejam? atau sebaliknya. Apakah
manajemen kekeluargaan itu baik? Masing-masing memang ada nilai
lebih dan kurang-nya.
Perlu dipahami bahwa bila suatu perusahaan tetap mempertahankan
model manajemen kekeluargaan, maka perusahaan tersebut sering kali
tidak dapat berkembang pesat. Titik lemah manajemen keluarga lebih
pada ketergantungan terhadap orang, dan fleksibilitas yang sangat
tinggi menyebabkan suatu peraturan sangat tergantung pada
keberadaan pemilik dan kedekatan emosional antar pemilik dan
pekerja, sehingga dalam pengukuran kinerja terlihat sangat subyektif.
Sedangkan manajemen profesionalisme terkesan kaku dan kejam,
tetapi sesungguhnya perlakuannya sangat obyektif. Namun hal ini
tetap tergantung pada manajer atau direkturnya. Karakter setiap
manajer atau direktur perusahaan akan mempengaruhi proses
manajemen profesionalisme ini.
23
Mengapa Harus Manajemen Profesional
Tidak jarang pelaksanaan program pengembangan mutu
sumberdaya manusia oleh suatu organisasi mengalami kegagalan. Hal
demikian dipengaruhi oleh beragam faktor pemahaman tentang
budaya organisasi, input, proses perencanaan, pengendalian dan hasil
pelaksanaan program secara terpisah atau secara bersama-sama. Bila
satu faktor ada yang kurang, maka akan mengganggu keberhasilan
pelaksanaan program.
Faktor-faktor tersebut antara lain:.
1) Budaya organisasi: sistem nilai, norma dan perilaku pimpinan
dan anggota organisasi yang kurang mendukung pencapaian
misi, visi dan tujuan organisasi.
2) Sistem nilai: perpaduan subsistem nilai organisasi dan
subsistem nilai pelaku organisasi; misalnya perpaduan
kepentingan organisasi dan kepentingan individu dan eksternal.;
pandangan terhadap produktifitas, efisiensi sebagai sistem nilai,
dan sebagainya.
3) Norma: pernyataan perbuatan baik-buruk, benar-salah atas
suatu pekerjaan.
4) Perilaku: motif, kehendak, kecerdasan (intelektual, emosional
dan spiritual) dan tindakan seseorang dalam mencapai tujuan
organisasi dan pribadinya.
5) Input organisasi: keterbatasan dalam faktor-faktor:
Sumberdaya manusia, bahan baku, anggaran, fasilitas,
teknologi, informasi, sumberdaya lain seperti lahan di sektor
pertanian.
6) Proses perencanaan: Ketersediaan data dan informasi kurang,
keterbatasan jumlah dan mutu sumberdaya manusia, metode
perencanaan yang tidak tepat, teknologi tepat guna tidak
tersedia, dan dimensi waktu dan ruang yang tidak jelas.
7) Pengendalian: Kepemimpinan yang lemah dalam
mempengaruhi subordinasi, sistem koordinasi tidak efektif,
24
metode monitoring dan evaluasi tidak dilakukan atau tidak
efektif, dan umpan balik tidak dilakukan.
8) Output: Jumlah dan mutu hasil pengembangan SDM rendah,
tidak efisien dan tidak efektif, benefit ekonomi dan sosial
rendah.
Jadi kegagalan pelaksanaan suatu program pengembangan mutu SDM
dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: aspek manajerial dan aspek
operasional.
Aspek Manajerial: penerapan fungsi-fungsi planning, organizing,
actuiting, dan controlling (POAC) atau plan, do, check dan action
(PDCA) yang tidak berjalan efektif.
Aspek Operasional: penggunaan sumberdaya yang terbatas dan
metoda yang tidak tepat atau pengelolaan sumberdaya yang tidak
optimal.
Kegagalan pelaksanaan program pengembangan mutu SDM
dicirikan oleh pencapaian tujuan organisasi yang tidak sesuai dengan
harapan atau standar kerja atau organisasi. Hal itu bisa jadi karena
tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen profesional.
Kegagalan tersebut akan berakibat pada beberapa hal berikut:
kerugian materi, kerugian finansial, kerugian nama organisasi,
penurunan kesejahteraan karyawan, penurunan motivasi/semangat
kerja karyawan, daya saing organisasi semakin rendah. Implikasi dari
kegagalan program maka perusahaan perlu melakukan tindakantindakan:
1) Telaah ulang misi, visi dan tujuan organisasi.
2) Restrukturisasi organisasi.
3) Restrukturisasi dan peningkatan mutu personalia.
4) Manajemen perubahan.
5) Manajemen profesional.
Tidak dapat dipungkiri berbagai dimensi kehidupan
masyarakat di era global termasuk perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, telekomunikasi dan transportasi semakin begitu
berkembang. Ada kecenderungan organisasi yang semakin modern
dicirikan oleh semakin majunya penggunaan IPTEK mutakhir.
25
Sementara itu kebutuhan masyarakat akan tuntutan mutu produk
semakin tinggi saja. Persaingan bisnis menjadi hal yang biasa.
Di sisi lain setiap organisasi khususnya bisnis belum tentu sudah siap
menghadapi perkembangan tersebut. Masih banyak organisasi yang
berorientasi pada kemapanan, berpikir dan bertindak seketika, tidak
berorientasi ke depan dan sangat sedikit sekali menerapkan IPTEK
terbaru. Secara garis besar berikut ini diuraikan faktor-faktor yang
mendorong organisasi untuk profesional. Tujuannya adalah agar
organisasi, misalnya bisnis, dapat mencapai keuntungan maksimum,
daya saing tinggi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan karyawan
maksimum melalui pengembangan mutu SDM berikut ini.
1) Perkembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi: inovasi lewat
riset dan pengembangan dan adopsi teknologi baru,
2) Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi: sistem
teknologi informasi, e-business,
3) Persaingan organisasi-bisnis: modernisasi, efisiensi,
4) Persaingan pasar verja: peningkatan kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual para karyawan,
5) Tuntutan pelanggan semakin tinggi: peningkatan mutu produk,
efisiensi biaya (harga) dan sistem pelayanan.
6) Kebutuhan pelaku-karyawan semakin besar dan beragam:
mengakomodasi kebutuhan secara proporsional.
Penutup
Manajer adalah seseorang yang bekerja melalui orang lain
dengan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan mereka guna mencapai
sasaran organisasi.
Seorang profesional adalah seseorang yang menawarkan jasa atau
layanan sesuai dengan protokol dan peraturan dalam bidang yang
dijalaninya dan menerima gaji sebagai upah atas jasanya. Orang
tersebut juga merupakan anggota suatu entitas atau organisasi yang
didirikan seusai dengan hukum di sebuah negara atau wilayah.
Meskipun begitu, seringkali seseorang yang merupakan ahli dalam
suatu bidang juga disebut "profesional" dalam bidangnya, meskipun
bukan merupakan anggota sebuah entitas yang didirikan dengan sah.
26
Sebagai contoh, dalam dunia olahraga terdapat olahragawan
profesional yang merupakan kebalikan dari olahragawan amatir yang
bukan berpartisipasi dalam sebuah turnamen/kompetisi demi uang.
Seorang pimpinan/manajer maupun karyawan perlu menunjukkan
sikap/ciri dan kerja profesional, dengan mengerjakan bagian
pekerjaannya dengan sungguh-sungguh dan berorientasi pada kualitas.
Profesionalisme dalam bekerja bukan berarti bidang pekerjaan harus
sama dengan education background tapi sejauh mana dedikasi yang
diberikan pada pekerjaan dan loyalitas yang mampu diberikan.
Tidak soal apakah dia lulusan hukum yang kemudian bekerja di
bidang pertanian, atau dia lulusan pertanian yang kemudian bekerja di
bidang IT, yang jadi soal adalah bagaimana ia mengerjakan
pekerjaannya tersebut, dan maukah ia meluangkan waktu sejenak
untuk mempelajari hal-hal yang belum ia kuasai?
Bila seorang manajer atau karyawan mengerjakan pekerjaannya
dengan asal-asalan (yang penting selesai), maka ini sama seperti
kebanyakan supir bis/mikrolet yang kerap kali memperlakukan
penumpang seenaknya, yang penting setoran tercapai.
Profesional tidaknya seseorang dinilai dari hasil kerja yang ia berikan,
bukan latar belakang atau tingkat pendidikannya
Daftar Pustaka
Blau, Peter.M dan Meyer, Marshall.W, 2000, Birokrasi Dalam
Masyarakat Modern, Jakarta, Prestasi Pustakaraya.
Islamy, Irfan, M. 1998, Agenda Kebijakan Reformasi Administrasi
Negara, Malang, Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas
Brawijaya.
Lyntrias. 2009. Manajemen profesional vs kekeluargaan,
http://lyntrias.wordpress.com/2009/07/14/manajemenprofesional-
vs-kekeluargaan/
Mangkuprawira, S dan Hubeis, A V.2007, Manajemen Mutu SDM,
PT Ghalia Indonesia.
Mangkuprawira, S. 2007. Mengapa harus manajemen professional,
http://ronawajah.wordpress.com/2007/05/14/mengapa-harusmanajemen-
profesional/
27
PERSAINGAN ANTAR PERUSAHAAN
Sri Mulyatun
STMIK AMIKOM Yogyakarta
Abstraksi
Persaingan antar perusahaan yang kian marak mendorong
setiap perusahaan selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas
produknya agar tidak terjadi produk rusak dalam setiap aktifitas
produk mereka. Tetapi yang terjadi selama ini CV. Sahabat belum
melakukan pelaporan secara tersendiri mengenai biaya yang
berhubungan dengan kualitas dari buku yang dihasilkan
perusahaan.Sehingga tidak mengetahui seberapa besar biaya yang
sebenarnya dikeluarkan sehubungan dengan kualitas produk.
Komponen Penting yang harus diperhatikan oleh setiap perusahaan
dalam upaya meningkatkan kualitas produknya adalah biaya kualitas.
Melalui biaya kualitas ini perusahaan dapat mengetahui apakah
program kualitas yang dijalankan selama ini sudah efektif dengan
membandingkan besarnya biaya kualitas dengan prosentase produk
rusaknya. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini difokuskan untuk
mengetahui bagaimana tingkat produk rusak pada CV.Sahabat
berdasarkan Statistical Quality Control serta berapa jauh pengaruh
biaya kualitas terhadap produk rusak.
Kata Kunci: Persaingan, Perusahaan,
Pendahuluan
Penelitian yang dilakukan merupakan data selama 3 tahun
yaitu tahun 2005, 2006, 2007 yang terbagi dalam kuartal sehingga
jumlah sampel seluruhnya 12. Data yang dikumpulkan merupakan
data sekunder yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi.
Sedang alat analisis yang digunakan adalah Stastical Quality Control
28
untuk mengetahui apakah produk rusak yang terjadi berada dalam
posisi incontrol atau uncontrol.Sedangkan untuk mengetahui pengaruh
biaya kualitas terhadap produk rusak digunakan regresi berganda dan
uji asumsi klasik.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa selama
tahun 2005, 2006, 2007 tingkat kerusakan rata-rata sebesar
11,8%.Pada kuartal 2, 3, 5, 6 dan 8 produk rusak pada posisi
uncontrol. Dari Uji asumsi klasik tidak terjadi multikolonearitas,
heterokedastisitas dan autokorelasi serta memenuhi asumsi normalitas.
Dari Uji T diperoleh hasil bahwa masing-masing biaya kualitas
mempunyai perilaku yang berbeda terhadap produk rusak. Pengujian
bersama dengan uji F menunjukkan hasil bahwa komponen biaya
kualitas mempunyai pengaruh secara bersama terhadap produk rusak
sebesar 95,6 % sedang sisanya 4,4 % dipengaruhi faktor lain diluar
komponen biaya kualitas.
Dalam era globalisasi ini persaingan yang sangat tajam terjadi
baik dipasar domestic ( nasional ) maupun pasar global
( internasional ). Agar perusahaan bisa berkembang atau paling tidak
bertahan hidup ( survive ), perusahaan harus mampu menghasilkan
produk ( barang atau jasa ) yang kualitasnya lebih baik, harganya lebih
murah, promosinya lebih efektif, penyerahan produksinya lebih cepat
dan dengan pelayanan lebih baik dibandingkan dengan para
pesaingnya ( Suprapto.1995).
Ini berarti bahwa perusahaan yang ingin memenangkan
persaingan dalam segmen pasar yang telah dimasukinya harus mampu
mencapai tingkat kualitas yang diharapkan. Dan komponen penting
dalam menerapkan strategi kualitas adalah biaya kualitas.
Biaya
Secara umum dapat dikatakan bahwa biaya merupakan cost
yang telah dikorbankan dalam rangka menciptakan pendapatan.Anis
Chariri ( 2001 ) menyebutkan bahwa biaya adalah aliran keluar atau
pemakaian aktiva selama satu periode yang berasal dari penjualan atau
produksi barang atau penyerahan jasa atau pelaksanaa kegiatan yang
29
lain yang merupakan kegiatan utama suatu entitas. Sedangkan IAI (
1999 ) mendefinisikan biaya ( beban ) adalah penurunan manfaat
ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau
berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan
penurunan entitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam
modal.
Terlepas dari perbedaan definisi tersebut yang jelas setiap cost
yang dinyatakan keluar dalam rangka menghasilkan pendapatan
disebut dengan biaya, baik itu yang berasal dari aktiva maupun yang
berasal dari cost secara langsung dibebankan sebagai biaya tanpa
dicatat lebih dahulu sebagai aktiva ( Anis Chariri,2001 )
Kualitas
Kualitas atau mutu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai tingkat baik buruknya sesuatu. Secara operasional
produk bermutu adalah produk yang memenuhi berbagai harapan
pelanggan.
Hansen dan Mowen ( 1997 ) mengungkapkan terdapat
delapan dimensi mutu yaitu : Kinerja ( Performance ), Keindahan,
Kemudahan perawatan dan perbaikan, Keunikan, Kehandalan, Daya
Tahan, Tingkat kesesuaian dan Pemanfaatan.
Biaya Kualitas
Agar manajemen dapat melakukan perencanaan, pengendalian
dan pengambilan keputusan tentang kualitas produk, manajemen perlu
memahami biaya kualitas.
Menurur Hansen dan Mowen ( 2000,7 ) mendefinisikan biaya
kualitas sebagai biaya yang timbul karena adanya atau kemungkinan
adanya kualitas produk yang rendah. Biaya kualitas adalah biaya yang
dikeluarkan karena adanya kualitas yang rendah ( Muhammad Akhyar
Adnan,2000 ) dengan kata lain biaya kualitas adalah biaya yang
terkait dengan upaya peningkatan kualitas. Sedangkan menurut
Schoeder ( 1997 ) biaya kulaitas diklasifikasikan dalam empat
kategori yaitu : Biaya Pencegahan, Biaya Penialian, Biaya Kegagalan
Internal dan Biaya Kegagalan External.
30
Metode Pengumpulan Data
Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data ini
diperoleh dengan melakukan survey lapangan yaitu wawancara
dengan pipmpinan dan karyawan perusahaan dan dengan mengambil
data langsung dari perusahaan
Metode Analisis
Metode Analisis yang digunakan adalah analisis Kualitatif
dengan cara mengelompokkan biaya-biaya yang berkaitan dengan
aktifitas untuk menjamin kualitas produk sesuai dengan kelompok
biaya kualitas. Selain itu juga menggunakan analisis kuantitatif yaitu
teknik analisis yang digunakan untuk menerangkan hasil penelitian
dalam bentuk angka agar mudah diolah
Hasil Penelitian
Diskripsi Data
Penelitian ini mengambil data perusahaan ( CV.Sahabat )
selama 3 tahun yaitu tahun 2005, 2006 dan 2007 yang terbagi dalam
kuartal sehingga ada 12 sampel, dari data tersebut didapatkan rata-rata
jumlah produk 179.687 dan rata-rata jumlah produk yang rusak
21.847 ( 11,8% )
Teknik Pengujian Hipotesa
Uji T adalah pengujian koefisien regresi parsial atau
individual untuk mengetahui apakah masing-masing variabel
independen secara individual mempengaruhi variabel dependen. Uji F
untuk mengetahui apakah variabel independen berpengaruh secara
bersama-sama terhadap variabel dependen.
Hasil Analisis
Dari hasil Uji T atau Pegujian Koefisien Regresi untuk biaya
pencegahan diperoleh nilai T hitung sebesar -6,248 dengan
probabilitas sebesar 0,000 dengan taraf signifikan kurang dari 0,05
31
maka dinyatakan biaya pencegahan berpengaruh terhadap produk
rusak diterima, untuk biaya penilaian diperoleh nilai T hitung sebesar
3,562 dengan probabilitas sebesar 0,009 dengan taraf signifikan
kurang dari 0,05 maka biaya penialian berpengaruh terhadap produk
rusak diterima, Biaya kegagalan internal diperoleh nilai T hitung
0,500 dengan probabilita 0,632 dengan taraf signifikan lebih dari 0,05
maka disimpulkan biaya kegagalan internal berpengaruh terhadap
produk rusak tidak diterima, Biaya kegagalan Eksternal diperoleh nilai
T hitung 1,279 dengan probabilitas sebesar 0,242 dengan taraf
signifikan lebih dari 0,05 maka dinyatakan biaya kegagalan eksternal
tidak diterima. Kemudian dari Uji F diperoleh nilai sebesar 38,061
dengan angka probabilitas sebesar 0,000 dengan tingkat signifikan
kurang dari 0,05 maka dinyatakan biaya kualitas berpengaruh
terhadap penurunan produk rusak dapat diterima, artinya biaya
kualitas akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap produk rusak
apabila digunakan secara bersama-sama.
Penutup
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa tingkat kerusakan produk pada CV.Sahabat selama tahun 2005-
2007 adalah 11,8% dari jumlah produksi dan melebihi prosentase ratarata
serta berada diluar batas pengendalian.Hal ini disebabkan antara
lain oleh faktor mesin dan manusia.
Untuk mengurangi dan mencegah terjadinya produk rusak
perusahaan percetakan CV.Sahabat perlu melakukan tindakan
pengawasan yang lebih intensif terhadap faktor yang menjadi
penyebab terjadinya kerusakan seperti mesin produksi dan pegawai.
Daftar Pustaka
-
32
MEMAHAMI KONSEPSI BISNIS DAN HARTA
SECARA ISLAMI
Winoto Soekarno
STMIK AMIKOM Yogyakarta
Abstraksi
Dalam masyarakat Indonesia, belakangan ini, ada
kecenderungan sikap yang paradoksal tatkala memandang orang yang
berlimpah kekayaaan. Di satu sisi orang kaya dipandang sebagai orang
sukses, sehingga tidak sedikit di antara masyarakat kita yang berupaya
keras untuk meraih kekayaan itu. Tetapi, di sisi lain, tak sedikit pula
yang memandang kekayaan harta benda sebagai sesuatu yang negatif.
Kekayaan bisa menjadikan manusia bertambah-tambah ketakwaannya,
tetapi dapat juga membuat manusia lupa diri. Al-Qur’an telah dengan
jelas menggambarkannya dalam surat at-Takastur, yaitu orang-orang
yang menumpuk harta benda sehingga lalai kepada Allah SWT.
Kata Kunci: Bisnis, Harta, Islami
Pendahuluan
Dalam hal pandangan yang negatif terhadap harta benda, ada
peribahasa Arab yang artinya, dunia merupakan penjara bagi orangorang
yang beriman. Harta benda dan dunia merupakan cobaan, yang
dapat menyebabkan lupa diri dan jauh dari Tuhan. Mendekatkan diri
kepada Tuhan hanya dapat dilajukan dengan cara menjauhkan diri dari
hal-hal yang bersifat duniawi. Harta, tahta dan wanita merupakan
penggoda kehidupan manusia di dunia.
Dalam realitasnya, kehidupan di dunia tidak akan lepas dari
hal-hal yang bersifat material. Kebutuhan hidup – secara bertahap
tetapi pasti – bukannya berkurang melainkan bertambah. Apalagi
dalam kondisi perekonomian nasional yang belum membaik. Berbagai
sektor ekonomi terhimpit oleh kenaikan bahan baku, biaya operasional
33
produksi yang tinggi dan melubernya produk-produk impor ilegal
dengan harga rendah sehingga menampar para pelaku industri
manufaktur dalam negeri. Jika pandangan negatif terhadap harta
benda terus berkembang, dalam prosesnya akan menghantam etos
kerja masyarakat, dengan asumsi bahwa ‘’tidak masalah hidup
miskin di dunia, tetapi besok di akhirat pasti akan kaya‘’.
Akibat dari pandangan minor terhadap harta benda ialah adanya
pendangan minor terhadap bisnis. Bisnis dianggap sebagai pekerjaan
yang penuh dengan tipu daya dan tidak dapat dilakukan dengan
menggunakan etika bisnis. Etika bisnis disangsikan apakah dapat
mempunyai tempat dalam bisnis.1 Bisnis adalah kegiatan manusia
yang hanya bertujuan mencari laba. Sementara itu etika merupakan
disiplin ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai yang benarsalah,
baik-buruk, sehingga dianggap tidak seiring dengan struktur
bisnis.2 Dari kesangsian-kesangsian itulah lahir mitos bisnis amoral,
bahwa bisnis adalah bisnis: antara bisnis dan moralitas tidak ada
kaitan apa-apa dan tidak bisa berjalan seiring.3 Mitos bisnis immoral,
yang meyakini bahwa bisnis merupakan kegiatan tak terpuji dan
karenanya harus dihindari apabila tidak ingin terjerumus ke dalam
bisnis yang seperti itu. Demikian pula mitos bisnis pengejar
maksimalisasi keuntungan, bahwa bisnis adalah kegiatan yang hanya
berhubungan dengan keuntungan semata; dan mitos bisnis sebagai
permainan, bahwa bisnis merupakan arena kompetisi tertutup yang
mengasikkan seperti judi dimana kemenangan menjadi tujuan utama
dan dapat diperoleh hanya dengan cara tidak jujur. Dengan mitosmitos
itu, maka citra ‘buruk’ dan perilaku-perilaku yang bertentangan
dengan etika seperti moral hazard, berbohong, mengelabui konsumen,
merugikan pihak lain tetapi menguntungkan pelaku binsis dan lain-
1 A. Sonni Keraf, “ Bisakah Bisnis Berjalan Tanpa Moralitas”, Basis,
No 05-06, Tahun ke 46 Mei-Juni1997, hlm. 49.
2 Dawan Rahardjo, “Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam
PJP II”, Prisma, 2 Februari 1995, hlm. 2.
3 Lihat, George, Ricard T De. Business Ethics, (New Jersey: Prentice
Hall, Englewood Cliffs , 1986), hlm. 5-10.
34
lain dalam praktek bisnis, seakan mendapat legitimasi. Benarkah
berbisnis itu seperti itu?
Bagaimanakah pandangan Islam tentang bisnis? Bagaimana
pula pandangan Islam harta benda yang merupakan sasaran antara
dalam kegiatan bisnis? Makalah ini akan mengkaji kedua persoalan
tersebut dengan menggunakan pendekatan etika bisnis Islam. Pertamatama
akan dibahas tentang bisnis dan selanjutnya tentang posisi harta
benda. Dari kedua bahasan ini kemudian akan diambil benang merah
untuk kedua rumusan masalah dimaksud.
Pembahasan
Konsepsi Islam tentang Bisnis
Bisnis pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk mencari
keuntungan. Menurut Charles C Torrey dalam buku The Commercial-
Theological Term in the Koran, istilah-istilah ekonomi dan bisnis
dalam Al-Qur’an bukan hanya merupakan kiasan-kiasan ilustratif
tetapi merupakan butir-butir doktrin yang paling mendasar dalam
bidang ekonomi dan bisnis.
Menurut Quraisy Shihab, dalam Al-Qur’an banyak ditemukan
ungkapan tentang ekonomi dan bisnis. Misalnya, ketika mengajak
untuk beramal seringkali menggunakan istilah-istilah yang dikenal
dan berhubungan erat dengan bidang ekonomi dan bisnis. Demikian
pula terdapat istilah-istilah seperti bisnis, jual beli, perbendaharaan,
harta-benda, utang-piutang, permodalan4, usaha dan kerja, rizki,
keuntungan, upah, harta-benda, dan lain-lain. Dalam at-Taubah(9): 115
misalnya, Al-Qur’an menawarkan suatu keuntungan yang tidak
mengenal kerugian dan penipuan. Demikian pula dalam Fatir(35): 29
4 Lihat, QS 2: 279; “Bagimu modal kamu, kamu tidak menganiaya
dan tidak pula teraniaya.”
5 ”Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin harta dan
jiwa mereka dan sebagai imbalannya mereka memperoleh syurga…
Siapakah yang lebih menepati janjinya(selain) Allah maka bergembiralah
dengan jual-beli yang kamu lakukan itu. Itulah kemenangan yang besar
35
terdapat janji keuntungan bisnis yang tidak akap pernah rugi.6 Bahkan
keuntungan sebagai akibat dari suatu karya usaha yang baik, dalam
Al-Qur’an dijanjikan Allah dengan tujuh ratus kali lipat keuntungan.
(QS 2: 261).
Kehidupan ini harus dijalankan dengan kerja keras dan
keimanan. Hal ini bermakna, hubungan iman dan kerja bagaikan
hubungan akar, tumbuhan dan buahnya. “Dan bahwasanya seorang
manusia tiada yang akan memperoleh kecuali selain apa (hasil) yang
diusahakannya sendiri”7 “Amal-amal yang tidak disertai iman tidak
akan berarti di sisi-Nya”8 Berdasar hubungan ini, maka ekonomi dan
bisnis harus dilakukan setelah melakukan shalat sebagaimana tersurat
dalam QS al-Jumu’ah(62): 9.
Demikian pula, berbisnis harus dilakukan dengan cara saling
menguntung-kan sehingga tidak menimbulkan kerugian sedikitpun
baik pada waktu dilakukan maupun setelahnya. Hal ini secara tegas
dijelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa(4): 29; Wahai orang-orang
yang beriman janganlah kamu saling memakan harta benda di antara
kalian (berbisnis dan berinvestasi) dengan cara yang batil kecuali
dengan cara-cara yang saling menguntungkan. Janganlah kemu
membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah selali menyayangi
kepada Mu.
Dari sudut pandang terminologis tentang bisnis, Al-Qur’an
memiliki istilah-istilah yang mewakili tentang bisnis di antaranya
adalah al-tijarah, al-bai’u, tadayantum, dan isytara. Selain istilahistilah
itu masih terdapat pula istilah lainnya yang dapat dianggap
mempunyai persesuaian maksud dengan bisnis.
Istilah tijarah, berasal dari kata dasar tajara, yang bermakna
berdagang, berniaga. Sebagaimana dikutip Lukman, menurut ar-
Raghib al-Asfahani dalam al-Mufradat fi gharib Al-Qur’an, at-tijarah
6 “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan
mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan,
mereka itu mengharapkan perniagaan(bisnis) yang tidak akan merugi.
7 QS. an-Najm(53): 39
8 QS al-Furqan(25): 23.
36
bermakna pengelolaan harta benda untuk mencari keuntungan.
Demikian pula menurut Ibnu Arabi, yang dikutip ar-Raghib; fulanun
tajirun bi kadza, berarti seseorang yang mahir dan cakap yang
mengetahui arah dan tujuan yang diupayakan dalam usahanya9
Dalam penggunaan tijarah terdapat dua macam pemahaman.
Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat al-Baqarah
(2): 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam pengertian
umum. Dihubungkan dengan konteksnya masing-masing, pengertian
perniagaan pada ayat tersebut tidak hanya berhubungan dengan halhal
yang bersifat material atau kuantitas, tetapi kebanyakan dari
pengertian perniagaan lebih tertuju kepada hal yang bersifat
immaterial-kualitatif. Yang memperlihatkan makna perniagaan dalam
konteks material misalnya disebutkan dalam Al-Qur’an surat at-
Taubah(9): 24, an-Nur(24): 37, al-Jumu’ah(62): 11. Adapun
perniagaan dalam konteks material sekaligus immaterial terlihat pada
pemahaman tijarah dalam beberapa ayat Al-Qur’an yaitu dalam surat
Fatir(35): 29, bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang selalu
membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan
sebahagian dari rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka
dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi” Pada surat as-Shaf(61): 10-11
ditegaskan bahwa “Wahai orang-orang yang beriman sukakah kamu
aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu
dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan rasul-
Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah
yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.
Paparan di atas menegaskan, pertama, Al-Qur’an memberikan
tuntunan bisnis yang jelas yaitu visi bisnis masa depan yang bukan
semata-mata mencari keuntungan sesaat, melainkan mencari
keuntungan yang hakiki, baik dan berakibat baik pula bagi
kesudahannya. Kedua, keuntungan bisnis menurut Al-Qur’an bukan
sekadar bersifat material, tetapi bersifat material sekaligus immaterial,
bahkan lebih mengutamakan hal yang bersifat immaterial atau
9 Lihat, Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2006
37
kualitas. Ketiga, bisnis bukan semata-mata berhubungan dengan
manusia tetapi juga berhubungan dengan Allah. Dengan demikian,
terkait bisnis, dalam Al-Qur’an secara otomatis sudah terdapat
implementasi etika bisnis.
Demikianlah di antara doktrin ajaran Al-Qur’an tentang
ekonomi dan bisnis. Kekuatan doktrin ajaran Al-Qur’an tentang
ekonomi dan bisnis terlukis jelas dalam suri tauladan kehidupan Nabi
Muhammad, baik sebelum kenabian maupun setelah kenabian. Profesi
utama yang dijalankan Nabi Muhammad adalah menjadi seorang
businessman yang sukses. Atas dasar inilah, maka umat Islam
menghukumi sunnah pada profesi bisnis.
Menurut Afzalurrahman, ketika berusia 25 tahun, Muhammad
diperkenalkan oleh pamannya Abu Thalib kepada Siti Khadijah
sehingga Siti Khadijah memberikan kepercayaan kepada Muhammad
untuk melakukan perjalanan bisnis ke pasar-pasar di Busra. Dalam
kerjasama ini, Khadijah mendapat keuntungan berlipat dibanding
pedagang-pedagang lain yang belum pernah diraih oleh pedagang
sebelumnya.10
Hubungan kerja sama di atas menurut satu pendapat dilakukan
dengan sistem bisnis bagi hasil atau yang dikenal dengan sistem
Mudharabah. Khadijah merupakan pemilik modal atau shahibul mal
sedangkan Muhammad sebagai pemilik keahlian atau mudharib.
Keduanya bersepakat atas suatu kerjasama dan bersepakat atas
pembagian keuntungan dan kerugian ketika usaha kerjasama itu usai.
Dengan konsep inilah, salah satunya Muhammad melakukan kegiatan
bisnis, yang kemudian menjadikannya sebagai pebisnis yang sukses.
Sebelum menikah dengan Khadijah, tercatat dalam sejarah
paling tidak Muhammad melakukan delapan kali perjalanan bisnis
10 Terdapat suatu kisah, bahwa saudagar Qurasisy yang tidak
menyukai Muhamad, berencana menjadikan agar Muhammad rugi. Maka
mereka membanting harga dagangannya dengan harapan dagangan
muhammad tidak laku. Namun Muhammad tetap dengan harga normal,
dengan perhitungan akan tetap adanya demand terhadap barang yang
dibawanya. Alhasil, ketika pulang ke Makkah semua saudagar Quraisy
merugi kecuali Nabi Muhammad.
38
atas nama Khadijah; empat kali ke Yaman, dua kali ke Habasyah dan
dua kali lagi ke Jorasy. Misi kenabian Muhammad, dengan demikian
pada hakikatnya tidak hanya menyangkut satu bidang tertentu seperti
bidang keagamaan dalam pengertian yang sempit. Misi kenabian
secara hakiki meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia; sosial,
ekonomi, politik dan budaya. Suatu keseluruhan misi yang yang
secara bertahap dan berkesinambungan dibangun Muhammad sejak
kecil hingga selesai melaksanakan tugas misinya.
Nabi Muhammad, dengan demikian, telah meletakkan
landasan-landasan moralitas. Suatu hal yang tidak lazim bahkan
bertentangan dengan kebiasaan pada pada saat itu. Kegiatan ekonomi
dan bisnis dilakukan dengan cara-cara yang jujur, terbuka, saling
menguntungkan, jauh dari penipuan. Apabila terdapat kecacatan pada
suatu barang, maka disebutkan apa adanya. Berdasar gambaran itu,
tidak salah bila Nabi Muhammad disebut sebagai ekonom atau
businessman sukses.
Konsepsi Islam tentang Harta
Dalam ilmu ekonomi disebutkan adanya aktivitas ekonomi
karena adanya need dan want pada diri manusia. Hal ini dalam Al-
Qur’an disebut fitrah yang dihiaskan pada manusia yaitu; hubbu asysyahawat
(QS. Ali-Imran(3): 14. Dengan fitrah ini, manusia tidak
dapat lepas dari kebutuhan terhadap harta benda yang harus dikelola
dan dikembangkan sehingga menghasilkan kemanfaatan dan
kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain.
Dalam ilmu ekonomi, posisi harta benda mempunyai posisi
yang sentral. Apabila dalam ekonomi konvensional harta (asset)
dianggap sebagai salah satu modal atau faktor produksi, sebaliknya
Islam memposisikan harta benda sebagai pokok kehidupan. Dalam
surat an-Nisa(4) ayat 5, secara tegas disebutkan posisi harta benda
sebagai tiang atau pilar pokok kehidupan (qiyama). Kita tidak dapat
berdiri tanpa adanya tiang berupa kaki. Demikian pula rumah tanpa
tiang tidak akan terwujud. Karena itu hidup di dunia akan hampa
tanpa adanya harta benda.
39
Pada ayat itu pula Allah menegaskan, keidakbolehan
menyerahkan harta benda yang dimiliki kepada orang-orang yang
belum sempurna akalnya. Menyerahkan di sini dapat bermakna
menitipkan, mengamanahkan untuk dikelola atau menginvestasikan.
Yang dimaksud orang-orang yang belum sempurna akalnya adalah
anak-anak dan mereka yang tidak mempunyai keahlian dalam
mengelola harta benda. Assufaha’ pada asalnya berarti orang yang
tertutup akalnya, belum baligh atau bodoh. Namun dapat pula
diartikan orang yang belum atau tidak mempunyai keahlian dan
keterampilan mengelola dan mengembangkan harta benda. Ayat ini
dengan demikian secara tersirat mendorong untuk mengelola dan
mengembangkan harta benda secara profesional atau diinvestasikan
kepada bisnis-bisnis produktif.
Sebagai pokok kehidupan, harta memiliki fungsi terhadap
berbagai perilaku manusia, baik aktivitas produksi, konsumsi dan
distribusi. Ia juga bukan hanya menjaga keberlangsungan hidup si
pemilik harta tetapi juga bermakna bahwa harta yang dimilikinya
dapat menjadi sebab (terjaminnya) keberlangsungan hidup secara luas,
karena kehidupan tidak hanya terfokus pada individu tetapi juga pada
lingkungannya, seperti tetangga, kerabat, hingga lingkungan makro
(negara dan antar negara).
Secara dasariah, manusia tidak dapat melepaskan diri dari
kebutuhan material harta benda. Dalam diri manusia terdapat fitrah
yang dihiaskan kepada manusia yaitu hubbu asy-syahawat (QS. Ali-
Imran(3): 14) yang merupakan semacam “bahan bakar” pendorong
kerja. Segala aktivitas manusia memerlukan daya atau energi, dan
penggunaan suatu daya pasti melahirkan keletihan. Untuk menggapai
daya itu, diperlukan dorongan. Keinginan atau kecintaan (syahwat)
itulah daya. Hubbu asy-syahawat dengan demikian berarti; segala
sesuatu yang diinginkan oleh manusia sekaligus ingin memiliki atau
menguasainya secara kuat. Ayat 5 surat an-Nisa juga menegaskan;
“Berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta benda itu)”.
Pada penggalan ayat ini digunakan fiha, bukan minha. Apabila minha
berarti sebagian dari padanya dapat berakibat mengurangi pokok harta
(modal), maka penggunaan fiha, mempunyai konsekuensi tidak
40
mengurangi pokok harta benda.11 Dengan demikian yang diberikan
untuk biaya hidup adalah hasil dari pengelolaan atau pengembangan
harta benda itu.
Berdasar uraian di atas, jelaslah, Al-Qur’an memposisikan
harta benda secara netral. Eksistensi harta benda seperti sebilah pisau:
dapat menolong dan dapat pula membunuh. Harta merupakan wasilah
(perantara) yang dapat mengan-tarkan seseorang melakukan
kewajibannya. Harta benda dapat menyebabkan kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat. Ia akan menjadi baik jika digunakan sebagai
jalan menuju kebaikan. Sebaliknya akan berubah menjadi keburukan
dan bencana apabila digunakan dalam wilayah keburukan. Dengan
harta manusia dapat selamat, tetapi dengan harta pula manusia dapat
terkena laknat.
Itulah sebabnya Al-Qur’an menyebut harta benda benda
sebagai ujian dan cobaan. Hal ini misalnya tersurat dalam dua ayat
berikut:
“Dan Ketahuilah, bahwa harta bendamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar” (QS al-Anfal(8): 28.
“Sesungguhnya harta bendamu dan anak-anakmu hanyalah
cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. QS
At-Taghabun (64): 15.
Dengan demikian, Al-Qur’an sama sekali tidak memusuhi
harta benda. Karena itu, sebagai konsekuensi posisi yang netral,
kepemilikan dalam Islam tidak bersifat absolut melainkan relatif.
Dengan fitrah nya, manusia tidak dapat lepas dari kebutuhan terhadap
harta benda yang harus diupayakan, dikelola dan dikembangkan.
Harta merupakan nikmat Allah sekaligus amanat Allah atas manusia.
Kepemilikian dimaknai sebagai anugerah Allah atas manusia.
Allah SWT memberikan harta benda (rezeki) pada umat
manusia tidak bersifat merata. Ada yang berlebih, tetapi ada yang di
bawah standar kebutuhan mereka. Dari kondisi inilah diperlukan
adanya interaksi dan distribusi harta benda, baik melalui kerja sama,
11 HM Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan
Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta 2004
41
jual-beli dan lain-lain. Dengan pandangan ini, masalah kelangkaan
yang diklaim oleh ekonomi konvensional sebagai masalah utama
ekonomi, tidak relevan dalam ekonomi Islam. Secara tegas, Allah
telah menjamin rezeki atas semua makhluk yang berarti tidak akan
terjadi kelangkaan. Pada saat yang sama, terdapat keharusan sistem
distribusi yang seimbang antara yang kelebihan harta dengan yang
kekurangan. “Dan pada harta-harta benda mereka ada hak untuk
orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat
bagian (tidak meminta).12
Itulah pula sebabnya dalam surat an-Nisa(4): 32 kita tidak
boleh iri hati atas kelebihan harta yang dimiliki oleh oang lain. Harta
benda merupakan karunia Allah yang terkait dengan kualitas dan
kuantitas kerja atau usaha. Dan inilah yang ditekankan oleh Al-Qur’an
surat Annajm(53): 39 berikut:
Dan bahwasanya bagi manusia tiada memperoleh selain
apa yang Telah diusahakannya.
Karena itulah Rasulullah tidak memberikan kebebasan mutlak
dalam berinteraksi dengan harta benda. Sebaliknya tidak
memenjarakan manusia dari kefitrahan cintanya terhadap harta
dengan memberikan parameter-parameter sehingga manusia
mempunyai kemampuan mengendalikan kecenderungan negatif akibat
okupansi harta benda yang banyak atau akibat tidak memiliki harta
benda. Rasulullah bersabda: “Wahai Amr, sebaik-baik harta benda
yang shalih adalah milik orang shalih.” (HR Ahmad )
Dengan hadis ini, Rasulullah memberikan asumsi-asumsi yang
wajar dalam berinteraksi dengan harta benda, yaitu untuk keselamatan
manusia, khususnya dalam aktifitas ekonominya. Beliau juga
menunjukkan keutamaan yang memiliki harta benda yaitu memiliki
potensi beramal shalih lebih banyak dari mereka yang tidak
mempunyai harta.
“Orang-orang kaya telah meraih pahala (yang
banyak)…”(HR Bukhari Muslim)
12 Adz Dzariyaat(51): 19
42
“Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan kaya, adalah jauh lebih baik daripada
meninggalkannya dalam keadaan miskin, kemudian menjadi
beban (meminta-minta) kepada orang lain.” (HR Bukhari
Muslim)
Dalam konteks ekonomi, dengan demikian dapat diambil
benang merah sementara bahwa harta benda merupakan media bagi
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu mencapai
kesejahteraan, kedamaian dan kemenangan dunia dan akhirat (falah).
Harta benda menjadi variable sentral dalam aktifitas ekonomi
manusia. Dalam berbagai bentuk dan variasinya harta menjadi sesuatu
yang membutuhkan penyikapan secara bijaksana, sebagaimana
diarahkan ajaran Al-Qur’an. Dengan demikian jelas bahwa interaksi
manusia dengan harta benda hendaknya berada dalam kerangka
keshalihan atau keimanan.
Penutup
Berdasar uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
berbisnis dalam bidang apapun merupakan media yang sah dan halal
untuk menggapai posisi kaya. Dalam standar ukuran majalah Forbes
seperti dikutip Hasyim, seseorang dapat disebut kaya apabila memiliki
penghasilan minimum Rp 1 milyar per tahun.13 Ukuran ini tampaknya
tidak selamanya benar, sebab dalam pandangan Islam mereka yang
kaya adalah mereka yang sudah terkena kewajiban zakat dan mereka
yang konsisten dalam pengeluaran zakat dan infak. Posisi harta benda
dalam bisnis Islam bukanlah merupakan tujuan utamanya, yang utama
adalah keuntungan hakiki. Demikian pula bisnis diposisikan sebagai
bagian dari ibadah dalam Islam. Ia merupakan salah satu jembatan
untuk meraih keuntungan hakiki. Karena itulah orang yang kaya
menurut hadis Nabi bukan terletak pada banyaknya harta benda,
melainkan pada hati yang kaya. Artinya, seseorang yang kaya sejati
tidak akan pernah dikuasai harta benda. Dengan demikian, berbisnis
13 Hasyim Abdullah, Muda Kaya Raya, Mati Masuk Syurga,
Yogyakarta: SBS Publishing, 2007 hlm. 9
43
yang etis merupakan salah satu jalan terbaik dan jalan selamat untuk
mencapai kekayaan yang hakiki. Wallahu a’lam
Daftar Pustaka
A Sonni Keraf, “ Bisakah Bisnis Berjalan Tanpa Moralitas”, Basis,
No 05-06, Tahun ke 46 Mei-Juni1997.
Afzalurrahman, Muhamad sebagai Pedagang Jakarta: Buana, 1996.
Anas Ismail Abu Daud, Dalilussailin, Ensiklopedi Dakwah, al-
Qayyim, Malang, 2004 .
Depag RI: Al-Qur’an dan Terjemahannya
Dawan Rahardjo, “Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam
PJP II”, Prisma, 2 Februari 1995.
George, Ricard T De. Business Ethics. New Jersey: Prentice Hall,
Englewood Cliffs , 1986.
Hasyim Abdullah, Muda Kaya Raya, Mati Masuk Syurga,
Yogyakarta: SBS Publishing, 2007
HM Quraish Shihab, “Etika Bisnis Al-Qur’an” Jurnal Ulumul
Qur’an, Tahun 2004.
-----------, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,
Lentera Hati, Jakarta 2004.
Hasan Al Banna, Hadits Tsulatsa: Ceramah-Ceramah Hasan Al
Banna, Era Intermedia, Jakarta, 2000.
Lukman Fauroni, Etika Bisnis dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2006.
Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi,(terjemahan) Jilid, 28, 29. 30,
Semarang: PT Toha Putera, 1993.
44
LAMPIRAN
PEDOMAN PENULISAN MAKALAH
1. Topik yang akan dipublikasikan oleh jurnal MANAJERIAL
berhubungan dengan kepemimpinan, perilaku, serta manajemen
organisasi
2. Naskah yang diterima penyunting ditulis dalam bahasa Indonesia
baku atau bahasa Inggris dan belum pernah dipublikasikan.
3. Naskah diketik dengan komputer menggunakan Microsoft Word,
di atas kertas ukuran 16x21 cm, spasi 1, jenis huruf Time New
Roman dengan ukuran 11 point.
4. Jumlah halaman berkisal antara 7 sampai 15 halaman, dan jumlah
gambar tidak boleh melebihi 30% dari seluruh tulisan
5. Judul makalah harus mencerminkan dengan tepat masalah yang
dibahas di makalah, dengan menggunakan kata-kata yang tepat,
jelas dan mengandung unsur-unsur yang akan dibahas. Ukuran
huruf untuk judul adalah Time New Roman ukuran 12 point bold
(huruf kapital).
Nama penulis ditulis di bawah judul sebelum abstral tanpa disertai
gelar akademik atau gelar lain apapun, asal lembaga tempat
penulis bernaung dan alamat email untuk korespondensi dengan
ukuran 11 point bold. Jika lebih dari 2 penulis, hanya penulis
utama yang dicantumkan di bawah judul; nama penulis lain dalam
catatan kaki.
45
6. Sistematika penulisan naskah, untuk:
a. Naskah Penelitian, terdiri dari:
i. Abstrak dan kata kunci
Abstrak memuat secara ringkas gambaran umum dari
masalah yang dibahas dalam penelitian, terutama analisis
kritis dan pendirian penulis atas masalah tersebut. Panjang
abstrak 50 - 75 kata yang disusun dalam satu paragraf
dalam ukuran huruf 10 point Time New Roman. Abstrak
disertai dengan 3 – 5 kata kunci, yakni istilah yang
mewakili ide-ide atau konsep-konsep dasal yang dibahas
dalam makalah.
ii. Pendahuluan
Pendahuluan tidak diberi judul. Bagian ini berisi
permasalahan penelitian, rencana pemecahan masalah,
tujuan dan ruang lingkup penelitian, serta rangkuman
landasan teori yang berkaitan dengan masalah yang
diteliti
iii. Metode Penelitian
Berisi tentang bahan, peralatan metode yang digunakan
dalam penelitian
iv. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil berupa data penelitian yang telah diolah dan
dituangkan dalam bentuk tabel, grafik, foto, atau gambar.
Pembahasan berisi hasil analisis dan hasil penelitian yang
dikaitkan dengan struktur pengetahuan yang telah mapan
(tinjauan pustaka yang diacu oleh penulis), dan
memunculkan ‘teori-teori’ baru atau modifikasi terhadap
teori-teori yang telah ada.
v. Kesimpulan dan Saran
Berisi ringkasan dan penegasan penulis mengenai hasil
penelitian dan pembahasan. Saran dapat berisi tindakan
praktis, pengembangan teori baru dan penelitian lanjutan
vi. Daftar Pustaka
46
b. Naskah Konseptual atau nonpenelitian, terdiri dari:
i. Abstrak dan kata kunci
Abstrak adalah ringkasan dari isi makalah yang
dituangkan secara padat; bukan komentar atau pengantar
penulis. Panjang abstrak 50 - 75 kata yang disusun dalam
satu paragraf dalam ukuran huruf 10 point Time New
Roman. Abstrak disertai dengan 3 – 5 kata kunci, yakni
istilah yang mewakili ide-ide atau konsep-konsep dasal
yang dibahas dalam makalah.
ii. Pendahuluan
Memberikan acuan (konteks) bagi permasalah yang akan
dibahas, hal-hal pokok yang akan dibahas serta tujuan
pembahasan
iii. Pembahasan
Berisi tentang kupasan, analisis, argumentasi dan
pendirian penulisan mengenai masalah yang dibicarakan
iv. Penutup atau Kesimpulan
Berisi kesimpulan penulis atas bahasan masalah yang
dibahas pada bagian sebelumnya.
v. Daftar Pustaka
Diutamakan apabila sumber pustaka atau rujukan berasal
lebih dari satu sumber seperti buku, jurnal, makalah,
internet dan lain-lain.
7. Tabel/gambar harus diberi identitas yang berupa nomor urut dan
judul tabel/gambar yang sesuai dengan isi tabel/gambar, serta
dilengkapi dengan sumber kutipan.
8. Daftar pustaka disusun menurut alphabet penulis. Urutan dimulai
dengan penulisan nama penulis, tahun, judul, penerbit, dan kota
terbit. Penulisan nama penulis adalah nama keluarga diikuti nama
kecil. Untuk kutipan dari internet berisi nama penulis, judul
artikel, alamat website, dan tanggal akses

No comments:

Post a Comment